Mohon tunggu...
A Afgiansyah
A Afgiansyah Mohon Tunggu... Dosen - Digital communication specialist

Praktisi dan Akademisi Komunikasi Media Digital dan Penyiaran. Co-Founder Proxymedia.id // Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Universitas Indonesia, dan Universitas Paramadina

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Benarkah Siaran TV Akan Mati?

26 Mei 2022   19:38 Diperbarui: 26 Mei 2022   20:03 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Benar siaran TV akan mati kalau kita bicara sistem analog. Namun dengan kemunculan platform OTT yang menayangkan konten-konten audiovisual di media online, seringkali kita dengar orang bilang, "sudah tidak pernah nonton TV lagi." Jika begini, apakah lama-kelamaan siaran TV akhirnya akan mati lalu digantikan media internet?

Menjawab pertanyaan ini, biasanya digunakan perbandingan dengan media cetak. Koran dan majalah saat ini hampir semuanya tergantikan oleh media online.

Kalau Saya bicara sebagai orang awam, penanda hilangnya media cetak dari peredaran ditandai dengan sulitnya mencari koran bekas. Saya seorang muslim. Waktu kecil, jika Saya salat hari raya di lapangan atau datang agak terlambat salat Jumat, maka kita akan siapkan koran bekas buat jadi alas. Usai salat di masjid atau di lapangan, biasanya para pemulung sudah menanti mengumpulkan koran bekas alas salat untuk dijual kembali. Namun sekarang tidak ada lagi koran bekas. Masjid pun menyiapkan terpal buat jadi alas sajadah salat di luar ruangan.

Namun pengamatan awam ini tidak sepenuhnya benar untuk menyebut hilangnya media cetak. Sampai saat ini media cetak masih tersirkulasi di seluruh dunia. Memang sirkulasi koran dan majalah menurun drastis karena tergantikan dengan media online. Namun media ini tidak mati. Data menunjukkan masih ada pengiklan yang mengeluarkan anggaran untuk media cetak.  

Berdasarkan rilis dari Magna, lembaga riset periklanan berbasis di Amerika Serikat (AS) pada awal 2022 lalu, belanja iklan media cetak sepanjang 2021 tercatat sebesar 43,3 miliar dolar AS. Angka ini merupakan estimasi total belanja iklan di seluruh dunia. Nilainya mencapai 632 triliun rupiah. Seberapa besarkah angka ini? Kalau kita bandingkan dengan pendapatan provinsi DKI Jakarta sepanjang 2021, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) angkanya "hanya" mencapai 72,18 triliun rupiah. Padahal DKI Jakarta merupakan provinsi di Indonesia dengan pendapatan daerah terbesar. Dibandingkan total belanja iklan media cetak di seluruh dunia, nilai pendapatan DKI Jakarta hanya sekitar 11%.

Masih besarnya nilai pengiklan mengeluarkan uang untuk media cetak menunjukkan media ini masih ada. Mengacu pada data Nielsen yang dirilis pada Maret 2022 lalu, media cetak mengambil kue iklan sebesar 5,5% dari total 259 triliun rupiah sepanjang tahun 2021. Artinya, belanja iklan untuk media cetak di Indonesia menurut Nielsen bernilai sebesar 14,2 triliun rupiah. Nilai ini setara dengan pendapatan provinsi Papua sepanjang tahun 2021. Berdasarkan data BPS, Papua menjadi provinsi dengan pendapatan ke-5 terbesar di Indonesia senilai 14,7 triliun rupiah.

Sebelum beranjak menjawab pertanyaan apakah siaran televisi akan mati karena munculnya media baru, pertanyaan serupa juga muncul pada masa awal keemasan TV di tahun 50-an. Seperti media online pada masa sekarang, kemunculan media TV menjadi ancaman bagi media yang lebih dulu ada pada masa itu. Film atau tayangan bioskop menjadi satu media yang paling terancam. Sama-sama menayangkan karya audio-visual, kemunculan TV sebagai media baru kala itu menggerus popularitas film bioskop.

Mengutip dari website "History", di AS, masa kejayaan film Holywood terjadi pada rentang tahun 1930 s.d. 1945. Pada masa itu diperkirakan setidaknya 80 juta orang datang ke bioskop setiap minggunya untuk menonton film. Sekitar 7.500 judul film dipublikasikan di AS pada rentang waktu 15 tahun itu. Lalu, setelah akhir perang dunia ke-2 tahun 1945, media televisi mulai menguat dan menjadi populer di masyarakat.

Popularitas film pun semakin menyusut seiring dengan meningkatnya konsumsi media televisi di AS pada tahun 50-an. Industri TV juga semakin menguat, 4 stasiun TV berjaringan dengan jangkauan siar nasional mulai terbentuk pada tahun 1948. Program TV juga semakin menarik. Mereka menyuguhkan tayangan audiovisual setiap hari dari pagi sampai malam. Ini membuat popularitas film bioskop semakin menyusut. Kejayaan industri film mulai pudar seiring meningkatnya popularitas televisi. Namun apakah industri film akhirnya mati?

Bisa kita lihat sampai masa sekarang pun orang masih menonton ke bioskop. Industri film berinovasi. Studio produksi mempertinggi kualitas film baik dari kekuatan cerita, pemeran, sinematografi, hingga pengembangan teknologi audiovisual dengan efek-efek spektakuler. Bioskop juga mengimbangi teknologi film dengan menyediakan sistem audio, kejernihan tayangan hingga tampilan 3 dimensi, sampai pengalaman 4 dimensi menggabungkan tayangan di layar dengan efek-efek di seputar tempat duduk penonton. Menonton film di bioskop menjadi pengalaman hiburan tersendiri sehingga tidak bisa disamakan oleh tayangan televisi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun