Dalam Pasal 27 disebutkan bahwa pelaku usaha yang tidak melakukan kewajibannya dikenai sanksi administratif berupa: a. Peringatan tertulis; b. Denda Administratif; c. Pencabutan Sertifikat Halal. Juga dalam Pasal 56 UU JPH dijelaskan bahwa Pelaku Usaha yang tidak menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Sanksi ini bisa menjadi pedang bermata dua, alih-alih untuk menertibkan namun bisa saja disalahgunakan. Sebab berlakunya sanksi di tengah hukum demokrasi Indonesia yang suatu saat mengabaikan prinsip keadilan alias tumpul ke atas namun tajam ke bawah.
Menghadapi tantangan Masa Depan
Terlepas dari Pro-kontra UU ini, namun sebagian besar mendukung adanya aturan untuk melindungi kosumen dari produk haram. Dukungan ini tidak lepas dari masukan para produsen di Indonesia, khususnya produsen di bidang farmasi. Seperti Direktur Eksekutif International Pharmaceutical Manufactures Group (IPMG) Parulian Simanjuntak, menyatakan pihaknya mendukung semangat UU Halal yang ingin melindungi konsumen. Namun, aturan ini sulit diterapkan. “Jika pemerintah berkeras menerapkannya, pebisnis farmasi tak berani lagi memproduksi obat karena takut terkena sanksi. Imbasnya, pasokan obat ke masyarakat terganggu,” katanya.[8]
Berbeda dengan MUI yang dikutib dari web resminya, memandang bahwa produk halal justru mampu meningkatkan daya saing. Persepsi konsumen atas konsepsi halal saat ini tidak hanya mempertimbangkan murni karena masalah keagamaan, melainkan karena halal telah menjadi simbol pula untuk jaminan mutu dan pilihan gaya hidup. Pasar produk halal ini kemudian berkembang menjadi arena yang menjanjikan keuntungan dan berpengaruh pada persaingan produk.[9]
Melihat target sertifikasi halal tentunya akan sulit untuk memenuhinya. Dalam penjelasan Umum UU JPH ini disebutkan: Pengaturan mengenai JPH perlu diatur dalam satu undang-undang yang secara komprehensif mencakup Produk yang meliputi barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, dan produk rekayasa genetik serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat.
Untuk mersertifikasi obat-obatan dan kosmetik saja masih sulit, apalagi tambah meluas hingga barang gunaan yang dipakai. Maka wajar jika saat ini kita sering dengar produk pakaian bersertifikat halal, seperti “ZOYA, Hijab Halal” atau “SOKA, Kaos Kaki Halal”; bahkan menyisir hingga pariwisata halal. Bagaimana dengan ratusan produsen kaos kaki yang harus didaftarkan nanti? Belum menyinggung jasa halal yang tidak jelas pengertiannya seperti apa. Masyarakat yang masih awam dengan sertifikasi tersebut akan kesulitan menghadapinya. Oleh karena itu pemberlakuan UU ini harus dicermati ulang.
Ditambah dengan liberalisasi perdangangan yang melahirkan kebijakan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sehingga semakin banyak produk-produk syubhat, haram, bahkan berbahaya bagi masyarakat. serbuan MEA tidak hanya produk, namun perusahaan-perusahaan bahkan para pekerja yang tidak tahu apa itu produk halal malah menjadi ancaman nyata bagi berlangsungnya UU JPH ini.
Data persentase produk bersertifikat halal di negara kita pun masih sangat rendah. Pada Januari 2014 lalu, menurut Lukmanul Hakim selaku Kepala LPPOM MUI bahwa makanan yang sudah disertifikasi oleh MUI sejak 5 tahun terakhir ini ada 13.136 jenis termasuk makanan impor, jumlah tersebut sekitar 70% adalah makanan dalam negeri, atau 70% dari makanan sertifikasi MUI yang berjumlah 13.136 adalah 9195. Maka dalam hal ini, persentase makanan dalam negeri yang sudah disertifikasi oleh LPPOM MUI dibandingkan dengan jumlah makanan yang terdaftar di BPOM sebanyak 57924 adalah 9195 dibagi 57924 adalah 15,88%. Angka ini sangat jauh dengan angka persentase Sertifikasi Malaysia sebesar 95% dan Thailand sekitar 88%.[10]
Tentu jika dalam waktu dekat, salah satu kesulitan yang dihadapi Kementerian Agama adalah soal pemahaman masyarakat akan pentingnya barang dan jasa yang halal. Kurang pahamnya masyarakat akan produk halal dikhawatirkan berdampak pada keadaan dijadikannya Indonesia sebagai pangsa besar bagi negara-negara lain yang telah lebih dulu stabil melakukan sertifikasi halal pada setiap produknya. Belum seragamnya perspektif pada kalangan pelaku usaha terutama yang bergerak di industri farmasi dan kosmetika menjadi kekhawatiran bagi Kementerian Agama.
Sebagai contoh, di negara-negara seperti Jepang dan Korea misalnya sudah mulai melakukan riset tentang bahan-bahan yang halal untuk bahan baku pembuatan obat.[11] Namun, kondisi sebaliknya justru terjadi di Indonesia dimana pelaku usaha di bidang obat-obatan dan kosmetika malah minta dikecualikan dari produk yang wajib bersertifikat halal.
Sistem jaminan produk halal yang ideal?