Mohon tunggu...
Afen Sena
Afen Sena Mohon Tunggu... Guru - Dr, IAP, FRAeS

Anak muda dari kampung

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencari...

12 Desember 2018   13:51 Diperbarui: 12 Desember 2018   13:53 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setiap manusia memiliki satu kerinduan dasar, yakni rindu akan kesempurnaan. Ia ingin hidupnya sempurna. Ia ingin semuanya terjadi sesuai keinginannya. Muda  pesta pora hura hura, dewasa kaya raya, dan mati masuk surga, begitu katanya.

Namun, kerap kali, kerinduan ini jugalah yang menjadi sumber masalah kita. Hidup ternyata tak pernah sempurna. Upaya untuk menjadi kaya raya tak semudah membalik telapak tangan. Kita bisa menderet kisah kegagalan orang yang sebelumnya dianggap kaya raya.

Tegangan antara apa yang kita inginkan dan apa yang kita dapatkan inilah yang menjadi sumber penderitaan hidup. Setiap orang mengalaminya. Kerinduan akan kesempurnaan dihantam dengan petaka dunia yang menghasilkan derita.

Setiap orang ingin menjadi pribadi yang sempurna. Ia ingin kuat, cerdas dan sehat. Ia juga ingin tampil cantik atau tampan, supaya lebih mudah mendapatkan apa yang diharapkannya. Sayangnya, keinginan tersebut ditabrak dunia nyata, bahwa orang tidak selalu bisa kuat dan sehat.

Ada waktunya, ketika orang merasa rapuh dan kesepian. Ia menjadi lemah. Ada waktunya, orang merasa bodoh, terutama ketika tenggelam dalam kisah hidup tertentu. Ada waktunya, ketika penyakit berkunjung, dan memaksa orang terikat di tempat tidur, lalu tenggelam dalam kesepian.

Semua kerinduan tersebut lenyap, ketika dunia nyata datang mengetuk. Egoisme, dan ketakpedulian. Ketidakhadiran ketika dibutuhkan.
Pola yang sama bisa ditemukan di beragam bidang kehidupan manusia, mulai dari harapan tentang  pekerjaan yang sempurna, sampai dengan perdamaian dunia yang tak pernah kunjung tiba. Kerinduan akan yang sempurna ditabrak dengan dunia nyata, sehingga melahirkan derita. Jika orang tak sadar akan hal ini, ia akan terus terjatuh kembali ke dalam derita yang sia-sia.

Mungkin, kita memerlukan pemahaman baru tentang apa artinya kesempurnaan. Kita perlu melihat kesempurnaan bukan sebagai keadaan yang tetap dan sudah selesai, melainkan sebuah sebuah proses. Kesempurnaan dipahami ulang dari kata benda "sempurna" menjadi kata kerja"menuju sempurna". Dengan kata lain, kesempurnaan adalah sesuatu yang belum selesai.

Jika kita memahami kesempurnaan sebagai sesuatu yang belum selesai, kita akan bersabar, ketika harapan kita tidak sejalan dengan kenyataan. Ketika terdapat ketidakjujuran, kita akan sadar, sebuah hubungan yang sempurna pun tidak akan pernah selesai. Ketika pekerjaan kita berantakan, kita juga bisa tetap sadar, bahwa ini pun belum selesai.

Kata ini, "ini juga belum selesai", lalu  menjadi mantera kehidupan baru. Kita tak lagi merindukan kesempurnaan mutlak, dan kemudian jatuh ke dalam kekecewaan. Kita menjadi lebih dewasa menyingkapi berbagai peristiwa yang terjadi. Sambil membaca tulisan ini, kita bisa berkata di dalam hati: tulisan ini pun.. belum selesai...

Pencarian ini juga belum selesai...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun