Ketika mendengar bunyi "tek tek tek tektektektektek" dari permainan latto-latto, pikiran saya sampai pada fenomena yang terjadi beberapa tahun silam.Â
Ketika pandemi Covid-19 melanda seluruh dunia, banyak sekali tren bermunculan yang tak jarang diikuti oleh orang-orang di sekitar saya. Sebut saja tren dagolna coffee, bersepeda dan berjemur di pagi hari, mencampur salah satu produk susu UHT dengan kopi kaleng, hingga penggunaan filter TikTok menjadi anime. Hal-hal viral yang terjadi di media sosial begitu cepat diikuti oleh khalayak, pun cepat pula silih berganti.
Tanpa disadari, perilaku 'latah' mengikuti orang lain juga sering kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Contohnya ketika berada di sebuah tempat makan, tak jarang di antara kita kebingungan untuk menentukan menu yang ingin dipesan. Sejurus kemudian, seorang teman yang sudah memantapkan diri untuk memilih menu membuat kita turut memesan pilihan yang sama.
Atau ketika sedang berada di pasar jajanan, tidak jarang kita cenderung memilih gerai yang paling banyak pengunjungnya dengan dalih penasaran. Meski dianggap tidak merugikan orang lain, perilaku 'ikut-ikutan' Â yang berlebihan justru bisa jadi bumerang bagi diri sendiri. Mengapa bisa terjadi demikian? Simak penjelasan berikut, ya!
The Bandwagon Effect, Fear of Missing Out (FOMO), dan Konformitas
Sesungguhnya, terdapat 3 kemungkinan mengapa masyarakat umum seringkali memiliki perilaku 'latah' atau tidak mempunyai pendirian atas pilihannya sendiri. Kemungkinan yang pertama yakni disebut dengan istilah The Bandwagon Effect.Â
Dalam ilmu psikologi, The Bandwagon Effect merupakan kecenderungan seseorang dalam mengadopsi suatu perilaku, gaya, sikap, dan pilihan tertentu hanya karena orang lain juga melakukan hal yang sama.
Dilansir dari Kompas, seseorang akan mengadopsi hal-hal tertentu akibat dari pemikiran bahwa apabila suatu hal dilakukan oleh mayoritas, maka hal tersebut merupakan sesuatu yang 'benar'.Â
Haws, McFerran, dan Liu dalam The Conversation Indonesia (2019) mengemukakan bahwa hal tersebut juga berkenaan dengan sinyal sosial mengenai pilihan orang lain yang tidak dapat dihindari sehingga ---ketika berada di lingkungan sosial, sulit untuk melepaskan diri dari pengaruh tersebut tanpa adanya idealisme atau pendirian teguh.
Di samping itu, kecemasan atas rasa diabaikan dalam masyarakat dan juga antusiasme yang tinggi untuk mencoba hal baru rupanya juga berpengaruh dalam The Bandwagon Effect. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Stolwijk, Schuck, dan Vreese (2016) dalam penelitian yang berjudul "How Anxiety and Enthusiasm Help Explain the Bandwagon Effect". Mereka meneliti hal tersebut pada masyarakat yang akan melaksanakan pemilihan umum.
Kemungkinan selanjutnya yaitu fenomena Fear of Missing Out (FOMO). Dikutip dari Very Well Mind, FOMO merupakan rasa takut atau cemas yang timbul akibat merasa "tertinggal" karena tidak mengikuti tren tertentu. Istilah ini banyak digunakan oleh kalangan muda, padahal perasaan FOMO dapat terjadi tanpa mengenal usia dan jenis kelamin.
Seseorang yang mengalami FOMO berlebihan dapat memicu munculnya hal-hal negatif seperti kelelahan, stres, hingga masalah tidur. Sebab, perasaan ini mempengaruhi rasa ketidakpuasan seseorang untuk terus up-to-date terhadap tren dan tidak jarang harus menguras tenaga, waktu, pikiran, serta materi. Semoga kita tidak sampai demikian, ya.
Kemungkinan terakhir atas alasan mengapa masyarakat mudah 'latah' yakni konformitas. Definisi operasional dari konformitas ini tidak jauh beda dari The Bandwagon Effect, yaitu di mana terjadi perubahan pada perilaku seseorang dalam menyesuaikan diri atas standar di kelompok tertentu.
Yang membedakan dari The Bandwagon Effect adalah soal dorongan dan motif. Jika The Bandwagon Effect sering terjadi tanpa kita sadari, konformitas justru terjadi karena keinginan secara sadar dari dalam diri agar mendapat pengakuan dari lingkungan sekitar.Â
Ketika seseorang berhasil menampilkan perilaku yang sesuai dengan mayoritas, bagian otak yang fokus pada penghargaan (reward) akan teraktivasi sehingga seseorang tersebut akan mencapai titik kepuasan.
Konklusi dan Solusi
Di antara 3 kemungkinan tersebut, barangkali kita pernah mengalami satu, dua, atau bahkan ketiganya. Tidak ada yang dianggap buruk, jelek, atau salah, kok. Selama hal tersebut tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, maka tidak ada salahnya untuk menyesuaikan perilaku agar diterima oleh kelompok tertentu.Â
Namun, jika di antara 3 kemungkinan tersebut membawa dampak negatif maka akan lebih baik dihindari dan dialihkan dengan kegiatan lain.
Berikut beberapa tips dari Scott dalam Very Well Mind (2022)Â yang dapat dicoba apabila perilaku 'latah' sudah melebihi batas:
- Mengubah fokus dalam hidup. Jika selama ini kita sering fokus pada kekurangan dalam diri sendiri, cobalah untuk fokus terhadap kelebihan-kelebihan yang sesungguhnya sudah tampak di depan mata;
- Detoksifikasi digital. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa terlalu banyak waktu untuk gadget dapat meningkatkan FOMO maupun perilaku 'latah' lainnya. menggunakan media sosial seperlunya akan lebih bijak dan memiliki banyak manfaat lainnya;
- Membuat jurnal pribadi dan jurnal syukur. Tidak jauh dari poin pertama di atas, fokus terhadap hal-hal yang bisa disyukuri dengan cara mencatatnya setiap hari. Catatan tersebut berfungsi sebagai pengingat bahwa ada banyak hal baik yang bisa kita pilih daripada hanya ikut-ikutan pilihan orang lain.
Semoga bermanfaat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI