Penurunan ekonomi Korea Utara adalah masalah yang rumit dan disebabkan oleh banyak hal internal dan eksternal. Korea Utara, yang terkenal dengan kebijakan isolasionisnya, kini menghadapi masalah ekonomi yang signifikan. Ekonominya yang menurun adalah akibat dari tekanan eksternal dan masalah internal yang berkelanjutan. Dalam artikel ini, kami akan memeriksa berbagai komponen penyebab, efek yang dirasakan, dan masalah yang dihadapi Korea Utara dalam mengelola ekonominya.
Korea Utara sangat bergantung pada mitra dagang terbesarnya, Cina, karena ekonominya yang tertutup. Namun, Korea Utara menutup perbatasannya secara ketat untuk mencegah penyebaran COVID-19. Hampir semua perdagangan dengan Cina dihentikan karena tindakan ini, yang mengakibatkan kekurangan barang impor seperti bahan bakar, obat-obatan, dan kebutuhan pokok lainnya.
Sejak merdeka pada tahun 1948, Republik Demokrasi Rakyat Korea (RDRK), yang dipimpin oleh Kim Il-sung, dikenal sebagai negara yang terisolasi dari dunia internasional dan menganut ideologi komunisme yang konservatif. Di sini juga kita melihat perpaduan antara tradisi Konfusius, masyarakat konservatif, kontrol, dan proses indoktrinasi komunisme yang berulang. Sistem politik otoriter yang dibangun oleh perpaduan tidak sebanding dengan Uni Soviet atau RRC. Setelah kembali ke Cina dari kunjungan beberapa hari ke Pyongyang, seorang istri wartawan Soviet yang tinggal di Beijing mengungkapkan kegembiraannya.
Korea Utara mengalami penurunan ekonomi terparah pada 1990-an, terutama selama periode yang dikenal sebagai Arduous March (atau Kehidupan Berat), sekitar tahun 1994 hingga 1998. Periode ini ditandai oleh krisis ekonomi yang sangat parah, kelaparan massal, dan runtuhnya sistem distribusi pangan negara.
Sanksi internasional adalah penyebab utama penurunan ekonomi Korea Utara. Negara ini telah menerima sanksi dari banyak negara karena program nuklirnya dan pengembangan misil balistik, termasuk AS dan PBB. Sanksi terhadap Korea Utara terkait senjata dan teknologi ini dimaksudkan untuk mencegah negara tersebut mengembangkan program nuklirnya. Sanksi ekonomi dan pembatasan impor Korea Utara membuat ekonomi Korea Utara tidak stabil. Ini terlihat pada penurunan 88% dalam perdagangan dengan Cina sebagai akibat dari sanksi.
Korea Utara berusaha untuk keluar dari sanksi ekonomi agar dapat menghasilkan uang lagi dari komoditas utamanya. Jadi, Korea Utara harus benar-benar berniat untuk denuklirisasi. Meskipun mendapat sanksi internasional. Sanksi tersebut membatasi kemampuan Korea Utara untuk menjual barang-barang pentingnya di pasar internasional, seperti batu bara, tekstil, dan bahan baku lainnya. Akibatnya, negara kehilangan sumber pendapatan devisa pentingnya, defisit ekonomi terus meningkat, dan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan domestik semakin terbatas.
Di dalam negeri, pemerintah Korea Utara mengalami kesulitan mengelola ekonomi. Anggaran negara sebagian besar dialokasikan untuk militer, tetapi sektor sipil seperti pertanian, kesehatan, dan pendidikan sering diabaikan.
Produksi pangan tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat karena distribusi pangan yang tidak merata dan kurangnya teknologi pertanian modern. Selain itu, sistem ekonomi yang diatur pemerintah tidak mampu menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri.
Bencana alam seperti banjir dan kekeringan kerap merusak pertanian di Korea Utara. Bencana ini berdampak besar pada ketersediaan makanan karena sebagian besar penduduk bergantung pada sektor pertanian untuk hidup. Masalah kelangkaan pangan menjadi semakin parah karena kegagalan kebijakan, tekanan sanksi, dan konsekuensi bencana. Menurut laporan, sejumlah besar keluarga di Korea Utara hidup dalam kondisi
Percobaan Korea untuk Memulihkan Ekonominya
Dengan embargo minyak dan pembatasan penjualan komoditas utama Korea Utara, seperti sumber daya alam, perekonomian Korea Utara menjadi tidak stabil karena sanksi tersebut, dan Korea Utara menjadi kesulitan mencari pendapatan ekonominya, terutama karena Cina, yang menjadi patner utama Korea Utara, mulai tertekan oleh Amerika Serikat karena sanksi tersebut. Pyongyang sering kali menunjukkan keinginan untuk bernegosiasi karena sanksi tersebut.
Pasar gelap juga dikenal sebagai "jangmadang" telah menjadi bagian penting dari ekonomi rakyat Korea Utara, meskipun sebagian besar sektor tersebut dikuasai oleh pemerintah negara tersebut.
- Peran Pasar Gelap: Karena membantu mengurangi tekanan ekonomi domestik, pemerintah secara tidak resmi mengizinkan aktivitas pasar ini. Barang impor seperti pakaian, makanan, dan kebutuhan rumah tangga dapat ditemukan di pasar gelap, yang sering didukung oleh penyelundupan dari Cina.
- Keuntungan Ekonomi Informal: Pendapatan dari bisnis ini seringkali meningkatkan daya beli masyarakat dan merupakan salah satu cara untuk mengatasi kekurangan pangan.
Sejak tahun 1990-an, pasar gelap Jangmadang di Korea Utara adalah fenomena ekonomi informal yang berkembang. Pada awalnya, Jangmadang, yang secara harfiah berarti "pasar terbuka", muncul sebagai tanggapan terhadap kerusakan sistem distribusi negara selama krisis ekonomi besar yang dikenal sebagai "Kelaparan Besar" pada tahun 2000. Meskipun pasar ini tidak sepenuhnya legal, sekarang menjadi bagian penting dari ekonomi Korea Utara.
Pasar Jangmadang telah menjadi bagian penting dari ekonomi informal Korea Utara, memberikan kesempatan bagi banyak warganya untuk bertahan hidup di tengah kegagalan ekonomi nasional. Meskipun melanggar hukum, Jangmadang menunjukkan bagaimana masyarakat beradaptasi dengan situasi yang sulit. Pasar ini menunjukkan bagaimana orang Korea Utara menemukan cara untuk bertahan hidup meskipun diawasi dan dipaksa oleh pemerintah.
Referensi:Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H