Mohon tunggu...
Wafaul Ahdi
Wafaul Ahdi Mohon Tunggu... Jurnalis - MAHASISWA

Affah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bak Menggoreskan Pisau di Bebatuan, Semakin Lama Bakat Akan Semakin Tajam

24 September 2020   06:17 Diperbarui: 24 September 2020   06:42 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : cdn.medcom.id

Jangan salah, seseorang yang dulunya pernah kau tertawakan kini ia sudah mencapai puncak kesuksesan.

Jendi Pangabean, seorang pria yang di lahirkan tanpa kekurangan kini nasibnya memprihatinkan. Kondisi yang tidak akan pernah di inginkan oleh siapapun, termasuk Jendi. Jendi kini hanya memiliki 1 penopang badan saja akibat kecelakaan 17 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2003 yang pernah didapatinya ketika ia berusia 12 tahun. Jendi harus mengikhlaskan kakinya itu karena sudah tidak bisa di selamatkan lagi.

"Saya sangat sadar dan tau kaki saya sudah tidak berbentuk kaki, dan ketika masuk ruang operasi pun saya tau". (Ujarnya)

Ia mengalami kecelakaan sepeda motor bersama kerabatnya, kerabatnya baik-baik saja, namun tidak dengan Jendi.

Ketika kondisinya sudah membaik, ia memulai dengan kehidupan barunya. Beban mental di pikulnya dan harus di laluinya. Cibiran orang di terimanya, sampai akhirnya ia bisa menerima dirinya sendiri. Ini sebuah proses yang tidak mudah, dan tidak semua orang mampu melewati nya.

Berawal dari masa kecilnya yang amat menggemari air, Karena hidupnya jauh dari perkotaan Jendi kerap kali berenang mengitari sungai yang ada di sekitar tempat tinggal nya itu. Berawal dari itu pula Jendi menemukan bahwa bakatnya ada di air.

Semangatnya pun kembali tumbuh untuk lebih memperdalam bakat yang ada itu.  Meskipun kondisinya kini tidak sesempurna dulu tapi ia berusaha menghiraukannya. Awalnya ia di kenalkan ke dalam sebuah komunitas olahraga disabilitas kemudian ia merasa tertarik sampai akhirnya ia ingin bergabung di komunitas tersebut dengan tujuan agar bakatnya dapat terasah dengan baik.

Setelah ia masuk ke dalam komunitas olahraga ia mulai berlatih. Hari demi hari di laluinya.

"Meskipun saya penyandang disabilitas, saya tidak ingin pada saat saya latihan saya di gabungkan dengan orang yang memiliki nasib seperti saya, saya berusaha untuk mengimbangi orang-orang yang normal" (Ujar Jendi)

Melelahkan memang ketika kondisinya yang demikian harus melawan orang yang tidak memiliki kekurangan. Namun, sepertinya semangat menjadi atlet berenang mengalahkan rasa lelahnya itu.

Berkat usahanya yang luar biasanya, kini terbayar sudah jerih payahnya, talentanya sudah tidak di ragukan lagi. Sudah banyak penghargaan yang di sabetnya. Di antaranya adalah ia menyabet satu emas, satu perak, dan satu perunggu dalam pertandingan di Berlin pada tahun 2018. Kini namanya bak bunga yang mengharumkan jagat raya membuktikan kekurangannya bukan penghalang untuk bisa menjadi orang yang berprestasi.

Hidup ini memang misteri ilahi, percayalah setelah turun hujan badai akan terbit pelangi yang sangat indah.

Kita ambil satu point yang akan di bahas dari cerita yang sudah di paparkan di atas, yaitu Bakat yang diasah.

Tidak semua orang yang memiliki bakat mampu untuk menajamkan bakat tersebut. Banyak yang terlalu acuh sehingga ia lebih memilih pisau yang tumpul dan enggan untuk mengasahnya. Kebanyakan mindset orang adalah pintar di bidang akademik saja, sedangkan non-akademik di kesampingkan, dikucilkan, dan tidak dipedulikan.

Padahal pujaan hati ialah mereka yang sukses di dunia nyata.

Prestasi akademik memang perlu, tetapi jika di sandingkan dengan prestasi non akademiknya akan menjadi pasangan yang di dambakan setiap manusia. Orang tua mana yang tidak di buat melayang  ketika buah hatinya berprestasi dan namanya di elu-elukan setiap orang? Tidak ada bukan, semuanya pasti merasakan bahagia yang tidak ada tandingannya. Eits, tapi damping dalam berprosesnya juga ya.

Vera Itabiliana, seorang psikolog anak dan remaja menegaskan bahwa orang tua memiliki peran terpenting untuk menganalisa potensi apa yang dimiliki anak tersebut. Karena dengan begitu, akan memudahkan untuk mengarahkannya.

Realita sekarang ini apakah lulusan dengan nilai baik akan menjamin pekerjaan yang di perolehnya kelak? Tidak mesti loh. Inilah kemudian yang menjadikan bakat ini perlu kita asah gunanya agar kita dapat mencetak prestasi melalui bakat yang tertanam tersebut, sehingga tidak mengandalkan dari prestasi akademiknya saja.

Bakat jika di asah pula akan menjadikan diri kita menjadi lebih optimis dalam menjalani hidup. Karena ketika kita memiliki sebuah keunggulan, jiwa percaya diri kita akan meningkat sehingga hal ini menjadikan tombak semangat untuk menjalani kehidupan kedepannya. Soal galau sepertinya akan minggir dengan sendirinya karena merasa minder dengan si semangat.

Selain itu dengan bakat akan dapat mengontrol emosi kita loh. Ketika kita berada dalam fase mencapai prestasi yang akan di percahkan tentunya terselip kesabaran yang besar menjalani step by stepnya. Nah hal ini tentunya akan melatih diri kita untuk dapat mengontrol emosi. Jika menjalaninya tidak dengan kesabaran maka konsentrasi nya akan hancur berantakan.

Dan yang terakhir adalah memupuk kreatifitas. Bagaikan tanaman yang terus di siram lambat laun akan subur, begitu pula dengan bakat ketika terus di asah makin lama makin dapat memupuk kreatifitas secara langsung. Sedikit demi sedikit lama kelamaan akan menjadi darah daging.

Yang mampu mengasah bakat tidak lain tidak bukan adalah diri kita sendiri. Orang tua atau orang lain yang ada di sekitar kita hanyalah berperan sebagai fasilitator. Untuk itu selagi masih banyak waktu yuk sayangi diri kita sendiri, temukan passion kita ada dimana dan terus kita kembangkan. Setelah sudah mengetahui manfaat dari mengasah bakat itu sendiri, masih ada keraguan yang terbersit dalam hati? Yuk di baca dua kali :)

Semoga Bermanfaat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun