Mohon tunggu...
amk affandi
amk affandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

coretanku di amk-affandi.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) Vs Otonomi Daerah (Otda)

30 Maret 2013   16:45 Diperbarui: 4 April 2017   17:05 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_251940" align="aligncenter" width="472" caption="sumber gambar : m-edukasi.web.id."][/caption]

Istilah MBS sebenarnya lebih dahulu muncul bila dibandingkan dengan otonomi daerah. Kemunculan istilah MBS dipicu adanya gejolak di kalangan guru dalam menerapkan kurikulum. Semula, kurikulum datangnya dari pusat. Pemerintah daerah beserta guru yang ada di sekolah harus menjalankan instruksi dari pusat. Kebijakan ini dijalankan, karena Pemerintah salah menafsirkan “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Semua daerah dibuat sama. Padahal, Indonesia dikenal dengan beraneka ragam suku bangsa yang membawa implikasi pada tatanan sosial dan budaya.

Semangat otonomi daerah yang diangkat dari genre reformasi, ternyata belum dipahami sepenuhnya oleh pemangku jabatan dan masyarakat. Otda masih dipahami sebagai durian runtuh, yang bisa dinikmati oleh kalangan tertentu. Otda masih ditafsirkan dengan mengelola sumber daya yang bisa disulap dengan sektor ekonomi. Persoalan ekonomi memang masuk prioritas, namun bukan segala-galanya.

Sumber daya manusia yang terkandung dalam otda masih belum dioptimalkan untuk mendukung kemakmuran. Potensi yang dimiliki warga mestinya digali dan dikembangkan. Termasuk didalamnya adalah sektor pendidikan. Dengan pendidikan, diharapkan masyarakat dapat meningkatkan taraf hidup. Gambaran kehidupan untuk masa semakin cerah. Madecer = masa depan cerah. Bukan sebaliknya, madesu = masa depan suram.

MBS sebagai langkah kecil menuju masyarakat yang damai. Masyarakat yang memiliki kepercayaan diri yang kuat. Implementasi MBS bisa diserap dari kondiri riil masyarakat. Kasus-kasus kecil yang terjadi di masyarakat, sebisa mungkin menjadi pembelajaran. Selanjutnya dibedah sesuai dengan kapasitas intelektual yang dimiliki sekolah. Siswa, guru, kepala sekolah atau pejabat.

Problem solving menjadi nyawa dalam MBS. Pola interaksi dalam sekolah harus dibangun, sehingga terjadi jaringan komunikasi yang saling berkaitan. Sebab akibat menjadi sebuah satu kesatuan. Kepala sekolah dengan guru memiliki kapasitas intelektual yang sama. Sekolah dengan masyarakat memiliki tingkat kesetaraan yang sama, dengan tidak meninggalkan peran dan fungsi nya masing-masing.

Bila MBS ini dapat direngkuh dan dilaksanakan dengan segenap unsur yang ada, maka MBS tidak merasa ketergantungan dengan otonomi daerah. Justru MBS menjadi salah satu pondasi bangunan otonomi daerah. MBS dan otda bukan didudukkan sebagai kondisi yang saling bertentangan atau saling ketergantungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun