Setelah siang dan sore harinya berkelana mengunjungi rumah dan museum Stalin di Gori, saya pun kembali ke Tbilisi dengan menggunakan minibus dengan ongkos hanya 3 Lari.Dan kali ini minibus tiba di sebuah terminal bus kecil di dekat stasiun metro Didube.
Setelah melewati pasar tradisional yang cukup ramai dimana dijual bermacam-macam keperluan sehari-hari, tepat sebelum memasuki stasiun saya sempat mencicipi minuman tradisional Georgia yang rasanya mirip tebu. Keunikannya adalah bentuk gentong raksasa berwarna coklat dimana minuman itu disimpan. Harganya juga cukup ekonomis.Hanya 20 Tetra untuk gelas paling kecil, 30 Tetra ukuran sedang dan 50 Tetra untuk ukuran besar.
Dari Didube, saya segera melesat dengan metro menuju Stasiun Avalabari dan kemudian berjalan santai menuruni bukit menuju ke kawasan kota tua. Di sini pemandangannya sangat mempesona. Perpaduan unik antara bangunan baru dan rumah tua dengan balkon yang khas Georgia.
Setelah menyebrangi Sungai kura melewati Bridge of Peace yang futuristik saya sempat memasuki bagian kawasan kota tua yang difungsikan sebagai restoran dan toko souvenir .Di salah satu restoran, terdapat sebuah spandukdengan gambar palu arit sebagai logo dan lambang komunisme yang pernah berjaya di Georgia selama lebih 70 tahun.“KGB is watching you”, demikian tulisan pada spanduk di restoran itu.
Saya terus berjalan menyusuri kota tua menuju ke Freedom Square.Kali ini saya memasuki jalan-jalan sempit yang hampir tidak ada kendaraan maupun orang yang lewat. Suasananya agak sedikit mencekam karena pemandangannya hanya rumah-rumah tua yang sebagian besar kosong melompong karena ditinggalkan penghuninya. Sebagian besar dalam kondisi yang rusak parah dan hampir runtuh.
Sebagan dari rumah tua itu memang telah direnovasi, namun setelah saya intip ternyata juga kosong melompong.Sebagian besar jalan-jalan sempit itu terlihat tidak terurus dan benar-benar membuat saya merasa berada di dunia lain.Saya sempat mengintip ke halaman sebuah rumah, yang ada hanya rongsokan perabotan dan sampah. Namun tetap saja pesona balkon rumah-rumah ini membuat saya merasa betah berlama-lama disini.
Petualangan di kota tua yang seakan-akan ditinggalkan penghuninya semakin bertambah seru ketika di salah satu jalan yang sempit, ada sebuah mobil tua merek Lada yang merupakan Volkswagen versi blok Sovyet terparkir seakan-akan ditinggalkan begitu saja. Apakah saya telah kembali ke tahun 1970 an di salah satu Republik Sosialis Sovyet? Fikir saya dalan hati.
Untung pada jalan yang lain, saya sempat bertemu dengan sebuah toko kecil yang menjual makanan dan minuman. Salah satu barang dagangan yang menarik adalah roti khas Georgia yang cukup lezat. Dan di dekatnya saya masih melihat sedikit tanda kehidupan. Di salah satu tempat di kawasan tua ini, saya juga sempat mampir ke sebuah sanggar lukis dan ternyata disitu dipajang sebuah lukisan kanvas tokoh pendiri Uni Sovyet yaitu Lenin.Lengkap sudah hari ini saya bertemu dengan Lenin dan Stalin.
Untungnya di kawasan kota hantu di Tbilisi ini saya juga bisa menyaksikan rumah-rumah bersejarah yang dulunya ditempati oleh tokoh-tokoh terkemuka dari Georgia.Di setiap rumah tersebut dipasang plakat bertuliskan dalam Bahasa Georgia dan Russia kata-kata standar “Di rumah ini pada tahun sekian-sampai sekian, tinggalah sang tokoh kita”Bahkan salah satu rumah tua juga dijadikan museum yaitu Rumah dan museum N. Baratashvili yang meruakas salah seorang penyair dari Georgia pada abad ke 19 yang meninggal daam usia muda yaitu hanya 27 tahun.
Perjalanan mengembara dikota tua yang menyeramkan memang berkesan, Kita dapat bertemu dengan Lenin, KGB dan juga rumah-rumah peninggalan tokoh-tokoh terkenal dari Georgia.
Tbilisi Agustus 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H