menulis, tentu ada banyak cara menumbuhkan minat dan sampai mahir menulis. Tapi kita tidak akan pernah bisa menulis kalau tidak segera memulainya.
Ada banyak jalan menuju Roma. Tapi kita tidak akan sampai ke sana bahkan melalui jalan manapun kalau tidak pernah memulai langkah pertamanya. Begitu pulaSaya ingat betul, antara tahun 2013 atau 2014. Ketika itu suasana tenang, hanya gerak kipas angin yang geleng-geleng di langit-langit kelas. Tidak ada yang sanggup beranjak dari bangku masing-masing. Angin semilir, mata agak sayup. Tapi semua telinga sepakat tertuju pada suara Pak Miftahul Ulum (saya biasa memanggilnya; pak mif). Beliau menerangkan panjang lebar tentang salah satu bagian pada kitab Miftah al-Wushul.
Beberapa menit berselang. Saya berusaha memperbaiki posisi duduk sesaat setelah Pak Mif berdiri tepat di depan saya sambil menaruh penghapus papan tulis di atas bangku rekan sebelah saya, Amin.
"Min, tulung dihapus papan tulise"
Segera si Amin beranjak melaksanakan perintah Pak Mif.
Setelah itu, Pak Mif menuliskan satu kalimat yang bahkan sampai sekarang tulisan itu masih tersimpan rapi dalam ingatan: M ufidha farr wa m kutiba qarr. Apa yang kita hafal saja maka akan mudah lari(lupa), dan apa yang kita tulis maka akan kekal. Beliau sangat amat menekankan agar kami giat mencatat. Sebagus apapun keterangan Guru, sedalam apapun ilmu yang disampaikan, kalau hanya kita simak saja tanpa ada upaya untuk "mengikatnya," maka suatu saat akan lupa.
Hingga di satu kesempatan, karena kedangkalan pemahaman saya, akhirnya saya memberanikan diri bertanya kepada salah satu Ustadz di pondok tentang dawuh itu tadi: Bagaimana dengan penghafal nadzom-nadzom? Atau bagaimana dengan para penghafal Al-Qur'an dan Hadis Nabi? Bahkan ada satu maqolah yang mengatakan bahwa faham itu akan datang setelah hafal: Al-fahmu ba'da al-ifi.
"Afwan. Apa kamu kira Al-Qur'an yang sekarang kita baca dan dihafalkan teman-temanmu itu bukan produk dari kutiba?"
Mendengar jawaban yang berupa pertanyaan itu, saya garuk-garuk kepala. Setengah mengiyakan, setengahnya lagi belum benar-benar paham.
Ustadz saya tadi kemudian melanjutkan, "Al-Qur'an yang ada sekarang ini, tentu produk paling riil dari kutiba. Bayangkan,
bagaimana bisa al-Qur'an bertahan melewati berbagai zaman dan tetap otentik? Dulu ketika zaman Nabi, banyak sahabat yang menghafal Al-Qur'an langsung ketika Nabi menyampaikan ayat-ayat, atau ada juga beberapa yang menuliskannya di batu, pelepah kurma, kulit hewan dan itu semua mereka simpan sendiri-sendiri. Belum sedikitpun terfikirkan tentang pentingnya mengumpulkan naskah itu menjadi satu: belum terfikirkan tentang pentingnya kutiba.
Baru kemudian setelah Nabi wafat, Khalifah Abu Bakar memiliki inisiatif untuk mengumpulkan Al-Qur'ansebab banyak para penghafal Al-Qur'an yang gugur ketika perang Yamamah. Khalifah Abu Bakar khawatir, bagaimana jadinya jika para penghafal Al-Qur'an gugur sedangkan ayat-ayat Al-Qur'an yang mulia itu hanya ada pada ingatan mereka."
Saya mengangguk-anguk kagum dengan keterangan itu. Sekaligus agak kaget sebab baru sadar ternyata kanan-kiri saya sudah ada rekan-rekan lain yang ikut menyimak. Di depan kamar yang mulai sunyi sebab malam kian larut, kami semakin dibuat larut dalam penjelasan Ustadz kami itu.