Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Daoen Jang Jatoeh

1 Januari 2017   12:34 Diperbarui: 1 Januari 2017   12:41 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Daun yang jatuh tak pernah membenci angin” -Tere Liye.

Mau angin tornado, angin topan, angin cinta, dan sebagainya, helaian daun yang jatuh tak pernah protes, apalagi melawan. Ibukku dan Bapakku belum pernah baca novel ini sekalipun -jangankan membaca, melihat bukunya saja mungkin belum pernah, tapi justeru aku belajar banyak makna kata-kata itu dari beliau keduanya.

“Bahwa hidup harus menerima... penerimaan yang indah. Mengerti... pengertian yang benar. Dan memahami... pemahaman yang tulus”

Sepanjang hidup, pertanyaan “kenapa” kepada hidup itu sendiri sering terlintas dipikiranku. Kenapa ada masalah? Kenapa ada luka? Kenapa ada kehilangan? Bukankah hidup akan baik-baik saja tanpa ketiganya? Kenapa ada? Ah, masih banyak kenapa-kenapa lainnya yang tak berkecamuk. Aku meyakini, bahwa setiap pertanyaan pasti berpasangan dengan jawabannya. Maka jadilah aku ‘memaksakan’ jawaban-jawaban itu dengan perasangka yang tidak-tidak. Entahlah, su’udzon kah aku kepada hidup?

Tapi, lihatlah, tanpa baca novel Tere Liye, Ibuk dan Bapak sudah melakukan tiga hal yang gugur daun lakukan : menerima, mengerti, dan memahami. Apa yang terjadi? Ketika beliau-beliau menghadapi masalah yang besar binggow sekalipun, luka yang paling menganga sekalipun, kehilangan yang terpenting sekalipun, beliau-beliau tetap bisa hidup normally, bahagia as always. Padahal aku tahu, aku menyaksikannya sendiri, beta binggow-nya masalah yang dihadapi. Bahkan meski aku tak terlibah atas ke-binggow-an itu, malah justeru aku yang resah gelisah. Ibuk dan Bapak tetap menampakkan senyum terbaiknya seperti yang biasa ku lihat setiap hari. Benar-benar, belum pernah aku temui sosok yang setegar keduanya, selain Rasulullah dan nabi-nabi lain yang hanya kutemui kisahnya selama ini.

Daun yang jatuh tak pernah membenci angin.

Maka biarkan, biarkan angin merengkuhnya, membawanya, entah itu sampai kepada lautan luas, atau malah jatuh terinjak-injak di tanah basah. Yang pasti, daun tak pernah jatuh dengan ke-sia-sia-an.

Allahummaghfirlana waliwalidina warhamhum kama robbauna shighoro.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun