Bagi sebagian mahasiswa/i, salah satu momen yang mendebarkan dalam hidup yakni ketika harus menghubungi dosen.Â
Tak dapat dipungkiri, kekhawatiran akan miskomunikasi dan disinformasi seringkali berakibat fatal. Sebab, dalam memaknai interaksi melalui pesan singkat terkadang tidak semudah ketika bertatap muka secara langsung.
Akibatnya, tidak jarang mahasiswa/i mengeluh di media sosial karena pesan singkat yang dikirimkannya hanya sekadar dibaca atau bahkan tidak sama sekali hingga berhari-hari. Belum lagi yang dibalas namun dengan jawaban yang ketus atau 'terdengar' seperti mengomel. Tentu kita semua tidak ingin hal itu terjadi, bukan?
Sesungguhnya, panduan seperti ini pun tidak perlu ditulis mengingat etika berkomunikasi dengan dosen ---yang notabene adalah orang dengan usia lebih tua dibandingkan mahasiswa/i merupakan basic manner yang sangat mudah diamalkan.Â
Sejak dulu, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan unggah-ungguh dan berbagai nasihat turun temurun bahwa bersikap sopan ke pada yang lebih tua adalah suatu kewajiban.
Nyatanya, kini hampir di seluruh perguruan tinggi memiliki aturan tertulis mengenai etika menghubungi dosen melalui pesan singkat. Tidak jarang aturan tersebut dicetak dalam banner ukuran besar dan ditayangkan pada setiap fakultas. Tidak jarang pula pada masa orientasi bagi mahasiswa/i baru, sosialisasi mengenai aturan ini sangat ditekankan.
Mengapa demikian? Apakah benar bahwa generasi muda masa kini mengalami degradasi moral sehingga hal sesederhana etika menghubungi dosen saja harus digaungkan?
Menurut Lickona dalam bukunya "Educating for Character"Â (2013), beberapa penyebab degradasi moral suatu generasi yang membutuhkan perhatian lebih yakni pengabaian terhadap aturan yang berlaku dan penggunaan bahasa yang tidak baik dalam standar masyarakat tertentu. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tontonan yang tidak mendidik, pengasuhan yang tidak berkualitas, pendidikan karakter yang tidak 'mengena', dan sebagainya. Make sense, sih, ya.
Tidak heran banyak pula tangkapan layar tersebar di internet yang menunjukkan ketidaksopanan mahasiswa/i dalam menghubungi dosen. Pun sebaliknya, banyak dosen yang membalas pesan dari mahasiswa/i dengan kata-kata yang kurang mengenakkan didengar. Tiada asap jika tiada api, tak ada akibat jika tak ada sebab.
Oleh karena itu, berikut terdapat panduan umum mengenai tata cara menghubungi dosen melalui pesan singkat yang sekiranya dapat meminimalisir konflik dan juga salah paham:
1. Mempertimbangkan tampilan foto profil
Sebelum memutuskan untuk menghubungi dosen, pastikan foto profil yang sedang ditampilkan tidak mengandung kontroversi, ya. Contohnya foto dengan pakaian yang terlalu terbuka, pose yang terlalu alay, atau gambar-gambar yang kurang mengenakkan untuk dipandang.Â
Alangkah lebih bijak jika foto yang diunggah adalah foto diri sendiri dengan pose dan pakaian yang sopan. Atau ---jika kurang berkenan, tidak menampilkan foto profil juga hemat saya tidak masalah. Untuk case ini jarang dipermasalahkan, sih. Untuk berjaga-jaga saja.
2. Memperkirakan waktu saat hendak mengirim pesan
Adapun waktu yang paling tepat untuk mengirimkan pesan adalah disaat hari dan jam kerja. Sejatinya kegiatan sehari-hari dosen tidak hanya mengajar, akan tetapi juga melakukan penelitian, rapat, mengisi seminar, membimbing skripsi, belum lagi kegiatan rumahtangga dan pekerjaan lainnya. Yang menghubungi beliau pun tidak hanya 1-2 mahasiswa/i dalam sehari.Â
Oleh sebab itu, hindari menghubungi saat weekend, terlalu pagi, atau terlalu malam jika ingin urusan dilancarkan. Apabila kita menghargai waktu orang lain, pasti orang lain juga akan menghormati waktu kita. Betul, betul, betul?
3. Mengawali dengan salam dan permohonan maaf
Prinsip 5S (Salam, Senyum, Sapa, Sopan, dan Santun) dalam kehidupan sehari-hari juga tetap dapat diterapkan di dunia maya (kecuali senyum deng).Â
Untuk memulai percakapan, usahakan diawali dengan salam dan diikuti dengan permohonan maaf seperti "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi Bapak/Ibu. Mohon maaf mengganggu...".
Mengapa harus meminta maaf padahal kita tidak berbuat salah? Sebab, bisa jadi kita menghubungi beliau ketika sedang di tengah-tengah rapat atau berkendara. Bisa jadi, notifikasi dari kita mengalihkan atau mengejutkan beliau ketika beraktivitas. Oleh sebab itu, salam dan permohonan maaf jangan sampai ditinggalkan, ya!
4. Memperhatikan urutan dan tata bahasa yang baik
Setelah salam dan mengucap maaf, ada baiknya kita memperkenalkan diri terlebih dahulu sebelum menyampaikan keperluan. Ingat, tidak semua dosen mengenali kita. Hal yang bisa dicantumkan yaitu nama lengkap, NIM (jika berkaitan dengan hal-hal administratif ---untuk mempermudah beliau mencari data), jurusan atau program studi, semester, dan nama kelas.
Misalnya, "...Perkenalkan, saya Afif Auliya Nurani dengan NIM 15161516 program studi Pendidikan Anak Usia Dini semester 1 kelas A...". Tentu tidak perlu menyertakan nama panggilan, hobi, apalagi makanan dan minuman favorit.
Di samping itu, perhatikan pula tata bahasa yang digunakan. Hindari menyingkat suatu kata (contohnya, saya menjadi sy, mereka menjadi mrk, dan sebagainya). Penggunaan tanda baca, pemilihan kata, dan penyusunan kalimat efektif juga perlu ditelaah kembali sebelum mengirimkan pesan. Oh, iya, tidak perlu menggunakan emotikon 'namaste' yang berlebihan. Seperlunya saja.
5. Usahakan maksud pesan tersampaikan dalam sedikit bubble chat (tidak spam)
Jika hal yang ingin disampaikan dirasa panjang, maka cukup diringkas dalam 1-2 bubble chat saja. Sebab, pesan yang bertele-tele dan spam terkesan mendesak dosen untuk segera membalasnya. Apalagi jika ditambah dengan missed call berulang kali. Wah, kalau kata mbak Bunga Citra Lestari: aku tak tahu harus bagaimana~
Nah, panduan umum di atas sangat bisa disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing. Perlu diperhatikan  pula karakter tiap dosen yang akan dihubungi.Â
Bagi dosen yang memang memiliki sikap chill, humoris, dan gemar mengakrabkan diri dengan mahasiswa/i, maka interaksi melalui pesan singkat biasanya akan lebih 'lunak' daripada dosen dengan karakter lainnya. Yang terpenting, tetap jaga sikap sopan-santun dan tindak-tanduk se-nyaman apapun kesan yang diberikan oleh mereka.
Akhir kata, dalam ajaran Islam terdapat sebuah maqolah "Al-'Adabu Fauqol 'Ilmi (adab terletak di atas ilmu)". Percuma menjadi mahasiswa/i yang pintar, penuh prestasi gemilang, namun tidak menjaga adab kepada orang yang lebih tua. Apalagi dengan dosen yang telah membimbing dan mengajarkan kita banyak hal.Â
Menjaga sopan santun kepada siapapun sangatlah penting, sebab: apa yang kita tanam saat ini pasti akan kita tuai suatu hari nanti. Semangat, para pejuang ilmu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H