Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sebuah Fakta dan Dilema tentang Sisi "Remang" Dunia Taman Kanak-Kanak

31 Agustus 2023   21:46 Diperbarui: 3 September 2023   11:55 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa waktu lalu, sekolah kami menyebar angket rencana pilihan SD di kelas B dan mendapati fakta menarik: hanya 8 dari 84 siswa yang memilih (atau, dipilihkan?) ke SD Negeri. Artinya, kurang lebih 90% siswa berencana lanjut ke SD Swasta. Pilihannya pun tidak begitu variatif, kebanyakan memilih SD Swasta yang prestisius dan "terkenal" di kota ini (based on data di sekolah kami doank ya).

Saat monthly report, kami turut menanyakan alasan masing-masing mengapa memilih SD yang sudah tertulis di angket. Mengingat latar belakang ekonomi dan pendidikan orangtua yg heterogen, kami penasaran mengapa SD "mahal" tetap menjadi primadona bahkan bagi kalangan menengah.

Ada apa dengan SDN? Sudah terjangkau (bahkan gratis), rasah mumet tes, tersebar di mana-mana pula. Sedangkan, SD swasta cenderung menghabiskan banyak biaya, terletak di daerah macet, bahkan jarak dengan rumah cukup jauh, mana tes-nya susah cuy.

Hasil dari diskusi kami dengan mereka menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap SDN mulai pudar bagi orangtua masa kini. Sistem zonasi yang belum merata; lingkungan yang dianggap kurang mendukung; fasilitas yang kurang memadai; tidak adanya program unggulan seperti tahfidz, full day school, bilingual, cambridge curricula ---you named it, membuat daya tarik SDN semakin berkurang. Nggak heran beberapa waktu lalu banyak berita bahwa SDN ditutup karena kekurangan siswa :(

Pertimbangan soal ambience sekolah, relasi, dan juga ajang unjuk diri tak luput disampaikan oleh wali siswa. Serius, lho. Bahkan ada yang terang-terangan mengaku memilih sekolah X hanya karena sekolahnya terlihat keren. 

Tidak ada yang salah dengan pilihan masing-masing. Hanya saja pilihan tersebut kadang tidak memperhatikan faktor lain yang lebih penting.

Adakalanya kami menyayangkan ketika keinginan tersebut tidak diimbangi dengan kemampuan anak. Mengingat dari tahun ke tahun, SD swasta "ternama" selalu mengadakan seleksi cukup ketat dengan standar kelulusan tinggi dan segudang tuntutan prestasi. 

Oke, katakanlah lu punya duid, lu punya kuasaaa tapiiii coba pikirkan: apakah nantinya ananda tercinta bisa bertahan di sana?

Apakah berita siswa SD mengakhiri hidup beberapa waktu lalu akibat depresi berkepanjangan tidak cukup menampar kita?

Fakta menarik yang kedua: pendaftaran beberapa SD swasta sudah dibuka mulai bulan September ini. Bayangno, baru sebulan sekolah, adaptasi dengan teman baru, adaptasi dengan huruf dan angka yang sempat dilupakan saat libur panjang, tetiba sudah mau seleksi masuk SD saja. Orangtua ketar-ketir, guru TK senyam-senyum sambil dying inside. Wkekekek.

Walau mas menteri sudah mengharamkan calistung untuk diajarkan kepada anak usia dini, nyatanya tes masuk SD Swasta hingga saat ini kebanyakan berpatokan pada hal tersebut. 

Ya, hal-hal yang berbau akademik semata. Pertama kali liat soal tes masuk SD jaman sekarang, zuzur gweh merindink brou! Mungkin gweh akan lebih memilih mogok sekolah dan menuntut bermain ke kidzoon* selama seminggu penuh atas penjajahan ini.

Pada akhirnya, dengan menyebut nama Allah dan pressure dari orangtua, banyak sekolah mengadakan pendampingan pra SD dan memperbanyak materi calistung, wawancara, hafalan surat pendek, dibandingkan dengan penguatan materi sesuai tema. Bukan main. 

Kekhawatiran tidak diterima di SD keren bagi beberapa orangtua rasanya seperti sudah mengalahkan dilema bapak Oppenheimer saat meledakkan bom pertama kali. Belum masuk jenjang sekolah selanjutnya yang masih panjang lho ini. Hehe.

Akibatnya, waktu untuk bermain dan bersenang-senang pun dipangkas. Padahal, hal tersebut adalah hak mutlak anak yang semestinya tidak boleh dilewatkan. Jika orang dewasa punya dunia yang disebut tipu-tipu, anak pun punya dunia sendiri yang bernama dunia bermain. 

Lalu, kapan bisanya membaca, dan berhitung kalau bukan dari sekarang? 

Tenang, nanti ada waktunya sendiri, kok. Coba, deh, cari soal Denver II. Atau, cari saja timeline perkembangan anak berdasarkan tahapan usianya. Di sana ada banyak hal yang lebih puwenting daripada calistung (kapan-kapan dibahas deh, insyaa Allah).

Pada akhirnya, di sekolah kami pun juga terpaksa mengadakan pendampingan sebelum pulang sekolah sambil tetep kekeuh sounding kepada mama-papa agar tidak memaksakan diri dan cermat dalam menilai kompetensi anak maupun sekolah yang dituju. Maaf yaaa nak kanak, mengutip dari mbak Feby Putri: tak ada yg meminta seferti iniii~

Begitulah, satu dari banyak dilema guru TK: sudah tahu betul bagaimana semestinya, namun sulit untuk berkata "tidak". Efek domino yang mungkin saja bisa terjadi: gagal mengantarkan anak masuk SD favorit -> sekolah dipertanyakan kredibilitasnya -> peminat berkurang karena dianggap tidak berhasil mendidik anak -> pendapatan sekolah, dana BOP, dll sedikit -> gaji guru turut menipis. Hueee, sudah tifis malah makin tifisss :')

Fakta terakhir yang membagongkan: anak usia 7 tahun sesungguhnya belum bisa memilih dan mempertanggungjawabkannya secara mindfulness. Yes, katakanlah SD yang tertulis diangket adalah hasil diskusi orangtua-anak. Tapi namanya anak usia dini, esok pun keinginannya bisa berubah begitu saja.

Kesimpulannya: apakah kita sudah menimbang pro and cons dalam memilih? Ataukah masuk SD "keren" semata menjadi proyeksi dari ambisi orangtua? Tidak ada yang tahu. Tapi kami yakin akan satu hal, setiap orangtua tentu akan mengusahakan yang terbaik.

Masuk SD yang katanya "favorit" bukan jaminan keberhasilan anak di masa depan. Pintar akademis sejak dini bukan satu-satunya tolak ukur kesuksesan dalam menjalani hidup. Segala pilihan tentu ada risiko yang harus ditanggung ---baik bagi yang menjalani pilihan tersebut maupun orang-orang terkasih di sekitarnya.

Semoga senantiasa bahagia dan merdeka, ya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun