Mohon tunggu...
Afiandari Nur Ardiati
Afiandari Nur Ardiati Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Jurnalistik

Hello~

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Mengenal Sigit Budiarto, Sang Pencetak Prestasi dan Atlet Top Dunia

31 Januari 2022   14:12 Diperbarui: 31 Januari 2022   15:08 4405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Candra dan Sigit di final Kejuaraan Dunia 1997. Foto: Instagram/erlybahtiar

Siapa yang tak kenal dengan nama Sigit Budiarto? Salah satu pemain bulu tangkis ganda putra andalan Indonesia pada era akhir 90-an dan awal 2000-an yang berhasil mencuri perhatian dunia kala itu.

Berbeda dengan partnernya, Candra Wijaya yang dikenal ambisius, menggebu-gebu, dan berapi-api, pria bertubuh tinggi ini dianggap cenderung tenang namun memiliki teknik permainan yang sangat komplet.

Sigit disebut-sebut memiliki pergelangan tangan yang kuat sehingga menghasilkan pukulan-pukulan tidak terduga saat berhadapan dengan lawan-lawannya di lapangan.

Tak hanya sukses sebagai pemain bulu tangkis, ia juga sukses mencetak pemain-pemain andal melalui klub yang telah membesarkannya dahulu, Perkumpulan Bulu Tangkis Djarum (PB  Djarum).

Sigit Budiarto berhasil membuktikan kapasitasnya sebagai pelatih dengan mengantarkan anak didiknya, Edi Subaktiar dan Melati Daeva Oktaviani meraih medali emas di Kejuaraan Dunia Junior 2012.

Begitu juga dengan Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Praveen Jordan, dua orang yang kini menjadi pemain top dunia.

Di balik kisah suksesnya itu, Sigit menceritakan bagaimana ia merintis karier bulu tangkisnya dengan penuh lika-liku di dalam #TektokanAlaButetEps.07 Part 1 – “Mas Sigit Gagal Tanding di Olimpiade?”

Selengkapnya, dapat Anda tonton di video berikut ini

Sigit kecil

Cerita Sigit berawal pada 24 November 1975 di Yogyakarta.

Ia lahir dari pasangan Sutoto dan Naniek Sriniati.

Sigit kecil dikenalkan bulu tangkis oleh kedua orang tuanya. Ia tumbuh di keluarga yang memang senang bulu tangkis. Sang ayah lantas mengajari Sigit dan keempat saudaranya bermain bulu tangkis.

Saat menginjak usia enam tahun, Sigit mulai bergabung dengan klub PB Pancing Sembada, Sleman Yogyakarta. Di sana ia berlatih, hingga rutin mengikuti pertandingan di wilayah Jawa Tengah.

“Dulu ada satu klub di Jogja namanya PB Pancing. Itu yang punya PB Pancing namanya Pak Anton. Memang putranya sudah masuk di PB Djarum duluan dan mungkin ada satu kerja sama yang baik, sehingga pada saat itu saya diminta untuk bergabung di klub Pancing tersebut,” jelas Sigit dengan tenang.

Menapak jejak di PB Djarum

Sigit mengikuti pertandingan di Solo, turnamen se-Jawa Tengah. Ia berhasil sampai ke partai final dan sukses mengalahkan wakil dari PB Djarum Budi Santoso.

Tak lama kemudian, Sigit dipanggil ke PB Djarum saat baru saja naik kelas dua SMP.

“Pertama kali masuk di Kudus, setelah ada satu pertandingan yang mungkin pelatih dari Kudus pas ikut pertandingan itu dalam satu turnamen, mereka melihat kok kayaknya mungkin dilihatnya bagus gitu ya. Jadi disuruh daftar,” ujarnya.   

Tepatnya tahun 1988, Sigit resmi bergabung dengan klub PB Djarum.

Sigit yang kala itu masih berusia 13 tahun, harus belajar hidup mandiri jauh dari kedua orang tua dan tinggal di asrama. Sigit mengakui dirinya sempat menangis tatkala ditinggal pulang orang tuanya saat pertama kali masuk asrama.

“Di situ saya ketemu Koh Hari (Hariyanto Arbi), sebelum dia pindah ke Pelatnas Cipayung. Jadi sempat nangis kan mau ditinggal orang tua,” katanya.

“Udah ngga apa-apa, latihan saja di sini. Orang tuanya suruh pulang,” lanjut Sigit yang menirukan ucapan Hariyanto Arbi.

Hariyanto Arbi (kiri) dan Sigit Budiarto (kanan) mengejar shuttlecock. Foto: pbdjarum.org
Hariyanto Arbi (kiri) dan Sigit Budiarto (kanan) mengejar shuttlecock. Foto: pbdjarum.org
Dalam sekejap, ia merasa tenang dan mengaku siap menjalani hari-hari beserta latihan sebagaimana mestinya.

“Pagi itu kita sekolah seperti biasa masuk pagi. Pulang siang jam 13.00, kemudian jam 15.00 itu mulai latihan fisik sampai dengan jam 16.30. Kemudian istirahat sebentar, jam 17.00 kita mulai lagi latihan teknik sampai jam 19.00,” jelasnya.

Sebelum menjalani karier sebagai pemain spesialis nomor ganda putra, Sigit juga pernah bermain dalam nomor tunggal. Ia bergabung bersama PB Djarum dengan identitasnya sebagai pemain tunggal.

Di sana Sigit rutin bermain di nomor tunggal. Hanya ketika turnamen beregu saja ia diturunkan sebagai pemain ganda lantaran slot pemain tunggal sudah penuh.

Sempat rehat sejenak dari bulu tangkis, lalu masuk Pelatnas

Bertahan selama dua tahun di PB Djarum, pada tahun 1991 Sigit pulang ke Yogyakarta.

Setahun di kampung halaman, Sigit hijrah ke sebuah klub bernama Allpro Solo dan berlatih sebagai pemain ganda. Di Solo ia dilatih oleh Basri Yusuf.

Basri kemudian saling kontak-kontakkan dengan Chafidz Yusuf pelatih PB Djarum Jakarta, membahas tentang stock pemain “nganggur”. Rupanya di sana ada Ade Lukas yang belum mempunyai pasangan juga. Basri dan Sigit pun langsung diminta datang ke Jakarta untuk berpartner dengan Ade Lukas.

“Saya naik bus ke Jakarta, latihan di tempat PB Djarum Petamburan, Jakarta. Latihan satu minggu, kemudian pertandingan. Setelah setahun lebih bolak-balik Jakarta-Solo, baru setelah itu tahun 1994 masuk PB Djarum khusus ganda,” pungkas Sigit mengingat masa merintis kariernya.

Berpasangan dengan Ade Lukas, ia memenangkan banyak gelar level nasional. Prestasi ini membawanya mengikuti seleksi masuk Pelatnas dan akhirnya diterima tahun 1995.

Ade Lukas (kiri) dan Sigit Budiarto (kanan). Foto: edit
Ade Lukas (kiri) dan Sigit Budiarto (kanan). Foto: edit

Masa-masa awal masuk Pelatnas, Sigit Budiarto tidak lagi dipasangkan dengan Ade Lukas, melainkan berganti dengan Dicky Purwo Sugiono. Pasangan ganda putra ini mulai menghiasi pentas bulu tangkis internasional.

Setahun bersama Dicky, Sigit mampu merebut gelar juara French Open. Sayangnya, lagi-lagi ia harus berpisah dengan partnernya itu. 

Pada bulan September 1996, usai pagelaran Pekan Olahraga Nasional (PON), Sigit resmi dipasangkan dengan Candra Wijaya.

Tanpa latihan khusus, ia pun diberangkatkan ke US Open. Tak disangka, keduanya membawa hasil yang memuaskan pelatih.

“Saya dikirim sama Candra, ngga pernah latihan. Maksudnya yang khusus gitu ya, hanya suruh berangkat ke sana. Terus pas di sana hasilnya bagus. Bisa jadi juara ngalahin Cheah Soon Kit/Kim Hock. Setelah itu baru ditetapin,” jelas pemain yang kerap berganti-ganti pasangan itu.

Pencapaian Sigit/Candra berlanjut dengan berbagai gelar pada tahun berikutnya, seperti Taipei Open, Indonesia Open, dan Singapore Open. Bahkan pertama kali berpartisipasi di Kejuaraan Dunia 2017, mereka mampu menyabet gelar juara dengan kemenangan dramatis di partai final melawan duet legendaris asal Malaysia, Cheah Soon Kit/Yap Kim Hock.

Candra dan Sigit di final Kejuaraan Dunia 1997. Foto: Instagram/erlybahtiar
Candra dan Sigit di final Kejuaraan Dunia 1997. Foto: Instagram/erlybahtiar
Tak tanggung-tanggung, pasangan ganda putra ini berhasil menempati urutan teratas dunia, menggantikan Rexy Mainaky/Ricky Subagja yang konon disebut-sebut sebagai ganda putra terbaik di dunia.

“Setelah itu (usai juara dunia) sekitar enam bulan kemudian kayaknya (menggeser Rexy/Ricky). Karena setelah itu tiga turnamen berturut-turut bisa jadi juara satu,” ujar Sigit yang mengaku tak menyangka bisa sampai sejauh ini.

Rexy/Ricky dan Candra/Sigit sebelum eksibisi. Foto: pbdjarum.org
Rexy/Ricky dan Candra/Sigit sebelum eksibisi. Foto: pbdjarum.org
Cerita menarik dari ajang Thomas Cup 1998

Di antara sederet gelar yang pernah diraihnya, ada satu momen yang paling berkesan dan tak terlupakan bagi Sigit. Bersama Candra, ia menjadi bagian dari tim Indonesia di ajang Piala Thomas 1998.

Sigit Budiarto/Candra Wijaya memegang piala Thomas Cup. Foto: pbdjarum.org
Sigit Budiarto/Candra Wijaya memegang piala Thomas Cup. Foto: pbdjarum.org
Diakui Sigit, kondisi tim Indonesia saat itu sedang resah karena ada kerusuhan di Jakarta. Sebagian pemain pun mengkhawatirkan keluarganya di tanah air. Namun tim Indonesia mampu melewatinya dan berhasil menjuarai Piala Thomas 1998.

Masih di ajang yang sama, ada beberapa momen yang begitu melekat di ingatan Sigit. Salah satunya ketika tim Indonesia dilepas dan disambut oleh presiden yang berbeda.

Mereka dilepas Presiden Soeharto saat hendak berangkat menuju Hong Kong. Bak sudah lima tahun, saat pulang tim Indonesia disambut oleh presiden baru, yakni B.J Habibie.

“Setiap Thomas Cup sebenarnya ada cerita-ceritanya, tetapi tahun 1998 itu sangat menarik. Di mana kami berangkat pamitannya dengan Soeharto, pulangnya sudah ganti presiden,” cerita Sigit kepada kumparan.

Sejatinya kala itu Piala Thomas berlangsung selama seminggu.

Adapun momen perayaan gelar juara Piala Thomas di tahun tersebut juga menyimpan kisah tersendiri bagi Sigit. Lantaran konvoi juara Thomas Cup 1998, disangka kerusuhan.

“Sampai di Indonesia disambut. Kemudian sempat diarak juga meskipun pertama kali masyarakat pada takut, dipikirnya kan kerusuhan lagi,” ungkap Sigit sambil tertawa saat mengenang kesalahsangkaan itu.

Terkena vonis doping    

Di tengah kebahagiannya, Sigit Budiarto harus menghadapi cobaan berat. Pada 1998 ini pula ia dinyatakan gagal tes doping.

Dengan mendongakkan kepala sembari mengusap-usap dagu menggunakan jari telunjuknya, Sigit mengaku bingung mengapa ia divonis melakukan doping.

“Sampai saat ini pun saya masih kurang mengerti. Kalau soal jamu memang sempat dikasih. Tetapi sempat juga ngetes ke lab, katanya ngga ada kandungannya. Ngga ngerti juga yang bener yang mana,” katanya.

Menurut Sigit, awalnya ia diberi sanksi dua tahun, namun ternyata diringankan menjadi 13 bulan. Tetapi bagi Sigit, efektifnya hampir setengah tahun dirinya tidak berpartisipasi dalam turnamen bulu tangkis. Ia divonis tidak bisa mengikuti semua pertandingan, baik internasional maupun tingkat nasional.

Meski begitu, Sigit menegaskan bahwa ia tidak pernah takut dites doping, karena memang tidak pernah dengan sengaja menggunakannya.

Sementara mengenai perasaannya saat itu, Sigit mengungkapkan bahwa vonis doping adalah sesuatu yang berat dan hampir meruntuhkan puncak kariernya. Lantaran terjadi pada masa di mana ia dan Candra sedang berada di posisi peringkat satu dunia, ditambah lagi sedang melakukan persiapan jelang Olimpiade Sydney 2000.

“Berat ya, mau ketemu orang malu, ngobrol sama orang lain juga malu. Kemudian di PB juga ngga banyak orang yang bisa membantu, dalam artian secara psikologis ya,” keluh Sigit.

Pada situasi ini, muncul sosok Agus Wirahadikusumah yang datang membawa tawaran kepada Sigit untuk menenangkan diri di rumah dinas Agus. 

Sigit yang mengiyakan ajakan itu, lantas tinggal di sana selama beberapa waktu sebelum kembali lagi ke Pelatnas Cipayung.

Momen titik balik bagi Sigit Budiarto

Tahun 1999, Sigit kembali berpartisipasi di perhelatan kompetisi dunia. Sayangnya, meski larangan bertanding telah berakhir, ia harus memupus harapannya untuk berlaga di Olimpiade Sydney 2000 mewakili Indonesia.

Pada saat itu juga Sigit tidak lagi berpasangan dengan Candra Wijaya.

Adapun selama masa skorsing Sigit berlaku, Candra diduetkan dengan Tony Gunawan. Sementara Sigit berpasangan dengan Halim Haryanto yang kemudian berhasil merebut juara Dutch Open 2000.

Taufik Hidayat (kiri), Sigit Budiarto (tengah), dan Halim Haryanto (kanan) merayakan gelar Piala Thomas 2002. Foto: Bobby Yip/REUTERS
Taufik Hidayat (kiri), Sigit Budiarto (tengah), dan Halim Haryanto (kanan) merayakan gelar Piala Thomas 2002. Foto: Bobby Yip/REUTERS
Setelah Olimpiade selesai, tepatnya pada tahun 2001, pelatih ganda putra Pelatnas mengembalikan duet Sigit bersama Candra.

Alhasil pasangan ini kembali menggila dengan gelar-gelar bergengsi seperti Japan Open, Indonesia Open, Malaysia Open, Thailand Open dan medali emas SEA Games 2001. Bahkan bisa juara beruntun di Piala Thomas tahun 2000 dan 2002.

“Ada satu hal lagi yang agak sedikit nyesek. Maksudnya pada saat itu, mestinya saya bisa menang tetapi kalah waktu di Thomas Cup 2002, semifinal ketemu Denmark. Jadi game pertama menang, game keduanya kalah, game ketiganya kalau ngga salah deuce kalah,” kenang Sigit kala dirinya belum berhasil menyumbangkan poin untuk tim Indonesia.

Pada tahun 2003, Sigit/Candra berhasil merebut gelar juara ganda putra All England, turnamen tertua di dunia.

Sigit Budiarto bersama Candra Wijaya menyabet gelar juara All England 2003. Foto: bbc.co.uk
Sigit Budiarto bersama Candra Wijaya menyabet gelar juara All England 2003. Foto: bbc.co.uk
Secara meyakinkan, mereka menang mudah dengan skor 15-7, 15-5 atas Lee Dong-soo/Yoo Yong-sung di partai puncak All England 2003.

“Yang susah itu kan dari pertama sampai final,” ujar Sigit sambil tertawa.

Pensiun jadi pemain, beralih profesi jadi pelatih

Akhir tahun 2006, Sigit memutuskan keluar sekaligus pensiun dari Pelatnas.

Setelah pensiun sebagai pemain, ia kembali ke PB Djarum dan beralih profesi menjadi pelatih sektor ganda. Sigit mengaku sempat merasa gugup kala berhadapan dengan anak didiknya, lalu bingung menetapkan program.

Bersyukur, setahap demi setahap proses menjadi pelatih yang baik mampu ia lalui. Bahkan dirinya mampu mengantarkan anak didiknya, Arya Maulana Aldiartama/Edi Subaktiar meraih gelar juara Asia Junior Championships 2012 dan Edi Subaktiar/Melati Daeva Oktaviani meraih medali emas Kejuaraan Dunia Junior 2012.

Sigit memberikan instruksi kepada Edi/Arya. Foto: pbdjarum.org
Sigit memberikan instruksi kepada Edi/Arya. Foto: pbdjarum.org
Beberapa pemain yang pernah dilatihnya pun kini menjadi andalan di Pelatnas, salah satunya Kevin Sanjaya Sukamuljo.

Sigit Budiarto (kanan) memberikan arahan kepada Kevin Sanjaya Sukamuljo (kiri). Foto: pbdjarum.org
Sigit Budiarto (kanan) memberikan arahan kepada Kevin Sanjaya Sukamuljo (kiri). Foto: pbdjarum.org
Sederet pengalaman Sigit Budiarto, membuka pandangan bahwa prestasi sebagai olahragawan tak hanya terbatas di lapangan pertandingan saja. Sigit sendiri sukses mencetak skor sebagai pemain bulu tangkis, sekaligus sukses mencetak para generasi atlet yang baru dengan identitasnya sebagai pelatih.

Satu hal yang pasti, gelar juara Olimpiade Sydney 2000 tidak sempat terwujudkan saat dirinya masih menjadi pemain bulu tangkis.

Menyesakkan memang, namun Sigit merasa tidak perlu ada yang disesali karena semua itu harus dilalui dan dijadikan pelajaran untuk bangkit menata kariernya kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun