Mohon tunggu...
amk affandi
amk affandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

coretanku di amk-affandi.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Sang Penari

26 Maret 2012   07:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:28 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1332745620145789225

Pada akhirnya sampai juga. Setelah sekian lama menunggu datangnya film “Sang Penari”. Film ini menceriterakan tentang kehidupan sekolompok orang yang aktif dalam bermain musik tradisional sebagai sumber kehidupan. Bahkan, tidak hanya sekedar urusan penghasilan, tetapi mereka menganggap bahwa bermain musik adalah mengangkat derajad pedukuhannya. Tak ada dukuh paruk tanpa ronggeng.

Saya sendiri agak heran. Sewaktu menonton, justru banyak anak muda berumur belasan tahun. Padahal film yang diadopsi dari novelRonggeng Dukuh Paruk” karya Ahmad Tohari sudah cukup lama terbit. Artinya, pada masa awal terbit, anak muda itu pasti belum lahir. Apakah memang mereka sudah jenuh dengan tontonan sinetron? Apakah mereka juga sudah bosan dengan film yang berbau horor?

Saya sendiri mengenal novel itu cukup terlambat. Saat masih mahasiswa, saya heran melihat teman-teman fakultas sastra dimanapun mereka berada hampir selalu membawa novel Ronggeng Dukuh Paruk. Apa karena mereka harus mengusai karya sastra itu? Atau hanya untuk gaya-gayaan? Seperti kalau saya dan teman-teman membawa buku kalkulus atau statistik yang merupakan buku hantu. Karena dua mata kuliah itu, kebanyakan mahasiswa nilainya terkapar.

Bagi saya, kalau harus membandingkan antara melihat film dan membaca novel tersebut, aku tetap pilih yang kedua. Dengan membaca, si pembaca bebas mengapresiasikan tiap kata yang dibangun untuk menjadi kalimat. Ada muatan kalimat-kalimat, alinea demi alinea memiliki tingkat interpretasi yang berbeda. Apalagi Ahmad Tohari yang piawai mengeksploitasi alam sekitar. Mulai dari tumbuhan sampai hewan yang peling kecil sekalipun. Sejak dari gemericik air sampai dengan awan yang menggantang. Ini memang sangat sulit divisualkan. Itulah salah satu kelemahan film.

Ada banyak kejadian yang tidak terwakili dalam film. Ada banyak kalimat yang luput untuk divisualkan. Adalah hak sutradara untuk mengaplikasikan karya tulis ke dalam layar lebar. Namun dalam keterbatasan itulah, sutradara patut diberi jempol. Mereka hendak mengangkat kembali karya sastra yang memang adi luhung. Terbukti novel itu telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa. Sampai saat ini masih menjadi kajian.

Ada 2 hal yang hendak dikibarkan dalam film Sang Penari lewat layar lebar. Pertama kemiskinan. Kata Dahlan Iskan antara kemiskinan dan Pendidikan ibarat dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan. Rakyat miskin karena tidak berpendidikan. Mengapa tidak berpendidikan, karena miskin. Dua arus yang selalu melingkar. Tidak putus-putus.

Pengambilan gambar yang tepat, dilokasi yang tepat pula, suasana dukuh paruk yang miskin lengkap dengan kostum para pemainnya. Rumah yang nyaris seperti gubug. Tanah becek. Gundukan tanah makam Ki Secamenggala sebagai simbol kekuatan, menambah daya tarik suasana kemiskinan. Meskipun sebenarnya dalam novel tercatat bahwa makam Ki Secamanggala terletak di bahu bukit, yang jaraknya ratusan meter dari dukuh.

Akibat dari kemiskinan maka mengakibatkan pengaruh yang ke-2 yaitu kurang pendidikan. Novel dibuat dengan setting peristiwa malapetaka politik tahun 1965. PKI yang lihai memanfaatkan orang yang tidak berpendidikan, tercermin dari hasutan seorang tokoh yang digambarkan akan membawa perubahan. Ajaran yang ditawarkan adalah persamaan hak, persamaan kepemilikan. Tidak ada yang lebih kaya, sebaliknya tidak ada orang miskin. Semua berhak mengelola tanah pertanian. Semua berhak atas hasil pertanian.

Sebagai media, kesenian menjadi daya pikat yang jitu. PKI juga ahli dalam mengelola kesenian sebagai alat provokasi. Kebetulan, saat itu, ronggeng menjadi alat hiburan favorit untuk di kalangan rakyat.

Selebihnya saya mengapresiasikan film Sang Penari, dengan membaca kembali novel Ronggeng Dukuh Paruk. Tidak akan bosan, memperhatikan kata yang dirangkai menjadi kalimat. Lembar demi lembar. Sebagaimana saya juga tidak bosan membaca kumpulan tulisan Umar Kayam : Mangan ora mangan Kumpul, Satria Piningit Ing Kampung Pingit. Atau Catatan Pinggirnya Gunnawan Mohammad meskipun setelah membaca saya juga tidak tahu isinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun