Mohon tunggu...
amk affandi
amk affandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

coretanku di amk-affandi.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kembar Buncing

19 April 2010   15:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:42 1967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_122162" align="alignleft" width="150" caption="elev8.com/spirit/scripture"][/caption] Menyelami khasanah budaya nusantara sangat mengasyikkan. Anda akan bertatapan dengan karakter manusia yang beraneka ragam. Keragaman tingkah laku ini patut kita banggakan. Sebuah negeri yang sekarang sedang sakit, namun ternyata masih saja ada kelompok dalam masyarakat yang masih mampu menggunakan kearifan lokal untuk tidak larut dalam hiruk pikuk peristiwa politik dan ekonomi. Budaya lokal yang masih diemban demi menjaga amanat.

Terinspirasi oleh sebuah novel “Incest (Kisah Kelam Kembar Buncing)”, karya I Wayan Artika, Kembar Buncing dibeberkan dalam bentuk cerita bersambung. Harian Bali Post, yang mempublikasikan cerbung, sempat memberhentikan cetakan akibat tekanan masyarakat. Penulis sendiripun, menurut penuturannya diusir dari desa. Karena membuka, yang oleh masyarakat masih dipersepsikan “rahasia”.

Setelah postinganku mengenai karakter orang Madura, coretan di bawah ini tentang Kembar Buncing. Sebuah desa di Bali, masih ada yang memiliki kepercayaan tentang bayi lahir Kembar Buncing (laki-perempuan) akan membawa aib, tidak saja bagi keluarga tetapi berdampak pada komunitas desa. Kembar Buncing adalah kutukan. Karena kelahiran Kembar Buncing akan mengakibatkan bahaya, oleh karenanya harus disucikan. Penyucian dilakukan lewat upacara-upacara yang melelahkan, keluarga (ayah-ibu) harus diasingkan.

Kembar Buncing dipertanggungjawabkan tidak hanya bagi ayah dan ibunya saja, namun beban moralitas dijunjung juga oleh desa setempat. Ada perjanjian tidak tertulis, dan isinya merupakan rahasia desa. Seluruh warga desa harus melakukan perjanjian “diam”. Dalam sumpah tersebut, masih terselip juga aturan untuk masa depan kedua bayi. Mereka harus dinikahkan (incest) bila saatnya tiba. Untuk itu kedua bayi harus dipisahkan. Lebih jauh ada kisah yang menarik disini.

Pada saat jaman keemasan monarchi, perkawinan dalam satu keturunan bahkan menjadi keharusan. Perkawinan sedarah dapat terjadi karena mengembangkan keturunan, dan tentu saja gengsi. Istana memiliki kedudukan yang mutlak dalam menentukan pasangan keluarga. Karena kekuasaannya yang demikian dominan, maka pernikahan dalam satu keluarga menjadi sebuah tradisi yang wajib dilaksanakan bagi penghuni di lingkungan kerajaan.

Kebudayaan bisa jadi menjadi penyebab kasus incest. Kebudayaan dibentuk karena kekuasaan mutlak sang raja. Raja menjadi penentu dalam mengatur kehidupan bermasyarakat. Diyakini pula bahwa Raja juga sebagai tuhan.

Semasa Alexander Agung melakukan jajahan di Mesir, raja-raja di mesir melakukan incest(hubungan sedarah) dengan maksud, agar memiliki keturunan berdarah murni dan melanggengkan kekuasaan. Contoh yang terdokumentasi adalah perkawinan Ptolemeus II dengan saudara perempuannya, Elsione. Beberapa ahli berpendapat, tindakan seperti ini juga biasa dilakukan kalangan orang biasa. Toleransi semacam ini didasarkan pada Mitologi Mesir Kuno tentang perkawinan Dewa Osiris dengan saudaranya, Dewi Isis. Sedangkan dalam mitologi Yunani kuno ada kisah Dewa Zeus yang kawin dengan Hera, yang merupakan kakak kandungnya sendiri.

Kasus incest tidak sepenuhnya milik Bali. Incest bahkan sudah lama dipraktekkan, bahkan hingga kini. Suku Polahi di Kabupaten Polahi, Sulawesi, perkawinan antar saudara adalah hal wajar. Perkawinan sedarah masih dapat kita saksikan sesuai dengan laju sejarah. Incest bisa terjadi karena terpaksa, atau suka rela.

Status pembaca sekarang adalah menimbang, boleh setuju, boleh terkagum, bahkan boleh juga tidak setuju, karena tidak sejalan dengan keyakinan. Pembaca berhadapan dengan tradisi budaya masyarakat setempat yang menjunjung tinggi kearifan lokal. Anda yang sudah sempat mampir dibeberapa daerah yang memiliki kehidupan yang unik hanya ada satu kesimpulan. Bersyukur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun