Seorang penggemar cenderung meniru sosok yang diidolakannya. Oleh sebab itu, figur idola dapat dikatakan menjadi penentu, semacam kompas yang memberi arah pembentukan kepribadian penggemarnya. Singkatnya, bagaimana kepribadian seseorang sangat dipengaruhi oleh sosok yang diidolakannya. Hipotesis ini tentu masih harus diuji, mengingat penulis belum menemukan penelitian yang memastikannya.
Berdasarkan gagasan di atas, maka kajian terhadap korelasi antara idola dan penggemarnya, dari segi pengaruh yang ditimbulkan salah satu ke pada yang lainnya, maupun saling pengaruh di antara keduanya. Terutama, bagaimana pengaruh idola terhadap pembentukan kepribadian penggemarnya. Hasil yang ditemukan nantinya, apapun itu, dapat menjadi arah konsepsi yang bermutu tentang idola.
Atas nama kebebasan berekspresi dan hak asasi, tentu saja, siapapun boleh mengidolakan siapapun berdasarkan selera dan keyakinannya. Dan meskipun moralitas dewasa ini sering dianggap sebagai wilayah privat –yang semakin didukung oleh merebaknya individualitas, rasanya konsepsi tentang sosok idola yang ideal dan layak-bermutu untuk menjadi panutan tetap amat sangat diperlukan. Bahkan, menurut hemat penulis, konsepsi ini semestinya semakin medesak untuk diselenggarakan di era yang semakin mengasingkan manusia dari dirinya sendiri, akibat dorongan kuat teknologi dan kebutuhan, bahkan kecintaan, terhadap materi yang berlebihan.
Memang, kolektivisme, jika diartikan sebagai paham yang mengagunkan kolektivitas secara berlebihan terhadap hak, kemerdekaan, kebebasan dan kemampuan individual, menjadi momok yang mengerikan. Tetapi individualisme sebagai kebalikannya juga tidak baik-baik saja. Menyeimbangkan keduanya adalah gagasan yang menjadi world view (pandangan dunia) yang mencerahkan.Â
Sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan gagasan ini adalah dengan mengkonseptualisasikan dan mendefinisikan siapa, apa dan bagaimana sosok idola yang bermutu dan layak menjadi panutan. Namun konteks yang ditekankan di sini adalah pendidikan moral. Maksudnya: idola memiliki peran strategis untuk menentukan kualitas dan membentuk karakter moral penggemarnya. Pijakan inilah yang menjadi acuannya mengapa konsepsi idola dirasa krusial. Dalam konteks bahwa idola adalah seseorang yang sebatas kita anggap istimewa tanpa rasa fanatik dan tanpa mengikutinya, konsepsi mutu dan kelayakan idola sebagai panutan tidak diperlukan.
Faktanya, para penggemar kerap kali lebih dari sekedar menggemari sang idola, mereka juga meniru dan menjadi pengikutnya. Dengan demikian, konsepsi dan konseptualisasi idola (bermutu dan layak dianut) menjadi semakin relevan, semakin krusial dan mungkin mendesak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H