Tekanan dari masyarakat terhadap industri televisi di Indonesia berhasil melahirkan terciptanya lembaga negara baru yang mengatur penyelenggaraan siaran televisi. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dibentuk pada tahun 2002 dan mulai bekerja pada tahun 2003. Dengan status independen sehingga tidak dipengaruhi oleh pemerintah, KPI mengeluarkan produk yang menjadi industri televisi di Indonesia yaitu Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS) mulai tahun 2004. Stasiun televisi yang enggan mematuhi produk ini dapat diberikan teguran oleh KPI hingga dikenai sanksi.
Dengan adanya P3SPS dari KPI memang tidak serta-merta menyelesaikan masalah tayangan TV yang tidak mendidik serta persaingan industri yang membuat stasiun berorientasi pada kepentingan komersial hingga mengabaikan kualitas. Namun setidaknya ada satu sistem yang mengatur bagaimana seharusnya industri televisi menyajikan tayangan kepada masyarakat. Melalui sistem ini juga muncul pengawasan terhadap stasiun TV yang dilakukan oleh KPI.
Kita kembali ke pandangan Jovi tentang Youtube yang lebih bahaya daripada tayangan TV. Dalam video ini, Jovi berdiskusi dengan adiknya Dovi tentang keputusan mereka untuk berhenti menjadi kreator konten di Youtube. Dengan cara kreatif dibantu beberapa ragam video fragmen, mereka menjelaskan bagaimana Youtube menjadi platform yang berbahaya. Pada akhir diskusi, Dovi pun memberikan kesimpulan, “penonton yang termakan video, kreator yang terpengaruh algoritma, brand yang hanya mementingkan profit dan Youtube yang memfasilitasi dan membiarkan ini semua terjadi.”
Menonton video berjudul “Youtube Lebih dari TV” besutan SkinnyIndonesian24, tampak kesamaan bagaimana Youtube akhirnya terjebak dengan pola industri TV. Dipicu oleh kepentingan komersial, Youtube membuat para kreatornya memilih untuk mengabaikan kualitas untuk mengejar penonton. Lebih berbahaya lagi, platform media sosial ini bisa memicu polarisasi karena membiarkan penonton untuk mengonsumsi konten yang mereka sukai tanpa memedulikan apa yang mereka perlukan. Jovi pun menambahkan, “dan yang lebih gila lagi, kita semua adalah pelaku dan korban!”
Pandangan tentang Youtube lebih berbahaya daripada TV tampak relevan. Walaupun sama-sama terjebak dalam kepentingan komersial, setidaknya industri televisi di Indonesia sudah memiliki sistem yang mengatur pedoman konten serta pengawasan dari KPI sebagai lembaga negara independen untuk melindungi masyarakat. Sementara Youtube dan platform video serta media sosial lainnya di internet masih diserahkan kepada kepentingan pasar. Lalu, apakah kita perlu memberikan tekanan kepada negara untuk membentuk komisi pembuat pedoman buat Youtube dan platform lainnya seperti yang dilakukan para pemerhati untuk industri televisi sehingga melahirkan KPI? Sebagai bagian dari masyarakat, kita perlu ikut aktif menjawabnya.
Catatan:
Komisi Penyiaran Indonesia pada tahun 2019 sempat menyampaikan wacana terkait peninjauan undang-undang penyiaran terkait perluasan pengawasan ke media baru seperti platform video online Netflix, Youtube, dll. Namun rencana ini memperoleh respon beragam dari masyarakat. Beberapa ahli menilai perlunya pengawasan bagi media baru baik dengan memperluas fungsi KPI dari industri penyiaran radio dan TV hingga merambah ke media baru atau membentuk komisi baru yang menangani hal ini. Sementara sebagian masyarakat ikut menandatangani petisi di Change.org pada Agustus 2019 untuk menolak perluasan fungsi KPI ke media baru.
Pada bulan Januari 2022, Wakil Ketua Komisi I DPR RI, Abdul Haris Almasyhari menyampaikan tentang revisi UU Penyiaran masuk ke dalam pembahasan prioritas tahun 2022. Ia menyebut bahwa media baru akan masuk ke dalam wacana yang akan dibahas dalam revisi Undang-undang Penyiaran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H