Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Sebuah Fakta dan Dilema tentang Sisi "Remang" Dunia Taman Kanak-Kanak

31 Agustus 2023   21:46 Diperbarui: 3 September 2023   11:55 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak-anak hebatnya Miss Afif. (Dokumentasi pribadi)

Walau mas menteri sudah mengharamkan calistung untuk diajarkan kepada anak usia dini, nyatanya tes masuk SD Swasta hingga saat ini kebanyakan berpatokan pada hal tersebut. 

Ya, hal-hal yang berbau akademik semata. Pertama kali liat soal tes masuk SD jaman sekarang, zuzur gweh merindink brou! Mungkin gweh akan lebih memilih mogok sekolah dan menuntut bermain ke kidzoon* selama seminggu penuh atas penjajahan ini.

Pada akhirnya, dengan menyebut nama Allah dan pressure dari orangtua, banyak sekolah mengadakan pendampingan pra SD dan memperbanyak materi calistung, wawancara, hafalan surat pendek, dibandingkan dengan penguatan materi sesuai tema. Bukan main. 

Kekhawatiran tidak diterima di SD keren bagi beberapa orangtua rasanya seperti sudah mengalahkan dilema bapak Oppenheimer saat meledakkan bom pertama kali. Belum masuk jenjang sekolah selanjutnya yang masih panjang lho ini. Hehe.

Akibatnya, waktu untuk bermain dan bersenang-senang pun dipangkas. Padahal, hal tersebut adalah hak mutlak anak yang semestinya tidak boleh dilewatkan. Jika orang dewasa punya dunia yang disebut tipu-tipu, anak pun punya dunia sendiri yang bernama dunia bermain. 

Lalu, kapan bisanya membaca, dan berhitung kalau bukan dari sekarang? 

Tenang, nanti ada waktunya sendiri, kok. Coba, deh, cari soal Denver II. Atau, cari saja timeline perkembangan anak berdasarkan tahapan usianya. Di sana ada banyak hal yang lebih puwenting daripada calistung (kapan-kapan dibahas deh, insyaa Allah).

Pada akhirnya, di sekolah kami pun juga terpaksa mengadakan pendampingan sebelum pulang sekolah sambil tetep kekeuh sounding kepada mama-papa agar tidak memaksakan diri dan cermat dalam menilai kompetensi anak maupun sekolah yang dituju. Maaf yaaa nak kanak, mengutip dari mbak Feby Putri: tak ada yg meminta seferti iniii~

Begitulah, satu dari banyak dilema guru TK: sudah tahu betul bagaimana semestinya, namun sulit untuk berkata "tidak". Efek domino yang mungkin saja bisa terjadi: gagal mengantarkan anak masuk SD favorit -> sekolah dipertanyakan kredibilitasnya -> peminat berkurang karena dianggap tidak berhasil mendidik anak -> pendapatan sekolah, dana BOP, dll sedikit -> gaji guru turut menipis. Hueee, sudah tifis malah makin tifisss :')

Fakta terakhir yang membagongkan: anak usia 7 tahun sesungguhnya belum bisa memilih dan mempertanggungjawabkannya secara mindfulness. Yes, katakanlah SD yang tertulis diangket adalah hasil diskusi orangtua-anak. Tapi namanya anak usia dini, esok pun keinginannya bisa berubah begitu saja.

Kesimpulannya: apakah kita sudah menimbang pro and cons dalam memilih? Ataukah masuk SD "keren" semata menjadi proyeksi dari ambisi orangtua? Tidak ada yang tahu. Tapi kami yakin akan satu hal, setiap orangtua tentu akan mengusahakan yang terbaik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun