Mohon tunggu...
Afi Budy Lestari
Afi Budy Lestari Mohon Tunggu... Akuntan - Universitas Pembangunan Jaya

Mahasiswa Aktif Akuntansi Universitas Pembanguna Jaya

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mengelola Kesehatan Mental di Tengah Stigma Sosial

20 Desember 2023   11:30 Diperbarui: 20 Desember 2023   11:37 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Life doesn't make any sense without interdependence. We need each other, and the sooner we learn that, the better for us all."  --- Erik Erikson

            Pernahkah kamu merenung dalam kesendirian, tatapan kosongmu terpaku pada pikiran dan kekhawatiran yang bergejolak di dalam dirimu? Kadang dirimu merasa tidak puas, gelisah, dan hati terbebani. Dirimu seakan-akan kayu dan kecemasan adalah rayap. Kecemasan, sebagai rayap yang merayap tanpa ampun, melahap pelan-pelan ketenangan dalam diri. Kamu merasakan hal yang tidak wajar dalam dirimu, walaupun tidak ada perubahan yang terlihat dari luar. Kamu tahu ada yang tidak wajar, tetapi masih denial karena adanya stigma dari masyarakat.

Menurut Rachel Maulidhia, mahasiswa jurusan Agroekoteknologi, Universitas Udayana, stigma dari masyarakat yang sering dia dengar mengenai kesehatan jiwa yaitu hal yang tabu. Di lingkungan sekitar, orang-orang masih menanggap kesehatan mental menjadi hal yang tabu disebabkan pandangannya yang masih 'tradisional'. Dalam pandangan tradisional, kesehatan mental sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat mistik atau spiritual, seperti kerasukan setan atau kutukan. Hal ini menyebabkan orang-orang dengan masalah kesehatan mental sering dianggap sebagai orang yang tidak waras atau tidak memiliki agama. Lalu, kurangnya pengetahuan. Banyak orang yang masih kurang memahami tentang kesehatan mental. Mereka tidak mengetahui bahwa masalah kesehatan mental adalah kondisi medis yang dapat diobati.

Stigma membuat banyak individu enggan untuk mencari atau berkonsultasi dengan professional. Rasa takut akan penilaian orang lain menjadi penghalang utama dalam mengatasi kesehatan mental. Generasi sebelumnya juga yang menanggap bahwa generasi sekarang bermental lemah dan lembek. Hal ini tak jarang membuat seseorang beranggapan bahwa dirinya hanya lebay sebab menurut generasi sebelumnya generasi masa kini itu lemah.

Menurut Scheid & Brown, stigma bisa ada ketika seseorang diberikan labeling, stereotip, separation serta adanya diskriminasi. Labeling terjadi ketika individu diberikan 'identitas' seperti dalam konteks kesehatan mental, ketika seseorang mengatakan dia mengalami gangguan mental ada yang melabeli orang tersebut 'gila'. Hal tersebut terjadi di marsyarakat karena kurangnya literasi mengenai bahwa memiliki penyakit mental bukan hal memalukan, justru harus dipulihkan. Stereotip, membentuk sebuah gambaran, menciptakan asumsi negatif dan prasangka. Contoh stereotip seseorang yang mengidap gangguan mental yaitu kurang mendekatkan diri kepada Tuhan. Stigma ini muncul karena adanya anggapan bahwa gangguan mental adalah akibat dari dosa atau perbuatan yang tidak baik. Anggapan ini juga didukung oleh keyakinan bahwa Tuhan akan melindungi orang-orang yang saleh dan beribadah. Padahal, gangguan mental adalah kondisi medis yang dapat terjadi pada siapa saja, tanpa memandang agama atau kepercayaan. Gangguan mental dapat disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk faktor genetik, lingkungan, dan stres.

Gambar 2: Instagram @jelly_jilli
Gambar 2: Instagram @jelly_jilli

Apakah seseorang yang memiliki gangguan mental itu hanya orang yang tidak bersyukur dalam hidupnya? Tentu tidak. Ada banyak faktor yang memengaruhi kesehatan mental seseorang. Kalau berbicara mengenai ketidakpuasan akan materi, mengapa banyak selebritas yang sudah sukses mengakhiri hidupnya? Kita lihat contoh kasus meninggalnya Choi Jin-ri, atau Sulli fx seorang member idol girlgroup asal Korea Selatan, dia sudah menikmati kesuksesannya dibidang tarik suara dan acting yang dia rintis sedari kecil. Kariernya yang melejit justru membuatnya mengakhiri hidup di tangannya sendiri. Ketika Sulli mencoba untuk berani bersuara perihal kesehatan mentalnya, warganet justru menyebutnya mencari perhatian.

Bagi kalian yang pernah merasakan seperti Sulli yang lingkungan sekitar menganggap kesehatan mental kalian remeh, jangan didengarkan! Kalian harus berpikir bahwa kesehatan mental adalah hal yang penting sama halnya dengan kesehatan fisik kalian. Mungkin sulit untuk membuka mata semua orang tentang hal ini, tetapi kita bisa mengontrol hal yang ada dipikiran kita. Dengan kita bisa mengontrol pikiran kita, akan membuat kita menjadi lebih tenang. Inilah untuk saatnya, kita sebagai generasi yang peka terhadap pentingnya kesehatan mental.

Pertama, terimalah dirimu. Hanya dirimu lah yang bisa menerimamu apa adanya. Mungkin ada saat-saat kamu merasa dirimu tidak mencapai standar atau harapan yang kamu inginkan. Mungkin kamu merasa seperti pencapaianmu tidak sebanding dengan ekspektasi yang ditempatkan oleh lingkungan sekitarmu. Meskipun begitu, izinkan dirimu untuk melepaskan beban tersebut.

"The most terrifying thing is to accept oneself completely." Tulis Carl Gustav Jung, seorang psikiater dan psikoanalis yang mendirikan psikologi analitis.

Salah satu cara untuk menerima diri sendiri adalah dengan mengenali diri sendiri. Kita perlu mengetahui kelebihan dan kekurangan kita, serta apa yang kita inginkan dalam hidup. Dengan mengenali diri sendiri, kita bisa lebih memahami diri kita dan menerima diri kita apa adanya. Cara lain untuk menerima diri sendiri adalah dengan berhenti membandingkan diri dengan orang lain. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kita tidak perlu membandingkan diri dengan orang lain untuk merasa berharga. Untuk menerima dirimu seutuhnya, coba kamu peluk dirimu seraya mengucapkan kalimat. "Aku menerima diriku apa adanya, baik kelebihan maupun kekurangannya.", "Aku bangga menjadi diriku sendiri.", "Aku tidak perlu menjadi orang lain untuk bahagia."

            Kedua, mengelola stres. Salah satu cara untuk mengelola stres adalah dengan mengendalikan pikiran. Pikiran yang negatif dapat memperburuk stres. Oleh karena itu, penting untuk belajar untuk mengendalikan pikiran kita agar tidak terjebak dalam pikiran-pikiran negatif. Epictetus, seorang filsuf stoic mengatakan bahwa manusia hanya dapat mengendalikan pikiran dan tindakan mereka sendiri, bukan situasi atau orang lain, dan bagaimana pentingnya kita merespon dalam sebuah situasi. Dia memercayai bahwasanya manusia bisa terfokus pada pikiran mereka dan tidak terganggu oleh hal-hal yang di luar kendali.

            Ketiga, hindari orang-orang yang menjadi pemicu stres. Contohnya jika ada dalam temanmu yang meremehkan dan mengejek dirimu karena memiliki gangguan mental, hindarilah teman yang seperti itu! Percayalah, mereka hanya akan membuat dirimu makin stres. Memiliki hubungan dengan orang yang membuat kita stres dan mengganggu kesehatan mental kita dapat berdampak negatif pada kehidupan kita. Orang-orang ini dapat membuat kita merasa tidak berharga, tidak dicintai, dan tidak bahagia. Mereka juga dapat menyebabkan kita mengalami berbagai masalah kesehatan mental, seperti stres, kecemasan, dan depresi. Menurut John Santrock,  seorang anggota dewan redaksi Perkembangan Anak dan Psikologi Perkembangan, persahabatan adalah sekumpulan kawan yang terlibat dalam kebersamaan, saling mendukung, dan memiliki keakraban. Jadi, habiskanlah waktumu dengan orang-orang yang membuatmu bahagia, yang saling mendukung dan membuatmu aman.

            Kesehatan mental juga sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Bersyukurnya, pada zaman ini sudah banyak yang menyuarakan kesehatan mental. Namun, perlu adanya implementasi di dunia nyata. Melawan stigma masyarakat mengenai kesehatan mental juga harus disuarakan. Supaya perihal kesehatan mental ini tetap didengar dan tidak menjadi tabu di kehidupan sosial ini. Sebagai generasi yang akan membangun negeri ini, kita harus merapihkan hal yang menurut generasi sebelumnya itu hal sepele. Sebab kalau bukan kita, siapa lagi?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun