Entomologi forensik merupakan ilmu tentang serangga yang digunakan untuk menganalisis kasus yang berhubungan dengan forensik yaitu kematian. Hal ini didasarkan oleh hubungan erat antara manusia dan serangga yang hidup saling berdampingan. Serangga dapat menjadi salah satu faktor penentuan Postmortem Interval (PMI) sehingga berguna dalam proses penyelidikan forensik. Serangga medikolegal adalah serangga yang digunakan sebagai bukti pada kasus kematian. Biasanya serangga yang berhubungan adalah serangga pemakan daging.[1]
Menurut sejarah, pertama kali Kasus Forensik didokumentasi pada  abad ke 13 oleh Sung Tzu dalam bukunya berjudul  "The Wasihing way" . dia menjelaskan ada kasus pembunuhan yang terjadi di sawah. investigator mengatakan bahwa luka yang ditemukan disebabkan oleh sabit. Sabit ini digunakan oleh para petani untuk memotong padi saat penen, dari sini dicurigai bahwa adanya rekan buruh tani yang terlibat. [2]
Hakim setempat menyuruh penduduk desa berkumpul di alun-alun desa dimana mereka mengumpulkan sabit. Dalam beberapa menit sekumpulan lalat Calliphora vomitoria berkumpul disalah satu sabit dan tidak ada disabit yang lain. Hal ini menandakan bahwa pemilik sabit merupakan pelakunya karena dari lalat jenis ini menyukai aroma bekas darah yang tertinggal pada sabit tersebut. [2]
Pada tahun 1668, dokter Italia Francesco Redi membantah teori generasi spontan. Teori yang diterima pada masa Redi menyatakan bahwa belatung berkembang secara spontan dari daging yang membusuk. Dalam sebuah percobaan, ia menggunakan sampel daging busuk yang terkena udara sepenuhnya, sebagian terkena udara, atau tidak terkena udara sama sekali. Redi menunjukkan bahwa daging busuk yang terpapar seluruhnya maupun sebagian akan menimbulkan belatung lalat, sedangkan daging busuk yang tidak terkena udara tidak akan menimbulkan belatung. Penemuan ini benar-benar mengubah cara orang memandang pembusukan organisme dan mendorong penyelidikan lebih lanjut terhadap siklus hidup serangga dan entomologi secara umum. [3]
Pada tahun 1814--1893 Dr. Louis Franois Etienne Bergeret adalah seorang dokter rumah sakit Perancis, dan merupakan orang pertama yang menerapkan entomologi forensik pada suatu kasus. Dalam laporan kasus yang diterbitkan pada tahun 1855 ia menyatakan siklus hidup umum serangga dan membuat banyak asumsi tentang kebiasaan kawin mereka. Namun demikian, asumsi ini membawanya pada penerapan entomologi forensik pertama kali dalam estimasi interval post-mortem (PMI). Laporannya menggunakan entomologi forensik sebagai alat untuk membuktikan hipotesisnya tentang bagaimana dan kapan orang tersebut meninggal.[4]
Studi sistematis pertama dalam entomologi forensik dilakukan pada tahun 1881 oleh Hermann Reinhard, seorang dokter Jerman yang memainkan peran penting dalam sejarah entomologi forensik. Dia menggali banyak jenazah dan menunjukkan bahwa perkembangan berbagai jenis spesies serangga dapat dikaitkan dengan jenazah yang terkubur. Reinhard melakukan penelitian pertamanya di Jerman timur, dan mengumpulkan banyak lalat Phorid dari penelitian awal ini. Dia juga menyimpulkan bahwa perkembangan hanya beberapa serangga yang hidup dengan mayat di bawah tanah terkait dengan mereka, karena ada kumbang berusia 15 tahun yang memiliki sedikit kontak langsung dengan mereka. Karya dan studi Reinhard digunakan secara luas dalam studi entomologi forensik lebih lanjut. [4]
Dokter hewan dan ahli entomologi Perancis Jean Pierre Mgnin (1828--1905), menerbitkan banyak artikel dan buku tentang berbagai subjek termasuk buku Faune des Tombeaux dan La Faune des Cadavres, yang dianggap sebagai salah satu buku entomologi forensik paling penting dalam sejarah. ]Dalam buku keduanya ia melakukan karya revolusioner mengenai teori gelombang yang dapat diprediksi, atau suksesi serangga pada mayat. Dengan menghitung jumlah tungau hidup dan mati yang berkembang setiap 15 hari dan membandingkannya dengan hitungan awal pada bayi tersebut, ia dapat memperkirakan berapa lama bayi tersebut mati.[5]
Dalam bukunya, ia menegaskan bahwa jenazah yang terekspos akan terkena delapan gelombang suksesi, sedangkan jenazah yang dikubur hanya akan terkena dua gelombang. Mgnin membuat banyak penemuan besar yang membantu memberikan pencerahan baru tentang banyak karakteristik umum flora dan fauna yang membusuk. Karya dan studi Mgnin tentang bentuk larva dan serangga dewasa yang ditemukan pada mayat memicu minat para ahli entomologi di masa depan dan mendorong lebih banyak penelitian tentang hubungan antara arthropoda dan orang mati, dan dengan demikian membantu membangun disiplin ilmu entomologi forensik.[5]
Sampai saat ini perkembangan ilmu entomologi forensik semakin berkembang. Seperti pada kasus pembunuhan berikut menggunakan analisis entomology forensik. Seorang gadis dibunuh, dibakar dan ditemukan di sampingjalan dekat dengan ladang tebu di Kaohsiung County, Taiwan, pada tanggal 29 Agustus 2003. Korban awalnya diidentifikasi oleh orang tuanya, yang menemukan kalung di lehernya. Identitasnya saat itu dikonfirmasi dengan pengetikan DNA berulang tandem pendek. Gadis itu terakhir kali terlihat hidup pada 27 Agustus lalu adiknya yang mengaku korban sedang keluar pada jam 7:00 malam setelah menerima panggilan telepon, dan melakukannya tidak akan kembali.[6]
Eksperimen PMI dilakukan dengan membuang bangkai babi yang terbakar di hutan untuk mengungkap kasus ini. Satu bulan kemudian, secara tidak terduga dan menarik, kondisi bangkai babi tersebut sama persis dengan kondisi mayat gadis tersebut. korban yang telah dibunuh dan dibakar, Belatungnya yang dikumpulkan dan diidentifikasi. didapatkan Chrysomya megacephala melalui pengamatan morfologi , kemudian dikonfirmasi oleh urutan DNA mitokondria. Disimpulkan PMI untuk tubuh manusia yang terbakar yakni 50 jam, berdasarkan informasi tentang belatung dari bangkai babi. Pembunuhnya akhirnya ditangkap dan mengaku kejahatan. Menurut keterangannya, waktu yang berlalu sejak kematian dihitung adalah 46 jam. Dalam hal ini, estimasi PMI berhasil dan hampir tepat. [6]
Dalam hal ini entomologi forensik sangat membantu dalam penyelidikan forensik, namun perlu diketahui bahwa entomologi forensik saja tidak cukup dalam mengungkapkan beberapa kasus tertentu. Maka dari itu perlu ilmu lain seperti mikroba forensik, analisisi DNA forensik, bioteknologi, analisis kimia, dll yang mendukung dalam dunia forensik. ilmu forensik juga akan terus berkembang jika riset yang terkaitdengan ilmu forensik terus dilakukan.
- Evand, H., Supandi, A., Putri, M.K., Khatami, M.I., Kesuma, D.I. and Isfanda, I., 2022, October. Identifikasi Serangga Tanah Pada Proses Pembusukan Jasad (Entmologi Forensik). In Prosiding Seminar Nasional Biotik (Vol. 10, No. 2, pp. 176-179).
- S. Tz'u., B.E. Mc Knight 1981, The Washing Away of Wrongs, Center for Chinese Studies The University of Michigan, Pages 1-34
- Gunter, Michelle. Heineman, Colleen Pintozzi Dawn. 2005. Passing the Ohio Graduation Test in Science. American Book Company. ISBN 978-1-932410-94-5.Page.356
- Benecke M. 2001. "A brief history of forensic entomology". Forensic Sci. Int. 120 (1--2): 2--14. doi:10.1016/S0379-0738(01)00409-1. PMID 11457602.
- Klotzbach, H., Krettek, R., Bratzke, H., Pschel, K., Zehner, R. and Amendt, J., 2004. The history of forensic entomology in German-speaking countries. Forensic Science International, 144(2-3), pp.259-263.
- Pai, C.Y., Jien, M.C., Li, L.H., Cheng, Y.Y. and Yang, C.H., 2007. Application of forensic entomology to postmortem interval determination of a burned human corpse: a homicide case report from southern Taiwan. Journal of the Formosan Medical Association, 106(9), pp.792-798
Ditulis oleh Afdhal raihan -Mahasiswa Biologi, Universitas Andalas
Artikel ini dibuat sebagai tugas MK Biologi Forensik Dibawah Bimbingan Dr. Resti Rahayu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H