Tidak semua masyarakat berkesempatan untuk mendapatkan pendidikan melalui lembaga formal. Keterbatasan kondisi fisik dan psikis, biaya, akses, serta beberapa faktor penghambat lainnya membuat beberapa orang memilih untuk tidak bersekolah. Sebagian juga memilih untuk bekerja karena dianggap "lebih menghasilkan".
Menurut data dari Kementrian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), pada tahun 2021 terdapat sekitar 83 ribu anak yang putus sekolah. Dilansir dari Pikiran Rakyat, angka tersebut naik drastis dari tahun sebelumnya akibat pandemi Covid-19 terjadi. Secara tidak langsung, hal ini juga berkontribusi pada meningkatkan angka pekerja di bawah umur.
Anak di bawah umur yang harus bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari seringkali tidak memiliki waktu lebih untuk belajar secara formal. Belum lagi masalah administrasi pada pekerjaan mereka yang mengharuskan untuk memiliki ijazah. Pada akhirnya, mereka bisa saja diberhentikan sewaktu-waktu hanya karena tidak mempunyai legalitas tersebut.
Di samping itu, sebagian masyarakat juga memilih secara sadar untuk tidak mendaftarkan anak mereka di lembaga formal. Alternatif lain seperti homeschooling, flexi-school, rumah tahfidz, dan sebagainya dipilih karena alasan tertentu. Kedua "kubu" di atas tentunya tetap membutuhkan legalitas berupa ijazah untuk dapat diakui telah mencapai kecakapan akademik sekaligus sebagai syarat mendaftar pekerjaan.
Pendidikan kesetaraan ---atau yang lebih familiar disebut sebagai kejar paket merupakan jawaban atas keduanya. Pendidikan kesetaraan merupakan program layanan bagi anak usia sekolah maupun orang dewasa yang belum pernah atau tidak memilih belajar di lembaga pendidikan formal. Layanan ini terbagi menjadi 3 jenjang, yakni Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA).
Adapun lembaga yang dapat mengakomodasi pendidikan kesetaraan di antaranya Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Balai Pengembangan Kegiatan Belajar (BPKB), Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan masih banyak lagi. Berbagai lembaga tersebut berada dalam pengawasan dan bimbingan dari Kemendikbudristek.
Warga belajar ---sebutan bagi siswa pendidikan kesetaraan berhak mendapatkan pembelajaran yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing. Kesibukan yang tak menentu bagi setiap warga belajar secara tidak langsung menuntut model pembelajaran yang lebih luwes dibandingkan pendidikan formal.
Model pembelajaran yang fleksibel dalam pendidikan kesetaraan tetap harus didasarkan pada capaian belajar yang telah ditentukan. Namun, sangat tidak mungkin jika pembelajaran ditetapkan secara 'saklek' seperti pendidikan formal. Berikut beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan agar setiap warga belajar mendapat hasil yang optimal dalam proses belajarnya:
Pembelajaran Tatap Muka
Berdasarkan kurikulum 2013, pembelajaran pendidikan kesetaraan dilaksanakan berbasis modul. Menurut keterangan Pranyono selaku pamong BP-PAUD dan Dikmas Yogyakarta, modul telah disusun sebagai delivery system agar warga belajar dapat belajar mandiri. Namun, bagi warga belajar hal tesebut tidak dapat dilakukan sepenuhnya, utamanya bagi warga belajar yang usianya setara SD.
Kesibukan orangtua yang tidak sempat mendampingi proses belajar anak, keterbatasan warga belajar dalam memahami materi, dan faktor lainnya membuat lembaga pendidikan kesetaraan harus memiliki opsi pembelajaran tatap muka. Pembelajaran ini dapat dilaksanakan secara luring maupun daring sesuai dengan waktu dan tempat yang telah disepakati.
Tutor selaku fasilitator bertugas mengarahkan warga belajar untuk mempelajari dan menjabarkan materi pembelajaran secara ringkas. Forum tatap muka dapat dilakukan minimal satu kali per modul. Tutor juga berhak menyampaikan tugas dan menyusun soal ujian modul berdasarkan instrumen Keterampilan Dasar Pendidikan Kesetaraan.
Model pembelajaran tatap muka ini merupakan alternatif bagi warga belajar yang membutuhkan bimbingan dalam proses belajar. Di samping itu, tatap muka secara daring juga dapat meringankan warga belajar yang terkendala jarak dan waktu dengan lembaga pelaksana pendidikan kesetaraan. Sedangkan, tatap muka secara luring menjadi solusi bagi warga belajar yang barangkali terkendala ekonomi dalam membeli paket data atau gawai untuk belajar.
Pembelajaran Tutorial
Jika pembelajaran tatap muka dilaksanakan secara interaktif antara tutor dan warga belajar, maka pembelajaran tutorial dimaksudkan sebagai pembelajaran satu arah. Tutor membahas materi atau latihan soal yang nantinya dapat disimak oleh warga belajar di manapun dan kapanpun. Model pembelajaran ini dapat menjadi solusi bagi warga belajar yang bekerja penuh dan tidak sempat mengikuti tatap muka.
Tentu dalam pelaksanaannya warga belajar harus menyepakati dan menandatangani kontrak belajar yang berupa target pembelajaran serta penyelesaian tugas. Pembelajaran tutorial ini dapat dilakukan melalui portal Setara Daring yang telah dikembangkan oleh Kemendikbudristek. Dalam portal tersebut terdapat menu modul e-learning, kolom materi, tugas, diskusi, hingga ujian yang dapat dikelola oleh tutor.
Bagi warga belajar yang memilih tatap muka pun tetap diarahkan untuk memanfaatkan Setara Daring sebagai sarana belajar, pengumpulan tugas, dan juga pelaksanaan ujian. Hal tersebut akan memudahkan tutor untuk melakukan penilaian dan evaluasi pembelajaran bagi setiap warga belajar. Tutor juga diperbolehkan untuk membuat video edukasi dalam menyampaikan materi pembelajaran.
Pembelajaran Mandiri Utuh
Wali warga belajar yang ingin melaksanakan pembelajaran langsung dan intens bersama anak maupun warga belajar yang kesulitan membagi waktu untuk mengikuti tatap muka maupun tutorial dapat memilih pembelajaran mandiri utuh sebagai alternatif terakhir jika memang tidak memungkinkan. Model pembelajaran mandiri utuh artinya menyerahkan seluruh proses belajar secara penuh kepada warga belajar.
Model pembelajaran mandiri ini juga telah dipraktikkan oleh beberapa lembaga nonformal, salah satunya yakni sebuah PKBM di Cipageran. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Putra (2017) didapat hasil penelitian bahwa penerapan pembelajaran mandiri terbukti dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik. Sebab, tidak semua warga belajar menyukai model tatap muka atau tutorial.
Model pembelajaran mandiri utuh hadir dengan kontrak pembelajaran khusus, yang mana kegiatan warga belajar di luar lembaga yang sesuai dengan capaian belajar dapat dikonversikan menjadi nilai. Entah itu merupakan learning project yang di-inisiasi oleh warga belajar sendiri, hasil evaluasi belajar di lembaga lain, prestasi akademik maupun non akademik, dan sebagainya.
Ketentuan dan proses konversi nilai tersebut menjadi hak mutlak tutor. Apabila terdapat kompetensi yang belum tercapai, maka warga belajar diarahkan untuk mengerjakan tugas sesuai dengan ketetapan masing-masing tutor pengampu mata pelajaran. Bagi yang memilih pembelajaran mandiri utuh tetap diwajibkan mengikuti ujian modul maupun ujian kesetaraan, ya.
Demikian berbagai model yang dapat ditawarkan demi mengoptimalkan proses pembelajaran bagi warga belajar. Hemat saya, model pembelajaran dalam pendidikan kesetaraan telah 'merdeka' sejak lama dan mengakomodasi kebutuhan masing-masing warga belajar, hanya saja dalam pelaksanaannya tidak semulus teori yang telah dibuat. Semoga nasib pendidikan kesetaraan lebih baik lagi ke depannya dan mendapat perhatian lebih dari pemerintah. Ciao!
                                                                     Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H