Produksi TV di sini bukan tentang membuat pesawat televisi. Kita akan coba lihat bagaimana pembuatan konten televisi dibandingkan dengan pembuatan konten Youtube. Ini yang disebut produksi konten. Memang, kita sering lihat banyak konten TV bertebaran di Youtube. Sebaliknya, banyak juga acara-acara televisi menayangkan ragam konten dari Youtube. Lalu, siapa yang lebih diuntungkan? Penyelenggara siaran TV atau Youtube?
Bicara soal untung, mari kita telusuri soal biaya produksi dulu. Konten di TV dan Youtube sama-sama berbentuk karya audio visual. Ini yang membuat keduanya bisa saling tayang di masing-masing platform. Berapa uang yang dikeluarkan juga beragam. Namun tentunya produksi konten di televisi punya ketentuan yang lebih ketat daripada konten Youtube. Satu hal yang pasti, orang bisa posting konten di Youtube dengan biaya nyaris nol atau tanpa biaya. Sementara di TV, sudah pasti ada biaya keluar buat penayangan konten. Bagaimana hitung-hitungannya?
Cukup bermodalkan smart phone atau laptop dan koneksi internet, semua orang bisa membuat konten di Youtube. Tinggal nanti seberapa banyak orang yang melihat tayangan itu. Semakin serius konten yang dibuat, maka kemungkinan akan semakin banyak orang yang menonton. Di sini kemungkinan besar diperlukan biaya tambahan untuk membuat konten lebih serius di Youtube.
Contoh saja, kalau kita lihat tayangan "mukbang", di mana pembuat konten menampilkan aksi makan besar, maka tentunya akan dikeluarkan biaya lebih untuk membeli makanan. Contoh lainnya ketika pembuat konten melakukan vlogging. Betul, untuk membuat video blog bisa dilakukan tanpa mengeluarkan biaya besar. Tapi bisa kita bandingkan ketika membuat vlog di pekarangan rumah dengan vlog di kafe yang sedang populer. Mana yang lebih menarik? Kalau kita merasa vlog di kafe lebih menarik daripada di rumah saja, itu berarti pembuat konten perlu mengeluarkan biaya lebih untuk memesan makanan atau minuman.
Dari kedua contoh tadi bisa kita lihat besarnya biaya jadi penting untuk menentukan kesuksesan konten. Ini juga berlaku di televisi. Karena diselenggarakan oleh profesional, biaya pembuatan konten di televisi cenderung lebih mahal daripada konten sejenis yang dibuat untuk Youtube. Berapa sih sebenarnya biaya buat produksi tayangan TV? Mari kita lihat dulu apa saja yang harus dibayar.
Kalau pernah melihat tayangan "On The Spot" di Trans7, kita mungkin berpikir biayanya akan sangat murah karena tinggal mengumpulkan konten dari media sosial termasuk Youtube. Kenyataannya tidak sesederhana itu. Bandingkan dengan konten-konten sejenis "On The Spot" yang dibuat amatir untuk tayang di Youtube.
Hal pertama yang menjadi perhatian biasanya dari orang yang menarasikan ceritanya atau disebut narator. Nada suara yang lemah, artikulasi kurang jelas, intonasi datar, hingga logat kental seringkali mendominasi konten buatan amatir. Kontennya mungkin hampir sama, tapi bagaimana konten itu dikemas tentunya jauh dari menarik jika dibandingkan produksi televisi.
Di sini kita lihat satu komponen inti dari produksi tayangan televisi yaitu pengisi acara. Pada tayangan "On The Spot" misalnya, narator menjadi pengisi acara utama. Dibawakan oleh profesional, pemirsa akan terbawa cerita dari rangkaian cuplikan gambar yang disajikan. Diperlukan bakat dan latihan untuk bisa membawakan narasi yang baik. Untuk itu tentunya stasiun TV mengeluarkan biaya yang layak untuk menyewa profesional.
Selain narator, ada lagi penulis naskah. Seperti "On The Spot" yang ditayangkan setiap hari, maka tidak mungkin dikerjakan oleh satu orang. Penulis naskah juga harus mampu membangun kompilasi cerita menarik.
Misalnya dalam salah satu episode dirangkai cerita tentang "tujuh desa unik di dunia". Isinya memang cuplikan video-video amatir dari berbagai negara. Tapi tentunya diperlukan kemampuan khusus merangkai cuplikan video itu jadi satu topik menarik. Inilah tugas penulis naskah. Mereka mengemas konten menjadi sebuah cerita. Tentunya diperlukan kemampuan profesional untuk menyajikan kemasan yang menarik.
Kita bisa lihat ada narator dan penulis naskah. Keduanya orang-orang berbakat dengan keahlian profesional sehingga diperlukan biaya bagi stasiun TV membayar mereka. Selanjutnya untuk menyatukan gambar-gambar dengan naskah yang dinarasikan menjadi satu tayangan, diperlukan ahli penyuntingan gambar atau dikenal sebagai video editor. Tugasnya merangkai gambar-gambar hasil produksi amatir agar layak ditayangkan di televisi.
Maka di sini perlu kerja ekstra seperti menambahkan unsur grafis, pemilihan lagu, hingga gambar-gambar tambahan yang relevan. Ini satu lagi tambahan biaya profesional untuk tayangan "On The Spot". Selebihnya masih diperlukan juga biaya lisensi atau hak cipta dari lagu yang digunakan atau gambar-gambar tambahan. Kita mengenal beberapa penyedia lisensi gambar, video, dan musik seperti Shutterstock, Anvato, dan beragam penyedia lainnya.
Jadi, untuk produksi tayangan TV seperti "On The Spot" yang tampak sederhana dan berisi cuplikan gambar-gambar amatir, perlu biaya setidaknya untuk membayar penulis naskah, narator, dan editor profesional. Lalu diperlukan biaya lisensi buat musik, gambar, dan video tambahan. Belum lagi bicara peralatan seperti komputer editing, media penyimpanan, hingga perangkat audio pengisi suara profesional.
Bandingkan dengan produksi konten serupa "On The Spot" buatan amatir. Kemungkinan semuanya dilakukan sendiri oleh pembuat konten dengan peralatan seadanya dan musik-musik gratis yang tersedia di Youtube. Biayanya bisa jadi hampir mendekati nol.
Sekarang coba kita lihat produksi konten Youtube yang lebih profesional. Misalnya konten milik Deddy Corbuzier, "Close The Door, Corbuzier Podcast". Konten ini tampak diproduksi hampir setiap hari. Program talk show ini sukses meraih jutaan pemirsa pada tiap episodenya. Apakah Deddy Corbuzier bisa produksi konten ini tanpa biaya dengan mengandalkan koneksi ke para public figure sebagai narasumber? Tentu tidak.
Acara podcast Deddy Corbuzier di Youtube perlu diproduksi oleh profesional. Dimulai dari penentuan siapa saja narasumber yang perlu diundang. Jika diperhatikan, acara ini kerap kali mengundang orang-orang yang sedang dibicarakan atau terkait dengan topik pembicaraan di masyarakat. Bahkan dalam beberapa kesempatan, acara ini membuat bintang tamunya terpapar kepada khalayak lebih besar.
Misalnya Dea, mahasiswi di Semarang yang melakukan aksi pornografi di platform konten dewasa "OnlyFans". Setelah menjadi narasumber di acara Deddy, aksinya menjadi perhatian polisi hingga akhirnya Dea berurusan dengan hukum.
Nah, untuk mengundang orang-orang seperti ini diperlukan tim khusus yang melakukan riset. Topik apa saja yang sedang dibicarakan, siapa saja yang menjadi pembicaraan, hingga bagaimana para narasumber diundang tentunya tidak bisa dilakukan oleh Deddy sendirian.
Selain tim riset, podcast Corbuzier juga perlu tim produksi seperti penata artistik, kamera, lampu, hingga editor video. Belum lagi admin pengelola kanal Youtube dan media sosial lainnya. Diperlukan profesional untuk menghasilkan acara untuk menarik banyak pemirsa. Apalagi acara ini diproduksi hampir setiap hari.
Lalu, sekarang coba kita bandingkan dengan acara "Hitam Putih" di Trans 7 yang juga dibintangi Deddy Corbuzier. Sama-sama berbentuk talk show, produksi acara ini pasti lebih mahal dibandingkan podcast produksi Deddy sendiri. Di samping skala produksi yang lebih besar, terlihat dari set dan tata artistik lebih megah, salah satu biaya termahal di tayangan "Hitam Putih" adalah honor Deddy Corbuzier sendiri. Dalam produksi televisi, biaya selebriti pengisi acara bisa menghabiskan 50 hingga 70 persen dari total biaya produksi. Ini kenapa banyak selebriti memproduksi konten sendiri di Youtube karena mereka memiliki nilai tinggi untuk meraih pemirsa. Para selebriti ini cukup membayar para profesional untuk menjadi tim produksi konten yang mereka buat. Biaya tentu jadi lebih murah daripada produksi program TV.
Tanpa menyebut berapa biayanya, kita bisa lihat produksi konten televisi lebih mahal daripada konten Youtube. Jika kita lihat konten-konten TV tersebar di Youtube, buat stasiun televisi jadi media promosi sekaligus pendapatan tambahan. Tapi sebenarnya pendapatan dari Youtube buat stasiun TV tidak terlalu besar dibandingkan pendapatan mereka dari pengiklan. Bagi penyelenggara Youtube, kemauan stasiun TV untuk menyebarkan kontennya di platform berbagi video itu sangat menguntungkan. Youtube memperoleh konten-konten profesional berbiaya produksi mahal sehingga menarik banyak pemirsa untuk menjaring pengiklan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H