Mohon tunggu...
Affa 88
Affa 88 Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer, Social Activist, Nahdliyin

Ojo Dumeh, Ojo Gumunan, Ojo Kagetan.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mudahnya Membunuh Orang dan Bertepuk Tangan

12 Maret 2010   03:47 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:28 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya takjub mendengar berita "gugur"nya pejuang jihad Dulmatin di Pamulang beberapa waktu lalu. Sebuah prestasi besar yang ditorehkan kepolisian Republik Indonesia dalam memberantas penganut ideology Islam garis keras. Keberhasilan tim Detasemen Khusus 88 membekuk sekelompok orang yang sebenarnya masih dugaan teroris  kemarin, patut dipuji. Penyergapan ini menunjukkan bahwa polisi tetap bekerja keras dan tentu serius mengejar jaringan teroris meski kita tahu bahwa dua tokoh utama mereka, Azahari dan Noor Din M. Top sudah tewas. Kemudian saya menyayangkan penembakan mati para tersangka. Padahal spertinya tak terlihat tanda-tanda perlawanan serius seperti ketika dulu Azahari atau Noor Din melawan. Tewasnya tiga tersangka itu membuat peluang untuk menggali informasi mengenai jaringan ini menyempit. Menyempit karena dari mereka lah informasi mengenai jaringan teroris dapat digali. Berusaha menangkap tersangka hidup-hidup sangatlah penting. Karena kita tahu bahwa Dulmatin adalah tokoh kunci jaringan teror yang diduga bertanggung jawab atas serangkaian pengeboman maut di Indonesia. Dia bahkan dianggap lebih senior dan lebih ahli merakit bom dibanding Azahari. Pun dengan aktivitas mereka di Pamulang, yang diduga berhubungan dengan kegiatan teroris di Aceh, menunjukkan bahwa jaringan teroris tetap hidup. Mereka memiliki kemampuan melakukan kaderisasi dan merekrut pengikut baru yang tak kalah militan. Informasi langsung dari mereka adalah informasi yang sangat urgen bagi kelangsungan hidup terorisme di Indonesia. Susah jika menggali informasi strategis dari TKP yang menyisakan mayat dan darah. Lebih lagi kita harus paham dan patut waspada bahwa bergesernya tempat latihan mereka dari kawasan Poso dan Mindanao, Filipina, ke Aceh. Salah satu kemungkinannya, menurut pihak intelijen, rencana menyiapkan pembajakan kapal di Selat Malaka. Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Irwandy Yusuf pun meyakini kelompok teroris ini tengah menggeser basis perjuangannya dari Jawa ke Aceh. Faktor kondisi ekonomi dan sosiologis masyarakat Indonesia juga membuat mereka bisa bergerak lebih leluasa karena mudah mendapatkan perlindungan karena kita mengerti bahwa paham terorisme adalah perjuangan dengan kesabaran militan. Mereka bisa digempur, namun akan bangkit lagi dengan kekuatan lebih besar. Itu sebabnya, dalam operasi penyergapan terhadap para tersangka teroris, upaya menangkap mereka hidup-hidup haruslah diprioritaskan. Mereka bukan hanya dibutuhkan untuk pengembangan informasi, tapi juga untuk alasan lain yang tak kalah serius, yaitu menerapkan asas praduga tak bersalah. Iya mungkin suatu waktu mereka terbukti memang bersalah. Namun bukankah prosedur hukum tetap harus dilakukan. Mereka berhak diadili agar bisa membela diri. Biarlah pengadilan yang memutuskan kesalahan mereka, bukan tim Detasemen Khusus di lokasi penyergapan. Dengan memberi mereka kesempatan untuk diadili, pemerintah tak bisa dituduh sama biadabnya dengan ulah para teroris. Kita tidak ingin kan kasus sepeti orde baru atau jaman PKI 1948 seperti pada artikel saya sebelumnya yang mestinya dapat dihindari. Kejamnya pemerintah terhadap "pemberontak" atau sekarang popular dengan nama teroris. Tentu saja upaya itu tidak mudah. Kita paham betapa besar risiko yang dihadapi anggota kepolisian. Situasi di lapangan sering begitu kritis sehingga tim penyergap harus berhadapan dengan risiko tertembak lebih dulu. Atau, para tersangka meledakkan bom yang biasanya selalu mereka bawa.Hanya, dalam beberapa penyergapan sebelumnya, juga dalam penyergapan kemarin, situasi kritis seperti itu tidak terjadi. Maka, seharusnya mereka hanya dilumpuhkan, bukan langsung ditembak mati. Lebih utama lagi kita sekarang hidup di alam demokrasi yang menjunjung tinggi Hak Asasi. Untuk membela diri, untuk mengeluarkan pendapat, untuk memilih dalam peradilan dan untuk hidup. Jadi saya terusterang belum seratus persen menghargai hasil kerja Densus 88 ini apalagi bertepuk tangan seperti rombongan parlemen Aussie di Canberra pasca SBY berkoar telah anak buahnya berhasil menewaskan gembong teroris yang tak lain adalah warganya sendiri. Saya tahu teroris sangat biadab. Bom-bom telah menghamburkan darah  di alam damai. Namun, tidak seharusnya pemerintah mengamburkan darah juga di wilayah damai seperti Pamulang, Batu dan Solo. (sebagian disadur dari tempo) Affa_ sumber foto : di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun