Sebelum kita beranjak lebih jauh, apa yang disebut "artificial intelligent" (AI) atau kecerdasan buatan jangan selalu dilihat sebagai teknologi canggih yang bisa menjawab semua persoalan. Bayangkan teknologi AI seperti teknologi listrik. Kita tahu, listrik adalah teknologi canggih. Namun kita sadar bahwa kecanggihan listrik punya keterbatasan tergantung dari situasi dan siapa yang mengoperasikannya.Â
Misalnya, pada sistem "smart home" atau rumah pintar, sistem kelistrikan bisa diatur seefisien mungkin hingga opsi sumber daya hibrida antara tenaga surya dan listrik dari PLN. Sementara di daerah terpencil, listrik hanya bisa dipenuhi dengan sistem diesel menggunakan bahan bakar solar untuk kebutuhan utama saja seperti lampu dan pompa air. Canggih namun tidak selalu menjawab semua persoalan. Hal yang sama juga berlaku untuk teknologi AI.
Kembali kepada sistem sensor Youtube dan Instagram. Sebelum menerapkan gabungan sistem otomatis dan manual, keduanya menetapkan terlebih dahulu apa yang disebut sebagai "community guideline" atau kebijakan pengguna. Artinya, ada batasan-batasan yang dibuat oleh penyelenggara media sosial mengenai konten apa saja yang boleh diunggah di platform tersebut.Â
Sistem sensor pada platform media sosial pada dasarnya menyeleksi apakah konten dari pengguna melanggar "community guideline". Jika ya, maka konten akan dihapus. Lebih lanjut, jika pengguna masih tetap mengunggah konten yang melanggar, bukan hanya konten yang dihapus namun akunnya pun akan ditutup.
Berbeda dengan batasan konten bagi televisi dan film yang ditetapkan oleh regulator di masing-masing negara, maka Youtube dan Instagram menetapkan satu "community guideline" untuk seluruh dunia. Kebijakan ini membuat platform media sosial dilarang di beberapa negara. Youtube saat ini diblokir di Cina, Iran, Eritrea, Sudan, Turkmenistan, dan Korea Utara.
Hal ini terjadi karena ada kebijakan-kebijakan khusus di negara-negara tersebut yang tidak tercakup dalam "community guideline". Namun bisa kita lihat hanya sedikit negara di dunia memblokir Youtube. Bagaimana cara Youtube mengakomodir cara pandang masyarakat lokal yang berbeda di seluruh dunia. Kita akan urai soal ini.
Setelah menetapkan "community guideline", baik Instagram maupun Youtube dibantu sekelompok orang di berbagai belahan dunia mengawasi konten yang melanggar kebijakan tersebut. Instagram menyebutnya dengan "review team" sementara Youtube memiliki "trusted flagger" yang terdiri dari orang-orang terpilih, lembaga swadaya masyarakat (LSM),Â
dan lembaga pemerintah setempat (misalnya Kemenkominfo untuk Indonesia). Selain sekelompok khusus orang ini, kedua platform juga memberikan kesempatan kepada pengguna biasa melaporkan pelanggaran kebijakan. Ada fitur di Youtube dan Instagram untuk melaporkan konten yang dianggap melanggar oleh pengguna. Tapi tentunya laporan dari pengguna biasa akan dilihat lagi oleh tim penilai.
Melibatkan sekelompok orang tampaknya cukup berhasil bagi Youtube dan Instagram mencegah konten yang tidak sesuai bagi masyarakat beredar di platform itu. Sistem manual ini dikombinasikan dengan sistem otomatis. Misalnya, ada pengguna mengunggah konten telanjang yang dilarang oleh Instagram.Â
Ada sistem otomatis dari Instagram menggunakan AI yang bisa mengenali konten telanjang, sehingga unggahan tersebut langsung diblokir. Youtube juga punya sistem serupa. Dalam laporan transparansi Google kuartal pertama 2022, disebutkan bahwa Youtube menghapus sekitar 3,5 juta konten di seluruh dunia berdasarkan sistem otomatis terkait pelanggaran "community guideline".
Jadi, itu tadi cara Youtube dan Instagram (juga Facebook tentunya) melakukan sensor. Sistem yang kurang lebih sama diterapkan platform media sosial berskala global lainnya seperti Twitter, TikTok, dan Linkedin. Perbedaannya ada di "community guideline" yang diterapkan masing-masing platform. Namun tentunya sistem yang mereka terapkan belum sempurna.