Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Antara "Pantesan" dan "Panteskan"

26 Oktober 2018   20:59 Diperbarui: 26 Oktober 2018   21:13 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dear Kompasianers,

Pernahkah kalian mendengar kalimat-kalimat ini?

"Pantesan pinter, kidal sejak kecil gituloh"
"Pantesan bahasa inggrisnya lancar, lha wong dlu sekolahnya di xxx"
"Pantesan gampang paham, ibunya tuh guru tauk"
"Pantesan ga pernah ngeluh finansial, ternyata anak beasiswa sih"
"Pantesan bla bla bla..."

Kebanyakan orang di luar sana menuduh keadaan sebagai tersangka utama atas keberhasilan maupun kegagalan orang lain. Padahal kita semua sadar, selalu ada proses panjang yang telah mereka lewati dengan penuh rintangan di dalamnya. Mie instant saja tidak akan bisa nikmat jika hanya dilihat, harus dimasak dulu sampai matang yakan?

Kemudian daripada itu, sejatinya kita juga mengetahui bahwa masak mie instant pun tidak bisa dengan tangan kosong, apalagi dengan mengayunkan tongkat dan berkata, "simsalabim jadi apaaa prok prok prok...". Hey, tidak bisa seperti itu.

Masak mie instan butuh LPG, LPG dibeli dengan uang, uang didapat dari kerja, kerja diraih dengan belajar, dan akan seterusnya begitu. See? Semua butuh usaha. Dan kita sebagai makhluk sosyiel harus berusaha untuk mengapresiasinya baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Tak perlu pakai acara iri-mengiri apalagi sampai menjatuhkan, deh.

Hanya memandang hasil itu memang manusiawi, kok. Seringkali sesuatu yang kita lihat adalah apa yang kita anggap benar. Itu quote ngawur tapi in syaa Allah shohih adanya. Yang menjadi permasalahan, rupanya kalimat-kalimat muqaddimah di atas berbahaya bagi kelangsungan hidup manusia terutama  pada kesehatan mentalnya, lho.

Bahayanya di mana?

Coba baca teori kebutuhan punya bang Abraham Maslow. Bagi anak psikologi dan antropologi pasti kenal abang yang satu ini. Beliau mengemukakan bahwa ada 5 tingkatan kebutuhan yang harus dipenuhi manusia demi tercapainya hidup yang haqiqieu. Salah satunya adalah aktualisasi diri (self-actualization), yakni kebutuhan untuk dianggap dan dihargai lingkungan sekitar. Iyalah, tak dianggap itu sakit men~

Jika kita masih saja mengucap kalimat-kalimat itu pada orang lain, tentu mereka akan merasa cedih dan tak belgunah. Usahanya untuk memberikan yang terbaik dirasa ga berefek apa-apa, hanya keadaan saja yang membuat mereka beruntung. Hingga pada akhirnya, mereka akan mengalami stuck dengan pencapaiannya dan berkata, "Buat apa aku begini, toh orang nggak akan menghargai aku sebagai begitu". Understand what I mean?

Dan yang paling parah, bisajadi dia akan berhenti untuk berusaha maksimal dan juga berhenti bersyukur atas prestasinya. Jika suatu saat dia mengalami kegagalan, maka hal pertama yang disalahkan adalah keadaan. Yap, menyalahkan keadaan, bukan memperbaiki usaha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun