[caption id="" align="alignleft" width="440" caption="Liga Indonesia, harus tetap bergulir (image.vivanews.com)"][/caption] MENCERMATI tulisan yang baru saja menjadi headline di Kompasiana, penulis merasa harus memberikan tanggapan atas apa yang menjadi ide dari tulisan tersebut. Tulisan “Mungkin Sebaiknya Indonesia Tidak Usah Punya Liga” adalah sebuah opini atas kekecewaan pengelolaan sepakbola tanah air oleh organisasi tertinggi sepakbola nasional, PSSI. Khususnya kepengurusan sekarang yang berhasil menjungkalkan rezim Nurdin Halid. Meskipun hanya sekadar opini, namun munculnya tulisan ini pada headline Kompasiana akan sangat berimbas (mungkin) buruk bagi persepakbolaan Indonesia itu sendiri.
Tidak usah lagi membahas mengapa kita harus kecewa, mengapa kita prihatin dan mengapa kita marah atas ‘perang dingin’ IPL dan ISL. IPL (Indonesian Premier League) yang sejarahnya digulirkan sebagai tandingan kompetisi resmi PSSI waktu itu, ISL (Indonesia Super League) oleh pengusaha Arifin Panigoro dkk. pada akhirnya mampu menduduki jabatan ‘gila’ PSSI yang kolot dan keras kepala. Hingga kini, PSSI era baru berhasil meng-eksiskan IPL dan merangkul bekas kompetisi era lama ISL untuk bergabung. Namun, yang terjadi justru ISL tidak mau bergabung dan mendirikan kompetisi sendiri di bawah naungan badan yang sejak lama mengelola liga Indonesia, BLI atau PT Liga Indonesia. Konflik berlarut-larut hingga musim 2011/2012 baru berjalan dua/tiga pekan tetapi sudah memakan waktu hampir separuh musim.
Pada hakikatnya penciptaan kompetisi liga (professional) yang menjadi dambaan PSSI dan masyarakat Indonesia bertujuan untuk meningkatkan prestasi Timnas Indonesia di ajang internasional. Akan tetapi, tujuan sudah mulai bergeser sejak liga-liga di Eropa meng-industrikan sepakbola sebagai olahraga yang menghasilkan profit dan mata pencaharian tersendiri. Selain itu, unsur entertainment yang melekat pada olahraga paling populer di dunia ini menjadikan liga dan kompetisi sepakbola dinanti oleh insan sepakbola seluruh dunia dan Indonesia. Pergeseran tujuan utama ini adalah wujud bahwa sepakbola memiliki banyak manfaat bagi semua lapisan masyarakat baik di bidang sosial, politik, budaya dan pariwisata.
Oleh karena itu, liga dan kompetisi harus tetap eksis dan ada. Apalagi di negara dengan lebih dari 250 juta penduduk ini. Mari kita renungkan, tanpa liga, bagaimana Titus Bonai, Patrich Wanggai, Abdul Rahman, Egi Melgiansyah, dan kawan-kawan mendapat penghasilan sehari-hari. Itu masih lumayan menjadi bagian dari Timnas yang bergelimang bonus, yang tidak dipanggil Timnas bagaimana nasibnya? Bagaimana seorang Ardan Aras, Dony F Siregar, Pitono dan kawan-kawan menafkahi keluarganya? Jika dihubungkan dengan tulisan yang menjadi headline Kompasiana itu, apakah mereka akan melamar atau bahasa kasarnya “mengemis” mencari pekerjaan ke klub-klub di liga negara tetangga yang secara peringkat masih di bawah Liga Indonesia? Ya kalau diterima lamarannya, kalau tidak? Bagaimana pula nasib SSB yang mendidik generasi muda pemain sepakbola untuk berkarier di klub lokalnya?
[caption id="" align="aligncenter" width="620" caption="Titus Bonai, menafkahi keluarganya dari sepakbola berikut liganya (www.bolanews.com)"][/caption]
Bagaimana masyarakat Indonesia menyaksikan hiburan paling disukai yakni sepakbola (negeri sendiri)? Apakah harus “cuma” menjadi penonton liga Eropa lagi? Bagaimana nasib para suporter yang menjadi komunitas lokal paling populer seperti The Jakmania, Aremania, Pasoepati, Bonek, dan Viking?
Jadi, tolong, jangan sebarkan isu meniadakan liga dan kompetisi di Indonesia kendatipun itu ungkapan perasaan kekecewaan atas karut marutnya pengelolaan liga dan kompetisi di negeri ini. Ide itu bisa penulis sebut ide “gila”. Bagaimana tidak, dari dulu, kompetisi professional, menghibur, mandiri dan dicintai masyarakatlah yang menjadi ambisi PSSI dan sudah dirintis jauh-jauh hari sejak penciptaan ISL, mengapa tiba-tiba ada usulan meniadakan liga dan kompetisi itu? Sungguh naïf!
Ada baiknya apabila kritik terhadap manajemen dan PSSI ini lebih ditujukan pada asimilasi atas dualisme kompetisi ISL dan IPL. BLI dan PSSI bisa duduk bersama dengan ditengahi pemerintah dan melepaskan ego masing-masing, serta mencari alternatif yang pas untuk kompetisi terbaik bagi negeri ini. Itu jika kompetisi harus disatukan. Namun jikapun kedua liga berjalan beriringan, bagi penulis, tidak menjadi masalah asalkan tidak ada larangan dari FIFA sebagai organisasi tertinggi sepakbola dunia. Asalkan sama-sama menghibur, asalkan sama-sama menjunjung tinggi sportivitas dan fairplay, asalkan sama-sama, bagi setiap klub membayar gaji para pemainnya.
Silakan pilih, jika klub ingin selalu bergantung pada pembiayaan APBD maka ikutlah ISL, jika klub ingin mandiri menjadi klub swasta professional maka ikutlah IPL. Jika klub ingin tampil mesra dengan grup bakrie dan ANTV maka ikutlah ISL, jika klub ingin bereuni dengan official TV Partner Liga Indonesia jaman dahulu MNC Grup, maka ikutlah IPL. Salam Olahraga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H