Mohon tunggu...
Afandri Adya
Afandri Adya Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Afandri Adya, penulis lepas yang juga aktif di dua organisasi nirlaba : SCALA Institute dan SCALA Foundation

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemikiran dan Kesederhanaan Ahmad Syafii Maarif

22 Desember 2017   15:36 Diperbarui: 27 Mei 2022   19:20 1296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski sering beraktivitas di Jakarta, namun Syafii tetap berdomisili di Yogyakarta. Kota gudeg ini sudah menjadi tempat tinggalnya sejak ia masih remaja. Di Yogyakarta, ia tinggal di Perumahan Nogotirto Elok II. Di kompleks ini tak ada yang tak mengenal dirinya. Mulai dari muazin hingga tukang sayur, semua bergaul rapat dengannya. Tak jarang Buya membeli makanan di angkringan, atau sekedar belanja sabun cuci di warung dekat kompleks. Warga-pun menyebutnya sebagai sosok yang sangat sederhana, sosok yang tak pernah memamerkan harta atau jabatan yang pernah diembannya. Di Mesjid Nogotirto, Buya sering memberikan masukan kepada para pengurus. Meski telah banyak makan asam garam kehidupan, namun ia tak pernah memaksakan kehendaknya. Ia menyerahkan segala keputusan berdasarkan hasil musyawarah pengurus.

Cerita kesederhanaan Buya lainnya datang dari Pemimpin Perusahaan Suara Muhammadiyah,Deni Asy'ari. Ketika itu Buya sedang menunggu antrian check-up rutin di RS PKU Muhammadiyah. Melihat Buya mengantri, Deni berinisiatif untuk menemaninya. Meski siap menemani Buya hingga antrian selesai, namun justru Buya yang berkeberatan.

Syafii malah meminta Deni untuk kembali ke kantor, tanpa harus sungkan dan repot menunggunya. Di RS PKU Muhammadiyah, beberapa kali karyawan rumah sakit hendak memberikan prioritas kepada dirinya, namun Buya selalu menolak. Ia menganggap hal itu akan menzalimi orang banyak. Buya memang orang yang tawadhu, tak mau diperlakukan secara istimewa apalagi sampai dikultuskan. Ini bertolak belakang dengan kebanyakan elit di negeri ini yang selalu mau diistimewakan, bahkan tanpa mempedulikan kepentingan orang banyak.

Kita boleh saja berbeda pemikiran dengan Buya Syafii, namun dalam hal kesederhanaan ia patut jadi teladan. Kesederhanaannya mengingatkan kita kepada tokoh-tokoh lawas seperti Bung Hatta, Mohammad Natsir, atau Haji Agus Salim (Lihat :7 Karakter Nyentrik Haji Agus Salim).

* * *

Membaca autobiografi Ahmad Syafii Maarif dalam karyanya : "Titik-titik Kisar di Perjalananku", cukup mengharukan. Banyak lika-liku hidupnya yang begitu memilukan. Ketika membacanya, mata saya sempat berkaca-kaca. Terharu! Bagaimana tidak, baru berusia satu setengah tahun, ia sudah ditinggal mati ibunya. Ibu yang potretnya tak pernah ia lihat, yang sering ia tangisi meski sudah di usia senja. Dalam keadaan piatu, Syafii kecil diasuh oleh etek (tante), kakak, serta ibu tirinya. Tumbuh pada masa revolusi fisik, Syafii tak sempat menuntaskan pendidikan dasarnya.

Meski begitu, ia berhasil melanjutkan pendidikan menengah ke Mualimin Muhammadiyah di Lintau, setelah sempat gagal di ujian masuk. Menurutnya, ia bisa masuk ke madrasah itu lantaran belas kasihan sebagai orang udik. Ketika di sekolah lanjutan atas (SLA), lagi-lagi Syafii menghadapi kendala. Ayahnya yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarga, meninggal sewaktu ia duduk di kelas V. Demi bertahan hidup, ia terpaksa tak menyelesaikan pendidikan SLA-nya, karena menerima tawaran konsul Muhammadiyah untuk mengajar di Lombok. Setelah satu tahun disana, ia kembali ke Jawa. Beruntung baginya bisa diterima di Universitas Cokroaminoto Surakarta, meski hanya mengantongi rapor kelas V.

Setelah berumah tangga, Syafii-pun tak putus dirundung duka. Di tengah segala keterbatasan hidup, anak pertamanya Salman yang belum berumur 20 bulan meninggal karena cacar. Namun beberapa bulan kemudian di tahun 1968, ia kembali dikaruniai seorang putra. Lagi-lagi putra keduanya itu dipanggil yang maha kuasa karena menderita radang selaput otak. Kehilangan anak untuk kedua kalinya sempat meluluhlantakkan hidupnya. Namun ia tahu kalau penderitaan adalah pakaiannya sehari-hari.

Meski batinnya terguncang, namun termuat juga keyakinan agama yang mendalam yang menjadi pegangan hidupnya. Di dalam kesedihan, ia kembali beroleh kebahagiaan. Pada tahun 1974, putranya yang ketiga lahir. Namanya Mohammad Hafiz, anak pamenan mato yang seolah menjadi oase bagi kedua orang tuanya. Setelah kelahiran Hafiz, kehidupan Syafii berangsur-angsur membaik. Ia berhasil meraih titel master dan mengambil pendidikan doktoral di Chicago University, jenjang pendidikan tertinggi yang tak pernah ia bayangkan akan direngkuh.

Namun lebih dari itu, di Amerika-lah cakrawala pemikirannya berubah. Yang kemudian mengantarkannya sebagai sosok humanis seperti sekarang ini. Sebelum ke negeri Paman Sam, pemikiran Syafii masih terpasung pada ide-ide Al-Maududi, Maryam Jameelah, serta tokoh-tokoh Ikhawanul Muslimin dan Masyumi. Bahkan ketika di Yogyakarta, diam-diam ia mendukung gerakan PRRI/Permesta serta Negara Islam Indonesia (NII). Pemikirannya mulai berubah ketika ia berkenalan dengan Fazlur Rahman, seorang tokoh pembaharu asal Pakistan yang juga menjadi pembimbingnya di Chicago. Dari dialah ia banyak menimba ilmu sejarah serta peradaban Islam. Bahkan lebih jauh ia menulis, Fazlur Rahman-lah yang telah mencuci otaknya tentang keislaman. Hingga akhirnya hasrat mendirikan NII-pun pelan-pelan terkikis dari pemikirannya.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun