Judul di atas menjadi pertanyaan yang mengusik saya selama beberapa hari terakhir. Berawal dari curahan hati seorang teman yang mengaku sedih lantaran merasa tidak memiliki teman. Ia mengeluh karena ia merasa sendiri. Dan membuat pertanyaan, tiba-tiba, itu muncul begitu saja. Padahal selama ini saya pribadi tidak terlalu memusingkan hal demikian.Â
Tidak ada teman-teman terbaik yang merayakan ulang tahunnya, menemaninya ke manapun, atau sekedar mengajaknya nongkrong. Saya rasa hal itu bukan masalah besar, tapi baginya itu tidak wajar. Menurut dia, menjadi salah satu dari gerombolan yang mengatasnamakan persahabatan itu merupakan suatu kebutuhan. Kalau menurut saya B aja, sih.
Untuk itu, tulisan ini dibuat dalam rangka menyimpulkan beberapa hal yang ditarik atas kejadian-kejadian dalam dinamika kehidupan, terutama dalam menjalin hubungan pertemanan dengan cara berkelompok. Sumber tulisan ini memang lebih menekankan pada pengamatan dan pengalaman pribadi. Jadi, bagi kompasianer yang memiliki jawaban lebih tepat atas pertanyaan tersebut, kuy sharing!
Dalam istilah sosiologi, pola pertemanan berkelompok atau geng ini dikenal dengan sebutan "peer group (kelompok sebaya)". Geng biasanya terbentuk dengan tidak sengaja dari kumpulan beberapa orang yang memiliki persamaan hobi, kesukaan, kemiripan sifat, atau dari kedekatan emosi.
Di samping itu, interaksi antar sesama manusia akan membentuk pola hubungan berulang-ulang atau disebut dengan behavior approach. Nah, dari pola tersebut munculah rasa terikat satu sama lain hingga menyebabkan lahirnya sebuah geng.
Pertama kali saya mengenal dan bersentuhan dengan geng yakni ketika masih berseragam putih-biru. Bahkan saya dan teman-teman membuat nama geng kami dari singkatan inisial seluruh anggota geng, atau dari do'a-do'a kami yang konyol. Contohnya seperti "Luckind Lauf" yang memiliki makna "luck, kind, and always lauf (spelling dari katalove)" dengan harapan kami akan selalu membawa keberuntungan, berbuat baik ke pada siapapun, dan senantiasa menebar kasih sayang.Â
Hahaha... kalau diingat-ingat kembali bikin geli juga. Demikianlah geng yang saya maksud dalam tulisan ini, bukan geng yang aneh-aneh, lho.
Tidak kalah dengan geng motor, geng sebelah (lah?), dan geng-geng lainnya, kami juga memiliki beberapa "aktivitas geng". Mulai dari merayakan setiap anggota yang berulang tahun (bahkan anniversary lahirnya geng tersebut), memiliki benda-benda yang sama sebagai identitas dan simbol persahabatan, sering hangout bareng atau sekedar wefie dengan menyelaraskan pose, aksesoris, hingga ekspresi. Ya... namanya juga anak baru gedhe. Maklum.
Hingga duduk di bangku kuliah, rupanya fenomena "geng-geng-an" masih harum semerbak. Hal ini baru saya sadari ketika menginjak semester 4. Tidak heran, karena kebetulan seluruh anggota kelas adalah perempuan yang notabene mengutamakan rasa nyaman dan kepentingan sendiri. Ada rasa sedih juga, sih, karena semakin hari suasana kelas semakin terasa kosong. Kekompakan yang ditampakkan hanyalah pencitraan, mayoritas sibuk dengan geng masing-masing demi mengatur jadwal pulang bareng, jalan bareng, makan bareng, foto bareng, dan bareng-bareng lainnya.
1. Geng akan memberi kesempatan bagi anggotanya untuk mengisi peranan sosial yang baru. yakni tentang bagaimana menjadi pemimpin yang baik, menjadi tempat keluh kesah antar anggota geng, bahkan menjadi "dompet cadangan" jika salah satu anggota geng membutuhkan ladang hutang, hehehe.