Mohon tunggu...
Affa Esens
Affa Esens Mohon Tunggu... Lainnya - @affa_esens

*ما حفظ فر، وما كتب قر*⁣ Bahwa, apa yang kita ingat-ingat saja, pasti akan lari (lupa). Dan apa yang kita tulis, pasti akan kekal.⁣ #bukutentangjarak #bukutuanrumah

Selanjutnya

Tutup

Ramadan

Rahasia Keberhasilan Murid

5 April 2024   20:00 Diperbarui: 5 April 2024   20:03 1219
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Santri Kelas Akhir pondok Al-Muhibbin, Al-Mardliyyah, Al-Amanah dan Al-Ikhlas/Dokpri

Yang selalu menarik dari Abah K.H. Mohammad Idris, terlebih ketika Agenda Sowan Kelas Akhir kemarin, adalah cerita-cerita yang Beliau sampaikan. Agaknya hal demikian sudah menjadi ciri khas.

"Kali ini saya tidak akan memberi mauidzhoh atau arahan-arahan. Kalau saya beri arahan terus ndak dijalankan khawatirnya malah dosa". Begitu yang disampaikan Abah dalam pembukaannya.

Abah memberikan penjelasan bahwa santri sekarang tidak seperti santri dulu. Kalau santri dulu, dawuh dari guru adalah segala-galanya.

Bahkan kalau dawuh guru dan orang tua berseberangan, harus memilih dawuh guru.

. . .

Mengapa demikian? Karena orangtua itu yang merumat jasad: yang dipingini banyak orang tua pasti bagaimana anaknya sukses, hidup mapan, dapat pekerjaan yang layak. Kalau Guru, lebih mementingkan bagaimana biar muridnya selamat hingga akhirat.

Jasad manusia pasti selesai, tapi kalau ruh tidak. Ruh-lah yang akan kekal. Dan keselamatan ruh sampai ke akhirat jauh lebih diprioritaskan daripada kesejahteraan jasmani di dunia saja.

Santri itu idealnya seperti itu harusnya. Manut opo dawuh Guru. Tapi kalau Ndak di buktikan ya ndak bisa.

Santri Kelas Akhir pondok Al-Muhibbin, Al-Mardliyyah, Al-Amanah dan Al-Ikhlas/Dokpri
Santri Kelas Akhir pondok Al-Muhibbin, Al-Mardliyyah, Al-Amanah dan Al-Ikhlas/Dokpri

Abah Idris kemudian melanjutkan: Saya itu bolak-balik diuji sama Romo Kyai Djalil. Waktu saya lulus Aliyah, pengen sekali kuliah di luar negeri. Tapi saya ndak berani matur ke Abah saya. Karena ndak ada sinyal dari Abah untuk saya kuliah. Tapi kepengen banget kuliah di luar negeri

Lalu pas hari raya, saya sowan kepada Romo Kyai Djalil bersama Abah dan se keluarga. Tiba-tiba Kyai Djalil dawuh: "Gus, ndak usah boyong. Diteruskan saja di Lirboyo sampai selesai Ma'had Aly, tabarrukan tabaruukan sampai selesai Ma'had Aly. Ndak usah kepingin kuliah ke luar negeri, sama saja. Kuliah di luar negeri sama dalam negeri itu yang penting orangnya. Bermanfaat atau tidak.

Dawuh itu kadang-kadang sesuai dengan zamannya saja, kadang-kadang berlaku untuk terus. Tapi kayaknya dawuh Kyai Djalil itu khusus untuk saya saja. Karena beberapa tahun setelah itu Kyai Djalil mengirim santri ke Yaman satu bus.

Pupus sudah harapan, manut guru. Saya kemudian melanjutkan di Lirboyo.

Setelah Ma'had Aly, kemudian saya kepingin kuliah normal di perguruan tinggi pada umumnya. Apakah di Surabaya, di Jakarta, pokoknya kepingin kuliah normal.

Waktu saya lulus dari Ma'had Aly, bertepatan juga sama lulusnya Bu Ifa dari Aliyyah di Matholi' Kajen dan Bu Ida juga lulus dari Muallimat Tambakberas.

Kemudian, seperti biasa, kami sekeluarga sowan hari raya kepada Kyai Djalil. Ndak ada angin ndak ada hujan, setelah sungkem mau pamit, tiba-tiba Romo Kyai Djalil dawuh: Idris, gak usah kuliah. Ida, kuliah.

Ini yang laki-laki kok ndak boleh kuliah, malah yang perempuan diutus kuliah. Sudahlah, sami'na wa atho'na

Dapat dawuh lagi, manut lagi. Kalau Bu Ifa ndak ada dawuh, akhirnya beliau kursus bahasa inggris di Pare.

Begitulah perjalanan keluarga kami.

Apakah dawuh Romo Kyai Djalil cocok dengan keinginan saya? Tidak sama sekali. Waktu pulang, wajah saya lusuh seperti pakaian seminggu ndak di setrika. Sama sekali tidak cocok dengan keinginan hati.

Padahal saya itu sangat senang dengan wawasan, sangat senang dengan diskusi dan perdebatan, sangat senang bersosial, sangat senang berorganisasi dan itu semua tempatnya di kampus.

Bahkan waktu masih mondok, saya sangat suka mbaca berbagai literatur filsafat tingkat tinggi. Pelajaran saya kitab kuning tapi bacaan saya filsafat. Novel saya Ko Ping Ho dan novel-novel barat, satu-satunya Novel lokal cuma Novel Wiro Sableng, buat selingan. Harapan saya untuk bisa 'gelut' dengan anak kampus itu sudah sangat tinggi waktu itu.

Sudah menggebu-gebu seperti itu, lalu kok ya dapat dawuh tadi: Idris, gak usah kuliah! Satu kalimat sakti.

Berkali-kali saya itu merenung, selalu teringat dawuhnya Abah saya: guru mbek wong tuo, disikno guru. Sementara ibuk saya terus memompa saya untuk kuliah. Bahkan karena saya ndak punya ijazah formal, Beliau sampai mencarikan bagaimana biar saya bisa punya ijazah formal, dan jadilah saya ikut ujian akhir di Aliyah negeri itu.

Ibu saya pun juga dawuh: Dris, awakmu lek gak kuliah, ketinggalan zaman. Bakal kalah pinter dari murid-muridmu.

Nyatanya benar. Sekarang banyak murid-murid saya yang sudah jadi doktor. Gurunya tetap begini-begini saja.

Dawuh Ibu saya waktu itu: awakmu bakal kalah pinter dari murid-muridmu. Tapi guru yang sukses itu kalau ia bisa menjadikan muridnya lebih pintar dari dirinya. Murid-murid saya sudah banyak yang jadi doktor, kuliah S2 juga banyak. Lha gurunya, saya ini, ijazah S1 saja pemberian dari Pak Kholiq, rektor iaibafa.

Perjalanan setelah itu ndak saya ceritakan.

Kemudian, kebetulan waktu itu bertepatan dengan gerakan 98, reformasi. Saya diperintahkan Kyai Djalil untuk mendatangi berbagai macam seminar dan berbagai macam pergerakan. Jadi saya ada di pergerakan-pergerakan kampus tanpa terdaftar menjadi mahasiswa kampus tersebut.

Kyai ternyata memberi saya jalan lain.

Kemudian disini, dibuat yang namanya Diklat Ulil Albab, dosennya didatangkan kesini oleh Kyai. Termasuk diantara dosen yang datang kesini adalah menteri pendidikan Prof. Dr. Mohammad Nuh.

Ternyata Kyai memberi jalan lain. Nggak kuliah di kampus luar, malah dosennya yang didatangkan dan mengajarkan keilmuan secara langsung.

Tapi kembali lagi, ketika pertama kali menerima dawuh itu, luar biasa MasyaAllah-nya, dunia ini lo seolah-olah terbalik-balik rasanya. Tapi kalau sudah diarahkan, dan manut, ternyata akan ditata menjadi lebih jauh lagi, lebih baik lagi.

Juga ada banyak keluarga alumni HMI waktu itu, di zaman orde baru, organisasi yang menjadi organisasi anak emasnya Suharto, alumni-alumninya yang sudah ditaklukkan oleh Pondok Peta dikirim kesini untuk mengajar kami. Termasuk Gus Syaiful waktu itu juga masuk ke anggota Diklat Ulil Albab.

Abah K.H. Mohammad Idris Djamaluddin/Dokpri
Abah K.H. Mohammad Idris Djamaluddin/Dokpri

Tapi itu semua muaranya adalah ngandel dawuhnya guru dahulu. Begitu satu kalimat: Idris, gak usah kuliah. Ya sudah. Sami'na Wa Atho'na.

Begitulah yang diajarkan Abah kepada kami.

__________

(Catatan Probadi Sowan Kelas Akhir. Jum'at, 08 Maret 2024)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun