Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Dikotomi Kendali, Sebuah Upaya Mencintai Diri Sendiri

12 Februari 2023   19:57 Diperbarui: 13 Februari 2023   13:07 1118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dikotomi Kendali. Sumber: The Stoic Sage

Some things are up to us, some things are not up to us. -Epictetus

Buku "Filosofi Teras" karya Henry Manampiring adalah salah satu buku self-improvement yang menarik perhatian saya. Bukan karena best-seller atau banyak direkomendasikan warganet, melainkan isi dari buku tersebut rupanya membahas banyak hal yang terlihat 'sepele' namun sama sekali tidak dapat disepelekan.

Topik dalam buku tersebut ---yang baru saya sadari melekat dalam kehidupan sehari-hari salah satunya mengenai kecemasan tak berarti. 

Manusia sebagai makhluk sosial seringkali merasa cemas ketika akan melakukan sesuatu, entah kecemasan tersebut disengaja maupun timbul secara spontan.

Kecemasan biasanya muncul akibat kegagalan atau ketidaksesuaian dalam standar masyarakat. Generasi masa kini sering menyebutnya dengan istilah anxiety (tanpa dasar diagnosa psikologis). 

Kecemasan yang berlebihan dapat membuat seseorang kecewa, marah, hingga frustrasi akibat hasil yang tidak sesuai dengan ekspetasi.

Pertanyaan se-sederhana: kira-kira, aku cocok nggak, ya, pakai baju ini? Dia suka sama kue buatanku nggak, ya? Di masa depan, aku bakalan nikah sama siapa, dah? Tanpa kita sadari acap timbul dalam kehidupan sehari-hari. Jika dibiarkan berlarut-larut, hal tersebut akan mengikis rasa percaya diri.

Percaya diri tidak hanya soal penampilan, akan tetapi juga berkaitan dengan keberanian dalam pengambilan keputusan. 

Seseorang yang memiliki rasa percaya diri di level tinggi biasanya akan berpikir optimis, bersikap berani, dan tegas. Mereka terkesan cuek dan bodo amat atas tanggapan orang lain.

Sebaliknya, seseorang dengan rasa percaya diri yang rendah biasanya akan pesimis, mudah panik, dan tertutup. Jika rasa itu sering diadu dengan kecemasan, maka hal tersebut dapat menimbulkan rasa rendah diri alias insecure dalam diri. Yang perlu diketahui yakni sumber perasaan itu hanyalah satu: negative thinking dan overthinking (eh, berarti dua, ding).

Self-hug. Sumber: Sol Flower Wellness
Self-hug. Sumber: Sol Flower Wellness

Sesungguhnya rasa tersebut wajar saja untuk sesekali dirasakan, kok. Apalagi jika rasa insecure justru dijadikan motivasi untuk berubah ke arah yang lebih baik. Namun, rupanya terlalu banyak insecure dapat menimbulkan masalah dan berdampak pada hubungan sosial di kehidupan sehari-hari.

Insecure dapat dikatakan sebagai wujud dari tidak-berusaha-mencintai-diri-sendiri-beserta-takdir. Bagaimana bisa kita merasa tidak beruntung karena orang lain memiliki previllege yang kita idamkan? Bagaimana bisa kita merasa iri sebab postingan orang lain menunjukkan hal yang belum bisa kita dapatkan? Padahal, semua itu tentu di luar kendali kita.

Mengutip dari perkataan seorang filsuf yang masyhur di atas: terdapat beberapa hal yang berada di bawah kendali kita, serta beberapa hal tidak tergantung pada diri kita. Dalam penjabarannya, Epictetus menyebut pemikiran tersebut dengan istilah dikotomi kendali.

Dikotomi Kendali. Sumber: The Stoic Sage
Dikotomi Kendali. Sumber: The Stoic Sage

Sederhananya, konsep dikotomi kendali mengajarkan kita untuk tidak ambil pusing atas segala hal yang berada di luar kuasa kita. 

Contohnya yakni reputasi orang lain, tindakan orang lain, opini orang lain, hingga unggahan mereka di media sosial. Tidak bisa kita kontrol, to?

Di samping itu, peristiwa seperti kecelakaan, cuaca buruk, bencana alam, pandemi, dan hal-hal yang terjadi atas takdir Tuhan juga termasuk dalam golongan yang tidak bisa kita kontrol. Sebab, kita bukanlah Thanos maupun Aang sang Avatar. Hehehe... Canda. Kondisi saat lahir ---termasuk di dalamnya jenis kelamin, warna kulit, dan sebagainya juga bagian darinya.

Atas dasar tersebut, maka untuk apa kita sibuk memikirkannya berlarut-larut? Misal, dalam 3 tahun terakhir kita sering menyalahkan pandemi virus Covid-19 karena menghambat aktivitas dan pekerjaan sehari-hari. Kita begitu sibuk mengeluh dan mencari 'kambing hitam' atas terjadinya pandemi. Selanjutnya, kita justru merasa stres atas hal yang tidak mampu kita atasi sendiri.

Contoh lain, sebelum tidur seringkali kita mengulas beberapa hal yang mengganggu pikiran. Kenapa, ya, tadi si Suranto ngomong kayak gitu? Atau, enak banget, dah, jadi mbak Maudy Ayunda, udah cantik, pinter, kaya raya, dapat suami idaman, aku bisa sampai di titik itu nggak, ya? Lagi-lagi, rasa insecure menggerogoti dan 'membunuh' rasa percaya diri. Rasa tidak bersyukur dan mencintai diri sendiri.

Dikotomi kendali dalam aliran stoisisme menginginkan kita meninggalkan pikiran-pikiran tidak penting tersebut dan mulai fokus terhadap segala sesuatu di bawah kendali kita. 

Adapun hal-hal yang sangat bisa kita kendalikan adalah persepsi, opini, pertimbangan, keinginan, tujuan, dan tindakan diri kita sendiri. Nah, lho, lebih banyak hal yang bisa kita fokuskan untuk menjadi lebih baik, bukan?

Lebih lanjut, Epictetus menjelaskan bahwa hal-hal yang bisa kita kendalikan sifatnya adalah merdeka. Tidak terikat, tidak terhambat, juga tidak memakai standar orang lain untuk mencapainya. Sebab, kebebasan dan kebahagiaan sejati hanya bisa datang dari dalam diri. Ketika kita memutuskan untuk bebas dan bahagia, maka kita akan lebih bisa mencintai diri sendiri.

Mengamalkan konsep dikotomi kendali ini memang tidak mudah, sementara kita senantiasa hidup dengan anugerah panca indera yang dapat menangkap pikiran dan perbuatan orang lain. Akan tetapi bukan berarti tidak mungkin, perlu waktu dan ilmu yang lebih untuk berlatih fokus hanya pada hal-hal yang berada dalam kendali kita.

Memulai penerapan konsep dikotomi kendali sebagai upaya mencintai diri sendiri dapat dilakukan melalui hal-hal kecil. Misalnya, ketika seorang teman berhasil mendapatkan beasiswa studi lanjut ke luar negeri, kita bisa memilih untuk berlarut-larut memikirkan bagaimana dia bisa seberuntung itu, atau berpikir bagaimana caranya SAYA bisa mencapai titik itu juga.

Misalnya ketika kita sedang berangkat kerja dan terjebak macet di jalan, kemudian pimpinan kita marah, melabeli kita dengan sebutan "pemalas", dan hal-hal buruk lainnya. Maka, kita bisa memilih: berlarut memikirkan apakah kita memang se-malas itu untuk kemudian menyalahkan jalanan yang macet, atau berkomitmen untuk berangkat lebih awal agar tidak terjebak kemacetan lagi? Semua pilihan itu ada di tangan kita masing-masing.

Bayangkan, jika banyak orang yang menerapkan konsep dikotomi kendali ini maka kesehatan mental kita akan semakin terhindar dari yang namanya insecure, anxiety, depression, dan sebagainya. Sudah semestinya setiap orang 'merdeka' dengan dirinya sendiri, bebas berekspresi sesuai norma tanpa harus takut dijustifikasi dan di-diskriminasi.

Akhir kata, konsep dikotomi kendali bukan mengajarkan untuk cuek bebek dan mengabaikan sepenuhnya terhadap hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan. Sebaliknya, dikotomi kendali mengarahkan kita untuk lebih fokus terhadap apapun yang bisa kita rengkuh. 

Kebebasan kita dalam memilih dan mengendalikan sesuatu tanpa intervensi dari luar akan membuat kita lebih percaya diri. Barangsiapa yang percaya diri, maka dia mulai mencintai diri sendiri. Selamat mencoba!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun