Mohon tunggu...
A Afgiansyah
A Afgiansyah Mohon Tunggu... Dosen - Digital communication specialist

Praktisi dan Akademisi Komunikasi Media Digital dan Penyiaran. Co-Founder Proxymedia.id // Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercubuana, Universitas Indonesia, dan Universitas Paramadina

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

TV Rating Vs Algoritma Youtube

24 Mei 2022   20:23 Diperbarui: 26 Mei 2022   09:52 1268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pengukuran Youtube "watch time" & "views". Sumber: Shutterstock.com/@slyellow

TV rating kerap dituding jadi dalang tergerusnya kualitas tayangan televisi. Indikator penanda keberhasilan tayangan ini dianggap memicu penyelenggara siaran TV membuat program sesuai keinginan pasar sehingga mengabaikan kualitas dalam rangka mencari keuntungan. Lalu bagaimana dengan algoritma Youtube?

Ketika Youtuber atau para pembuat konten di platform OTT itu mengejar jumlah tontonan atau "views" supaya dapat lebih banyak keuntungan dari iklan, bisa jadi mereka juga terjebak menyesuaikan diri dengan keinginan pasar. Apakah akhirnya jadi sama saja antara tayangan TV dan Youtube karena semuanya mengejar iklan?

Kita mungkin beberapa kali mendengar berita tentang kreator dipolisikan karena membuat konten "prank" di Youtube. Kasus Ferdian Paleka pada tahun 2020 jadi satu contoh miris kreasi konten jahil atau prank dengan membagikan sembako berisi sampah. Apa motivasinya?

Tentunya mencari jumlah tontonan. Mengutip dari Republika, Ferdian baru aktif mengunggah konten selama 4 bulan di Youtube dan berhasil mencapai lebih dari 5 juta views dengan perkiraan penghasilan hingga 100 juta rupiah per bulan. Demi mengejar tontonan, kualitas konten pun dipertaruhkan.

Memang, banyak konten berkualitas di Youtube. Sama dengan TV, isinya juga bukan melulu program murahan. Produksi program televisi bahkan cenderung lebih mahal daripada konten buatan Youtuber karena disokong oleh dana yang lebih kuat.

Para Youtuber juga banyak yang perlu diacungi jempol, dengan modal pas-pasan, putar otak cari kreativitas supaya peroleh banyak tontonan.

Kembali soal TV rating dan algoritma Youtube. Sebelum mempersoalkan dampak dari keduanya, mari kita lihat bagaimana sebenarnya kedua sistem ini bekerja. 

TV Rating

TV rating sebenarnya hanya satuan pengukuran dari metode yang disebut "TV Audience Measurement" atau TAM. Dalam bahasa Indonesia berarti pengukuran khalayak televisi.

Sistem ini dikembangan oleh lembaga riset Nielsen. Rating sendiri merupakan nilai dari banyaknya pemirsa TV yang menonton suatu program. 

Misalnya, jika sebuah tayangan memperoleh rating sebesar 1, itu berarti ditonton oleh 1% dari populasi pemirsa. Jadi kalau populasi pemirsa TV di Indonesia katakanlah berjumlah 50 juta orang, maka 1% setara dengan 500 ribu. Artinya, rating 1 itu sama dengan 500 ribu tontonan.

Selain rating, sistem TAM memiliki beberapa satuan lain yaitu share, index, dan thousand people.  Kita tidak akan menguraikan makna dari satuan pengukuran TAM. Intinya, sistem TAM menghitung keberhasilan tayangan TV. Landasan pengukurannya bersifat kuantitatif.

Artinya, sistem TAM hanya menghitung jumlah penonton. Tidak ada pengukuran soal kualitas tayangan dalam sistem ini. Lalu apa masalahnya?

Semakin banyak tontonan, maka semakin banyak pula pengiklan yang berminat mensponsori tayangan. Ini membuat penyelenggara siaran TV berlomba-lomba mengejar banyaknya tontonan berdasarkan kuantitas atau jumlah penonton. Kualitas pun bisa jadi terabaikan. Ini menjadi masalah. Kenapa? Begini penjelasannya.

Sistem TAM bahkan menyediakan perhitungan rinci hingga tingkat menit tayangan. Pengukuran ini disebut sebagai minute by minute rating atau MBM. Para produser program TV akan mengevaluasi tayangan berdasarkan hitungan ini.  

Misalnya, pada 5 menit pertama tayangan berbentuk diskusi serius memiliki rating kecil, lalu pada 5 menit berikutnya nilai rating meningkat karena berbentuk lawakan. 

Pada produksi berikutnya pihak produser program akan menghilangkan atau setidaknya mengurangi konsep diskusi serius dengan menambah konsep kreatif berbentuk lawakan.

Akibatnya, tayangan diskusi serius dengan unsur edukasi tinggi tergerus dengan tayangan lawak yang lebih berat pada unsur hiburan saja. 

Tentunya ini hanya contoh ekstrim. Intinya, dengan mengacu pada angka rating, penyelenggara siaran bisa mengabaikan kualitas tayangan. Penonton cenderung disuguhi konten yang mereka sukai, bukan yang mereka perlukan. Di sini muncul wacana bagaimana tayangan TV itu tidak mendidik.

Algortimea Youtube

Bagaimana dengan algoritma Youtube? Bisa dibilang serupa tapi tak sama dengan TV rating. Pada dasarnya algoritma Youtube merupakan sistem otomatisasi dalam memberikan rekomendasi kepada pengguna. Mengutip dari Sprout Social, hingga tahun 2022 Youtube memiliki sekitar 2,1 miliar pengguna di seluruh dunia. 

Setiap menit muncul konten-konten baru dengan total durasi gabungan sekitar 500 menit. Di tengah 'hutan' konten yang sangat lebat itu, kreator konten perlu paham bagaimana agar videonya masuk ke dalam rekomendasi otomatis sehingga meraih banyak tontonan. Bagaimana algoritma Youtube bekerja?

Ini rahasia perusahaan. Youtube tidak pernah merinci kerja algoritma di platform itu. Namun mereka memberikan cara-cara pada kreator konten agar muncul dalam rekomendasi otomatis. Seperti TV rating, Youtube menyajikan pengukuran performa konten yang tayang. 

Dua indikator kunci keberhasilan konten adalah views dan watch time. Jika keduanya memperoleh jumlah yang baik, maka tayangan akan sering muncul dalam rekomendasi otomatis berdasarkan algoritma.

Views atau tontonan berarti banyaknya orang menonton suatu video yang dipublikasikan ke Youtube. Sementara "watch time" berarti berapa lama orang menonton video tersebut. 

Bisa saja orang menonton satu video dalam durasi sangat pendek misalnya 1 detik. Jika videonya berdurasi 10 menit, maka menjadi tidak menarik. Secara bisnis, potensi iklan pun berkurang. Youtube menyisipkan beragam bentuk iklan jika pengguna menonton suatu video lebih lama. 

Karena itu, Youtube mendorong para pembuat konten untuk mengejar "watch time". Semakin tinggi "views" dan "watch time", semakin besar potensi iklan yang masuk. 

Memang ada sederet syarat lain untuk masuk rekomendasi otomatis Youtube. Misalnya optimalisasi pada mesin pencari atau search engine optimization (SEO). Pembuat konten diminta untuk memastikan kata kunci secara berkesinambungan pada judul, deskripsi, dan tag agar muncul sebagai rekomendasi pada fitur "search". 

Belum lagi subscriber atau pelanggan. Youtuber diminta mengajak pengguna untuk mengikuti channel tempat menampung konten mereka. Semakin banyak subscriber, semakin mudah meraih tontonan dengan bantuan fitur notifikasi dari Youtube. 

Pada intinya indikator yang dibuat Youtube hampir sama seperti TV rating. Kreator konten diminta untuk memperhatikan jumlah tontonan berdasarkan kuantitas penonton, bukan kualitas isi tontonan. 

Lalu, persis seperti penyelenggara siaran TV yang mengejar rating untuk kepentingan pengiklan, para Youtuber juga berlomba mengejar views dan watch time demi mendatangkan lebih banyak pengiklan. Kualitas pun bisa jadi terabaikan. Ini satu penyebab kemunculan konten-konten sensasional besutan kreator di Youtube hingga sebagian terjeblos ke penjara.

Pembeda tayangan Youtube dan siaran TV tentunya dari para penyaji kontennya. Siapa saja bisa menjadi penyaji tayangan di Youtube baik profesional maupun amatir. Sementara penyelenggara siaran TV tunduk kepada regulasi. Hanya profesional yang diperbolehkan menyediakan tayangan. 

Ditambah lagi adanya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang mengawasi tayangan TV. Ini membuat penyelenggara siaran TV masih lebih berhati-hati dibandingkan Youtuber.

Di sini perlu perhatian khusus bagi konten di Youtube. Mungkin perlu juga adanya regulasi kepada penyelenggara platform OTT seperti Youtube terkait konten sehingga tidak diserahkan begitu saja kepada mekanisme pasar. Semangatnya tentu untuk melindungi masyarakat baik penonton maupun pembuat konten. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun