Mohon tunggu...
Affa 88
Affa 88 Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer, Social Activist, Nahdliyin

Ojo Dumeh, Ojo Gumunan, Ojo Kagetan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mari Kembali Ke Khitah NU1926!

24 Maret 2010   04:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:14 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menymak Editorial Media Indonesia hari ini saya cukup prihatin dengan keberadaan Nahdlatul Ulama belakangan ini. Saya adalah warga nahdliyin yang berada diantara lingkungan Islam modern. Saya yakin dan cocok dengan keyakinan dan faham keislaman NU karena memang NU lahir dari perjuangan para ulama dalam rangka merebut kembali Indonesia dari jajahan VOC dan Hindia Belanda. Tradisi NU telah terukir dalam sejarah perjuangan bangsa, bahkan sejak wali sanga, terpatri dalam ideology Pancasila, dan terbias dalam kehidupan sebagai Ahlussunnah Wal Jamaah. Namun hasrat para elit NU untuk dekat dengan kekuasaan dan berpolitik praktis belum dapat dibendung.

Dan bukan mustahil ketika dua kandidat Ketua Umum KH Salahuddin Wahid dan KH Said Aqil Siradj sowan ke kediaman pribadi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, Bogor, pekan lalu komentar kritis datang dari berbagai kalangan. Sebenarnya kritis dalam arti adalah rasa khawatir, khawatir akan membuat NU sebagai organisasi social keagamaan justru manut sama intervensi pemerintah. Meskipun kedua ulama tersebut telah membuat pernyataan dengan berbagai alas an, namun umat sudah bisa menebak Gus Sholah dan Said Aqil mohon restu yang akhirnya menumbuhkan kultur dependensi seperti yang terjadi pada Partai Kebangkitan Bangsa, sebuah partai yang mewadahi aspirasi warga nahdliyin selama masa reformasi.

NU dan politik memang sangat kental kaitannya. Meskipun pendirinya Hadratussyaikh KH Hasjim Asjari dan KH Wachab Chasbullah mendirikan NU pada tahun 1926 dengan semangat pemberdayaan umah menuju kebahagiaan nan sejati berdasarkan ajara n Aswaja, namun dalam perjalanannya NU selalu keluar masuk dalam ranah perpolitikan Indonesia. Pemilu pertama 1955 menempatkan Partai NU sebagai partai terbesar dan menduduki tempat ketiga perolehan suara rakyat di bawah PNI dan Masyumi. Setelah itu terpilihnya KH Abdurachman Wachid (Gus Dur) sebagai presiden RI 1999 secara tidak langsung telah membawa NU dekat dan bahkan berada dalam kekuasaan.

Masa orde baru NU seperti keluar dari perpolitikan, hal ini memang seruan untuk kembali ke Khittah 1926 agar kaum sarungan tidak terjun ke politik praktis. Aspirasi yang sebelumnya melalui partai Nahdlatul Ulama, saat itu ditampung dalam Partai Persatuan Pembangunan.

Sesungguhnya opsi dan keputusan untuk memilih mendekat atau menjauh dari kekuasaan ada pada kaum nahdiyin sendiri. Mendekat atau menjauh, semuanya sah-sah saja dilakukan. Asalkan dilakukan dengan cara-cara yang patut, konsisten, dan konsekuen. Masuk ke politik praktis untuk mendekat atau meraih kekuasaan kendaraannya adalah partai politik. Sangat tidak tepat dan tidak terpuji menggunakan ormas seperti NU sebagai kendaraan untuk itu.

Bukan saya suudzon terhadap intervensi pemerintah atau kebijakan pemerintah, namun membawa NU menuju intervensi pemerintah, seperti membawa-bawa nama NU dalam Pileg, Pilpres, Pilkada sangat tidak mencerminkan kebudayaan NU itu sendiri. Karena kita tahu bahwa NU adalah ormas Islam terbesar di Dunia. NU telah berkembang dengan sikap toleransi tinggi yang mentradisi sejak wali sanga. NU diterima berbagai kalangan, penguasa, politikus, ulama khos, santri, orang abangan, kejawen, para habaib, dan bahkan non muslim sendiri mengakui keberadaan NU sebagai symbol organisasi Islam yang luar biasa.

Kini kembali ke pertanyaan seperti juga yang diutarakan dalam editorial Media Indonesia, Mengapa para calon Ketua PBNU harus menghadap penguasa sebelum mengikuti muktamar? Dan Mengapa Muktamar NU harus dibuka presiden, bukan oleh tokoh NU sendiri?

Para pemimpin NU semestinya menjadi lokomotif yang mampu menarik gerbong kaum nahdiyin ke arah pemberdayaan. Jangan sampai mereka menjadi lokomotif yang meninggalkan gerbong nahdiyin melaju ke arah kekuasaan dengan kendaraan ormas.

Semoga NU mendapat seorang pemimpin dalam ketua umum PBNU yang mengerti kebutuhan nahdliyin pada umumnya dan cita-cita sejati yakni Khitah 1926.

affa_

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun