Sudah berakhir.
Rasanya aku sudah tak tahu lagi apa yang harus ku tulis tentang kita. Untuk bahagia yang pernah ada, juga untuk janji masa depan yang pernah terucap. Sejak hari itu, kita tahu benar bahwa semua tak lagi sama. Meskipun raga masih acap kali berjumpa, tapi perasaan tak kuasa berdusta.
Aku tahu, selama ini keberadaanku hanyalah menjadi penghalang menuju kehidupan yang kau mau. Ada kalanya aku merasa dibutuhkan dan dihiraukan, semuanya terasa ambigu. Aku tahu, kau sedang dalam keadaan bingung dan meragu. Dan di hari itu pula, aku sadar bahwa tak seharusnya duniamu terkena campur tanganku. Walau keraguan telah setia menuntunku, bodohnya aku terus mantap melaju.
Tapi, semua sudah berakhir.
Tak ada lagi yang harus kita khawatirkan. Kau pun telah nyata memberi kepastian. Masih sangat membekas kenangan hari itu, di mana kau tak datang membawa segenap perasaan yang selalu kau lagukan. Dan aku pun tersadar, bahwa selama ini kita tak pernah satu tujuan. Bahkan kita malah saling berseteru di ujung lubang pesakitan. Na'as, bukan?
Nyatanya memang begitu. Kau sangat mempesona, aku hanyalah cahaya redup. Kau begitu merekah, sedangkan aku begitu layu. Kau nyaris sempurna, tapi bukan untuk menyempurnakan aku. Mungkin demikianlah takdir berseru: adanya kita bukan untuk menjadi satu.
Sungguh... telah berakhir.
Aku telah jatuh. Perasaanku telah lumpuh. Hati yang sudah kuserahkan untukmu tak lagi mampu ku rengkuh. Terkadang aku merasa ada secercah harapan di setiap pertemuan kita, namun kesadaran dalam dadaku kembali penuh. Bahwa bagaimanapun hati menjerit, atau bayanganmu menjadi legit, tetap saja: aku bukan untukmu.
Berakhir sudah.Â
Aku harus tahu diri. Tak lagi menjadi keriuhanmu di kala sepi. Tak lagi protes saat kau bertingkah sesuka hati. Juga tak akan lagi mencari alasan agar kau tetap di sini.
Aku harus menepi. Meniadakan rindu yang terus bergemuruh di dalam hati. Meninggalkan kenangan tentangmu yang tak pernah lelah menghantui. Dan tentu saja harus menenggelamkan harapan yang sudah aku bangun sendiri.