Jika kita ambil contoh "shot" yang cukup populer digunakan dalam sinetron bercerita konflik percintaan dan rumah tangga, bayangkan adegan di mana salah satu tokoh utamanya marah atau kaget.Â
Seringkali kita temukan wajah tokoh itu disorot dengan mata melotot diiringi musik tegang, "jeng, jeng, jeng..." Ini contoh "shot" paling mudah unutk dikenali.Â
Pada dasarnya "shot" merekam adegan hingga menjadi rangkaian adegan. Satu "shot", sebagai unsur terkecil dari program drama atau sinetron, bisa dijadikan konten untuk media sosial.Â
Unsur berikutnya adalah "scene" sebagai kumpulan beberapa "shot" dalam program drama. Cara paling mudah mengenali "scene" adalah terjadinya satu adegan di lokasi tertentu.Â
Misalnya adegan pertengkaran di satu ruangan. Kembali kepada contoh "shot" di mana tokoh utama kaget atau marah mendengar satu berita, tentunya ada adegan lain yang mendahului. Seperti kabar bahwa suaminya kawin lagi atau anaknya diculik oleh mantan suami.Â
Biasanya kabar ini disampaikan oleh ibu, kakak, atau asisten rumah tangga. Katakanlah, rangkaian adegan ini terjadi di ruang tamu.Â
Setelah kabar diberikan, pemeran utama kaget, lalu dilanjutkan dengan adegan pingsan, hingga asisten rumah tangga yang berteriak memanggil orang-orang rumah lalu semua datang ke ruang tamu.Â
Rangkaian adegan tadi disebut dengan "scene". Seperti "shot", tentunya "scene" dalam program drama bisa jadi satu konten untuk disebarkan kembali di media sosial.Â
Lalu pada program musik atau variety show, unsur-unsurnya terbentuk dari "sequence" dan "segment".Â
Sequence dari bahasa Inggris diartikan sebagai "urutan" pada bahasa Indonesia.Â
Dalam program TV ini berarti urutan tampilan. Sebagai contoh, program TV umumnya dimulai dengan grafis pembuka menandakan judul acara berdurasi sekitar 30 detik. Ini merupakan "sequence" yang pertama sebagai pembuka acara.Â