Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Antara Bobo dan Boboiboy

16 Februari 2017   13:19 Diperbarui: 16 Februari 2017   13:28 544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

26 tahun sebelum kekuasaan rezim orde baru berakhir, ada satu majalah “unyu-unyu” yang lahir di negeri kita tercinta. Majalah ini merupakan turunan dari Negeri Kincir Angin dengan judul yang sama dan berorientasi kepada anak-anak. Ya, apa lagi kalau bukan majalah Bobo

Ketika saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar, majalah ini cukup populer dan banyak disenangi. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi digital, rupanya Bobo lambat laun menjadi tertinggal. Dengan adanya benda-kotak-ajaib-dan-bisa-menyala-sendiri alias gadget beserta teman-temannya (televisi, tab, dan sebagainya), maka hampir seluruh media cetak, buku bacaan, dan segala hal yang berbau kertas mulai tersisihkan. Inilah hal sepele yang cukup memprihatinkan. Sebab kita tahu dan menyadari bahwa teknologi digital kini telah mengambil alih kehidupan kita, namun sayangnya kita lebih sering menutup mata. Kebutuhan yang senantiasa bertambah, keinginan yang dituntut untuk terpenuhi secara instan, dan pesatnya perkembangan teknologi beberapa dekade terakhir menjadikan manusia menambah porsi malasnya. Padahal, penggunaan teknologi digital yang tidak bijak akan sungguh-sungguh berbahaya baik dari segi medis dan psikologis bukan?

Lalu apa hubungan antara Bobo dan Boboiboy?

Tidak, mereka tidak ada hubungan khusus. Hanya saja mereka memiliki 1 konsumen yang sama yakni anak-anak. Jika Bobo adalah nama majalah, Boboiboy adalah nama serial animasi. Bobo memiliki maskot seekor kelinci biru yang selalu memakai kaos berhuruf “B” dan suka memberi pengetahuan yang menarik. Sedangkan Boboiboy merupakan nama dari seorang anak laki-laki yang selalu memakai topi merah dan memiliki kekuatan super untuk melawan makhluk asing yang ingin menyerang bumi. Dari sedikit uraian di atas saja sudah terlihat kontras tujuan keberadaan mereka. Bahwa Bobo “berniat” untuk educating, sedangkan Boboiboy cenderung ke arah entertaining.

Dan lagi, Bobo merupakan bacaan, sedangkan Boboiboy merupakan tontonan. Ini dia. Saya jadi berpikir, apakah rendahnya minat baca di Indonesia bisa jadi dikarenakan tontonan animasi yang merajalela? Animasi selalu dikemas dengan sedemikian menariknya serta menampilkan gambar yang bergerak dan bersuara. Sedangkan buku bacaan? Bergerak saja tidak, apalagi bersuara. Selain itu, entah mengapa tayangan televisi selalu menyebabkan “kecanduan” bagi penontonnya. Hal ini cukup menyedihkan, mengingat tayangan televisi terutama serial animasi sedikit sekali yang mengedukasi. Gerakan-gerakan yang ditampilkan seringkali ditiru oleh anak. Dan rata-rata, gerakan tersebut bukan gerakan yang lazim dilakukan sehari-hari seperti memukul, menyerang musuh, berkelahi, dan masih banyak lagi. Di samping itu, kini menafsirkan faedah yang terkandung dalam sebuah animasi adalah hal yang cukup sulit. Ketika saya membaca sinopsis dari film Boboiboy misalnya, saya bingung harus menyimpulkan bagaimana moral value-nya. Kalau tidak percaya coba saja baca di sini.

Namun bukan berarti saya men-judge bahwa film animasi itu buruk dan hanya buku bacaan yang baik untuk anak. Tidak, tidak seperti itu. Juga bukan berarti saya menuliskan ini untuk mengangkat derajat si Bobo dan menjerumuskan dik Boboiboy. Bukan. Bobo dan Boboiboy di sini hanya ilustrasi semata. Bahwa sesungguhnya, akan lebih baik jika buah hati diberi buku bacaan daripada diberi televisi. Bukan berarti melarang anak menonton televisi adalah hal yang benar. Segala sesuatu yang diciptakan pasti ada sisi positif dan negatifnya. Untuk itu, mari kita ambil positifnya saja.

Bobo baik, pun demikian Boboiboy dan animasi yang serupa. Sebenarnya yang menjadi masalah adalah porsi dan pilihan tontonannya. Teruntuk orangtua di manapun berada, jangan lupakan pesan ini : menonton kartun boleh, tapi jangan lupa baca buku. Selain sarat edukasi, buku akan melatih kecerdasan anak. Dengan buku, anak akan lebih terlatih untuk berpikir dan berimajinasi daripada menonton tayangan animasi. Selain itu, orangtua juga harus membatasi waktu untuk menonton televisi dan menyaring setiap tayangan untuk anak. Pun misalkan tontonan di dunia ini hanya Boboiboy, maka beri pengertian kepada anak bahwa Boboiboy adalah anak yang baik karena tidak berpihak kepada kejahatan dan berani melawan yang salah. Jangan membiarkan anak berpikir sendiri tentang apa yang ditayangkan sebuah kartun. Bisa jadi dia malah berpikir, “jadi, anak yang hebat adalah anak yang punya kekuatan super ya” atau “oh, ternyata melawan kejahatan harus diselesaikan dengan perkelahian dan trik menjebak tho” dan sebagainya. So, selalu dampingi anak ketika menonton televisi di rumah ya. Dan sekali lagi, jangan lupa membaca!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun