Laku carok yang merupakan tradisi di madura, sampai saat ini belum hilang sama sekali. Ustad Hairul adalah salah seorang yang urung melakukan carok. Ramiyah adalah ibunya Ustad Hairl menangis agar supaya membatalkan niat. Hanya dengan tetesan air mata sang ibu pertumpahan darah dapat dihindari. Seperti kita ketahui bersama bahwa kasus poliandri yang melibatkan Ustadz Hairul Anwar dengan Kamariah sebagai istri yang sah, telah diganggu dengan kehadiran Sugianto yang beristrikan Hadafiah.Peristiwa ini sempat menyita berlembar-lembar media on-line beberapa minggu yang lalu. Tradisi masyarakat berlangsung puluhan tahun ini telah membudaya, namun berangsur surut dan dapat ditekan angka kriminalitas akibat laku carok. Turunnya tradisi carok ini disamping alamiah karena perkembangan jaman, juga karena penyuluhan dan bimbingan dari pemerintah maupun pemuka masyarakat. Kebiasaan Remo lengkap dengan pernak perniknya tak semeriah seperti dulu. Ada cara lain yang lebih dan lebih manusiawi dalam menyelesaikan sengketa, dari pada dengan cara carok. Mengapa terjadi carok? Dr. A. Latief Wiyata menulis dalam bukunya, Carok : Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, menyebutkan bahwa latar belakang terjadinya carok disebabkan karena Malo (perasaan terhina sebagai akibat dari perlakuan orang lain yang mengingkari atau tidak mengakui kapasitas dirinya atau pelecehan harga diri). Malo dalam bahasa Madura berbeda dengan malu dalam bahasa kita sehari-hari. Malu lebih menitik beratkan akibat dari perbuatan kita sendiri, sedang malo disebabkan ulah orang lain. Dalam realita malo ternyata bisa berwijud berbagai macam bentuk seperti : istri diganggu oleh orang lain, persaingan bisnis, rebutan jabatan, konflik harta warisan, dll. Istri yang diganggu oleh orang lain akan mengakibatkan jiwa kelaki-lakiannya terusik bagi suami yang sah. Dalam masyarakat Madura melindungi istri adalah perbuatan mulia, maka sebagai konskwensinya siapapun yang menggganggu keberadaan istri akan dihadapi sekalipun harus dibayar dengan nyawa. Persaingan bisnis lebih disebabkan karena status sosial. Orang yang mendapatkan status sosial bernilai tinggi, maka orang tersebut akan semakin dihormati, disegani. Rebutan jabatan, seperti pemilihan kepala desa juga ingin memperoleh status sosial sekaligus kekuasaan. Adapun konflik warisan, lebih dikarenakan rasa keadilan belaka. Kebiasaan yang melibatkan dalam komunitas orang Madura, biarlah mereka yang akan menangani permasalahannya sendiri. Kearifan lokal menjadi media yang paling ampuh dalam menangani setiap konflik yang biasanya berakhir dengan pertumpahan darah. D. Zamawi seorang budayawan dan orang asli Madura berujar " Ada sikap jantan dan ksatria dalam carok"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H