Dulu saya berpikiran bahwa ketika kelak saya mempunyai uang, maka hidup saya akan lebih bahagia. Sewaktu belum punya kendaraan, saya beranggapan bahwa nanti setelah punya motor/mobil sendiri, saya akan lebih happy. Saya juga dulu sering berangan-angan bisa travelling ke mancanegara karena hal itu mungkin akan membuat saya senang dan bangga.
Ternyata ....
Happiness comes from the intersection of what We love, what We are good at, and what the world needs. We've been told time and again to keep finding the first. Our schools helped develop the second.Â
It's time we put more thought on the third. Putting problems at the center of our decision-making changes everything. It's not about the self anymore. It's about what We can do and how We can be a valuable contributor.
Bahagia itu didapat ketika kita memindahkan pusat dari "to the end of ourself" menuju "to the greater good."
Hal ini kemudian menyadarkan bahwa semata-mata mengejar keinginan atau passion pribadi tidak serta-merta akan membuat bahagia. Pernyataan bahwa "follow your passion and everything will turn out great" adalah sesuatu yang misleading.Â
Lebih parah lagi, hal itu justru membuat terlihat sangat egoistis. Fulfillment comes only when your passion, talent, role, assignment, and the greater good all come together.
Pada dasarnya, di lubuk hati dan pikiran terdalam setiap manusia, ia pasti ingin membuat perbedaan. Setiap manusia ingin memberi kontribusi. Setiap manusia ingin memberi pengaruh kepada lingkungan. Setiap manusia ingin mengubah dunia. Setiap manusia ingin memberi impact.Â
We want to matter. Sayangnya, selama ini bayak yang berfokus pada aspek what we love dan what we're good at---bukan pada what the world needs.
Yang menarik, kecenderungan bahwa ketika semakin berfokus pada diri sendiri, maka kita akan cenderung makin tidak bahagia.Â
Sebaliknya, ketika mulai mengabaikan perhatian pada diri sendiri dan mulai melihat dunia yang lebih besar, kita barangkali akan jauh lebih bahagia. We become happier if we worry less about what makes us happy.