Mohon tunggu...
Afif Auliya Nurani
Afif Auliya Nurani Mohon Tunggu... Guru - Pengajar

Semakin kita merasa harus bisa, kita harus semakin bisa merasa

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hafal Al-Qur'an Sejak Dini, Baikkah?

31 Oktober 2016   14:38 Diperbarui: 31 Oktober 2016   14:46 1223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun terakhir, banyak channel televisi komersial yang menayangkan kompetisi hafidzh cilik tingkat nasional. Dimana anak-anak yang masih berusia 3 sampai 7 tahun baik laki-laki maupun perempuan unjuk gigi atas ‘keajaibannya’ dalam menghafal ayat-ayat suci Al-Qur’an. Ada yang hafal 1 sampai 5 juz saja, ada pula yang sudah hafal 30 juz dengan lancar meskipun belum tentu anak tersebut sudah bisa membaca kalam Allah. Tentu orangtua manapun yang melahirkan dan membesarkan anak dengan ‘keajaiban’ tersebut akan merasa bangga dan sangat bersyukur. Tidak lupa masyarakat umum pastinya akan takjub dan berharap memiliki anak yang demikian. 

Siapa pula yang tidak ingin, mengingat banyak sekali kemuliaan yang diberikan Allah bagi para penghafal qur’an. Salah satunya adalah penghafal qur’an akan menjadi syafa’at (penolong) bagi 10 anggota keluarganya dan orangtua dari penghafal qur’an tersebut akan dipakaikan jubah kemuliaan ketika di syurga kelak (Hadist Riwayat Hakim). Sehingga dalam beberapa tahun terakhir, muncul pesantren-pesantren atau lembaga yang ‘memburu’ anak-anak usia dini untuk menjadi penghafal qur’an. Para orangtua juga berbondong-bondong mengupayakan buah hatinya untuk menghafal. Secara kasat mata, fenomena ini terlihat sangat positif dan berorientasi pada kebaikan. Namun, yang demikian itu pantas kah untuk anak usia dini?

Bila difikirkan kembali, anak usia dini dengan segala kepolosannya masih belum mengerti benar hakikat agama, yakni untuk apa kita beragama, mengapa agama itu bermacam-macam, mengapa harus beribadah, dan termasuk mengapa Al-Qur’an dihafalkan. Dalam teori perkembangan, anak usia dini belum memiliki keyakinan agama yang berarti meskipun ia menunjukkan minat untuk beribadah dan mempercayai keberadaan Tuhannya. Anak melakukan ibadah hanya berdasarkan proses imitasi, yakni menirukan apa yang dilihat dan didengar tanpa mengetahui esensi dari ibadah tersebut. 

Mengingat pola berfikir anak masih bersifat konkrit, hal semacam kemuliaan menghafal Al-Qur’an, syafa’at-syafa’at, urgensi kitab suci, dan hal-hal terkait lainnya akan sulit dicerna oleh anak. Selain itu, kita semua tahu bahwa dunianya adalah dunia bermain. Itu sudah paten dan tidak dapat diganggu gugat. Maka, dengan men-drill anak untuk menghafal kalamullah bisa jadi akan ‘membunuh’ dunianya, dunia yang harus dan hanya didapat pada usia dini. Akibatnya, beberapa aspek perkembangan anak seperti motorik, sosial, moral, dan sebagainya akan terhambat karena tuntutan hafalan yang harus dipenuhinya. Namun, bukan berarti menjadikan buah hati hafal Al-Qur’an sejak dini adalah sebuah kesalahan. Segala sesuatu dapat dilihat benar atau salah maupun baik atau buruk melalui 2 hal, yakni tujuan dan cara mendapatkan. Apabila kedua hal tersebut dilakukan secara benar, maka output atau hasil akhir-nya akan menjadi baik, begitu juga sebaliknya.

Maka dapat disimpulkan, apabila ingin menjadikan anak hafal Al-Qur’an jangan sekali-kali dilakukan dengan pemaksaan. Menuntut anak untuk mencapai target hafalan, mengancam anak apabila hafalannya tidak tuntas, memasukkan anak ke lembaga hafidzh, atau bahkan ke dalam pesantren tahfidzh merupakan beberapa bentuk ‘pemaksaan’ yang tidak sesuai dengan perkembangan anak. Jadikan anak menghafal kalam-kalam Allah melalui pembiasaan. 

Misalnya dengan cara memutar murrotal di rumah setiap hari, maka lambat laun anak akan mengikuti apa yang biasa didengarnya. Atau saat anak sedang bermain dengan santai, lafadzkan ayat-ayat yang akan dihafalkan secara berulang-ulang sampai ia menirukannya. Karena ketika anak melakukan suatu hal dengan hati yang senang dan tidak merasa terbebani, ia akan mudah menyimpan stimulus yang diterimanya dengan baik. Bahkan bisa jadi ia tidak menyadari bahwa ia sedang menghafal Al-Qur’an. Dan menjelang waktu tidur, ceritakan kisah-kisah dalam Al-Qur’an untuk menarik hati anak sehingga ia dapat mencintai Al-Qur’an sepenuh hatinya. 

Remember, say no to forcing, say yes to habituating.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun