Seorang guru Sekolah menengah keujuran (SMK) di kota Cirebon akhir akhir ini tengah menjadi perhatian publik setelah dirinya di pecat oleh Yayasan tempatnya mengajar buntut dari kritik di akun sosial media Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil (RK) .Guru Bernama Sabil itu mempertanyakan Zoom meeting yang dilakukan oleh RK dengan para siswa SMP asal Tasikmalaya yang mengenakan blazer berwarna kuning identic partai yang menanungi RK.Sabil bertanya saat Zoom tersebut RK sedang sebagai pejabat publik atau sebagai fungsionaris partai politik,Namun justru koemntar tersebut memancing perdebat karena kata “maneh” yang di tulis oleh sabil sebagai kata ganti untuk orang dianggap kasar dan kurang Sopan bagi masyarakat Sunda apalagi dirinya berprofesi sebagai tenaga pendidik.
Penggunaan kata Maneh yang di sebut oleh sebagai kalangan sejatinya adalah standar moral yang sangat subjektif karena Bahasa sunda sendiri secara antropologis tidak mengenal strata atau hirarki dalam komunikasi. Pada sejarahnya masyarakat awal Sunda adalah masyarakat yang sangat egaliter dengan merapkan prinsip kolektif kolegial dalam melakukan proses pertanian untuk mencukupi hidup komunitas Bersama.Tradisi pertanian ini di kenal dengan konsep ngahuma atau membuka lahan untuk di garap sebagai ladang secara berpindah pindah.
Perubahan mulai terjadi pada tahun 1595 dimana wilayah pasundan terutama bagian Galuh di kuasi oleh mataram Islam di bawah kekuasaan panembahan senopati.Penaklukan ini memberikan dampak sosial yang sangat luas,selain memberikan perubahan terhadap pola produksi pertanian mataram pun membagi wilayan pasunda menjadi beberapa wilayah berdasarkan piagam yang dibuat oleh sultan agung yakni wilayah priangan diluar Galuh terdiri dari Bandung,Sukapura,Parakan Muncang dan sukapurra.Selain memperkenalkan pola produksi baru dan pembagian wilayah mataram pun memperkenalkan hirarki sosial di masyarakat Sunda sehingga masyarakat yang sebelumnya adalah masyarakat egaliter mulai mengenal kasta sosial dan gelar ke bangsawanan seperti Gelar raden yang notabene gelar Ningrat di Mataram.
Hirarki sosial yang di tularkan oleh mataram ini memberikan dampak signifikan bagi kehidupan masyarakat Sunda,Menurut Mikihiro Moriyama dalam buku Semangat baru:Kolonialisme,Budaya Cetak dan kesastraan Sunda Mengatakan Bahwa kehidupan masyarakat Sunda sangat terpengaruh di berbagai sektor kehidupan dan pemerintahan seperti bidang administrasi,kesenian,Bahasa dan gaya hidup oleh kehidupan orang jawa pasca penaklukan tersebut.Akhirnya sejarah Panjang Sunda mulai terkikis dan pengaruh budaya jawa semakin mengakar di masyarakat sunda.
Penggunaan standar kesopanan dalam berbahasa antara kasta sosial menjadi sangat kental seperti konsep Unggah Ungguh dalam masyarakat Jawa.Bahasa yang lemah lembut digunakan oleh kaum menak atau bangsawan Sunda dan Bahasa dianggap kasar digunakan sebagai Bahasa sehari hari kelas pekerja padahal pembagian ini hanya gengsi para menak saja,Konsep ini di kenal dengan Usuk sunduk basa Sunda atau hirarki komunikasi masyarakat Sunda.
Lahirnya usuk sunduk basa Sunda ini muncul tidak alami lahir dari interaksi masyarakat melainkan di pengaruhi oleh aspek politik karena di bentuk mataram islam dan kolonial belanda dalam menentukan standar kesopanan komunikasi masyarakat Sunda padahal Sunda sendiri sangat kaya akan ragam Bahasa karena beda wilayah akan beda pula dialeknya walapun sama sama Sunda.
Usuk sunduk Basa Sunda Kembali mengalami penajaman setelah sejumlah sarjana Belanda mengkonsepkan sebuah Bahasa Baku Sunda yang akan digunakan sebagai Bahasa Administasi dan pergaulan masyarakat di wilayah Pasundan.Para sarjana Belanda ini meyakini bahwa Bahasa Sunda sebagai Bahasa memiliki sebuah kemurnian terlepas dari dialek jawa.Proyek ini menjadi permulaan dari penguatan Usuk Sunduk Bahasa Sunda dalam pergaulan masyarakat Sunda dimana Bahasa yang oleh pemerintah Belanda dianggap baku diajarkan kepada para menak agar segera bisa di implementasikan di pemerintahan saat itu.selain mengajarkan kepada para menak pemerintah juga mengajarkan pola komunikasi dengan standar kesopanan mereka kepada masyarakat dengan membagi 3 tingkatan yakni Alus,sedeng dan kasar mengadopsi konsep strata dalam Bahasa Jawa.
Pada tahun 1872 pemerintah kolonial Belanda resmi menetapkan Bahasa Sunda yang murni adalah Bahasa Sunda Bandung yang menjadi acuan tingkat kesopanan dalam komunikasi sehingga di luar dari Bahasa itu akan di anggap tidak sopan dan kasar.warisan kolonial belanda ini terus dipertahankan oleh masyarakat Sunda sampai saat ini.(Iip Dzulkifli Yahya.”Tradisi ngalogat di pesantren Sunda” dalam politik & postkolonialitas di Indonesia,hal 287)
Standarisasi yang di pertahankan ini sangat pahit karena mereduksi kekayaan khasanah Bahasa Sunda yang ada karena Bumi pasundan sendiri memiliki keunikan di mana beda kecamatan atau beda daerah saja sudah beda dalam pelafalan atau dialek.Supeioritas Usuk sunduk Bahasa sunda ini membuat masyarakat sunda diluar Bandung merasa minder dalam berkomunikasi karena mereka khawatir dianggap tidak sopan jika tidak menggunakan Bahasa Sunda alus persis seperti kasus diatas dimana Sabil dianggap tidak sopan karena menggunakan kata maneh untuk gubernur.
Selain kata maneh yang tengah ramai di bahas kata aing dan sia juga dianggap sebagai kaa ganti orang yang sangat tidak sopan hari ini dan dalam konsep usuk sunduk Bahasa Sunda dianggap tingkatan kasar.Padahal dalam naskah sastra Sunda kuno yang di temukan berjudul carita parahiyangan berbunyi : “sadatangna sang apatih galunggung,carek batara niang guru:Na Naha sia beja sia sang apatih?” kata Sia yang di anggap kasar oleh usuk sunduk basa Sunda ternayata sudah digunakan sejak era dahulu begitupula dengan kata aing yang termaktub dalam naskah sastra yang di gubah abad 16 dengan nama naskah para putera rama dan rahwana ditemukan penggunaan kata aing.
“Ongkara sangtabean/pukulun sembah rahayu/aing dek nyaksi ka beurang/aing dek nyaksi ka peuting/candra wulan aditia/dengeung sanghiang akasa/kawalan siang pretiwi/ka batara nagaraja/ka nu sia awak larang/ka luhur ka sang rumuhun/nu sia larang manggung.”