Mohon tunggu...
Afandi Mansyur
Afandi Mansyur Mohon Tunggu... profesional -

Mencintai Indonesia denga Sabar dan Optimis. Pernah Kuliah di Unhas, UI, dan selalu bersemangat ingin menjadi pembelajar sahaja.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Presiden Mendadak

13 Juni 2014   23:37 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:51 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_311017" align="aligncenter" width="480" caption="Sumber : article.wn.com"][/caption]

Riwayat kepresidenan Indonesia bukanlah episode runtut dan sistematis. Tokoh yang datang dan gugur dalam menampuki jabatan tersebut, kerapkali hadir dalam sekejab dan dan mengejutkan untuk dipilih. Dia ditunjuk serta [pasrah] ditugaskan.

Jejak sejarah bangsa ini memang erat dengan warna dadakan dan keterkejutan. Sejak kita berjuang maupun ketika mengalami suasana kebatinan kemerdekaan. Perjuangan memang mengalir bak air begitupun perang dan pahlawan tumbuh dan gugur dengan suara menggebu-gebu “merdeka atau mati”, tapi [sebenarnya] tanpa sebuah skema perencanaan dan persiapan yang apik, rapi, serta pasti betul.

Kita berseru dengan menggebu-gebu sepanjang abad tentang kemerdekaan, larut dalam proses (peperangan dan perundingan) tapi tanpa sebuah titik kumandang deklarasi yang sahih. Kita hanya bergerak terus-menerus tapi masih was-was dengan klimaksnya. Kita terus menebak dan mereka serta berharap tidak ada misteri yang semakin berkepanjangan.

Beruntung ada kenekatan Jepang di Pearl Harbour, yang berujungtragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Jepang kalah dan menyerah kepada Amerika Serikat, dan kekuasaan Indonesia jadi abu-abu dan kosong. Dan kita mendadak menjadi tanah tak bertuan. Setelah berperang berabad-abad, momentum dan jawaban cita-cita kemerdekaan pun terbuka di depan mata.

Selanjutnya, baru kita bergerak dengan kelabakan dan sporadis menyiapkan prosesi, memilih hari kemerdekaan dan kemudian mencari serta menunjuk-nunjukpemimpin yang akan kita sebut dan perkenalkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Orang yang kita tugaskan dan banggakan untuk membaca suara kemerdekaan abadi bangsa Indonesia. Tidak hanya ke seluruh tumpah darah Indonesia, tapi juga ke seluruh jagat raya internasional.

Di detik-detik krusial, Indonesia akhirnya memilih Ir. Soekarno dan Mohammad Hatta. Tak ada kampanye sistematis, iklan bertubi-tubi, hingar bingar dukungan serta deklarasi bertahun-tahun. Yang ada adalah pinangan, bujukan tuntutan dan amanah agar keduanya menjadi Presiden dan Wapres Indonesia pertama. Dengan segalapenolakan dan argumentasi, mereka baru mengambil ujian dan pertaruhan tersebut.

Presiden Soeharto pun juga punya jalan cerita yang hampir seirama. Dalam sekejab dia bersinar, di tengah gegap gempita kekalutan aksi komunisme dan kecamuk drama Dewan Jenderal. Dia hadir dan eksis, menebar heroisme dengan beraksi gesit dan sistematis.Akhirnya Soeharto pun melenggang ke kursi kekuasaan bersama simpati dan harapan rakyat.

Presiden B.J.Habibie pun juga bernasib sama. Dia [mungkin] tak terbersit menjadi presiden atau sedikit-sedikit mempersiapkan tangga kepresidenannya tersebut dalam sunyi, namun tatkala Presiden Soeharto mendadak memutuskan mengundurkan diri pada tahun 1998, beliau tak punya pilihan. Dia pun ditunjuk dan pasrah ditugaskan. Sebagai Wapres Soeharto, B.J. Habibie didaulat konsitusi untuk melanjutkan estafet kepemimpinan Presiden RI.

Selepas Habibie, Indonesia kembali mengulang garis tangan sejarah kepresidenannya. Mendadak dalam sebuah kebingungan dan ketakutan perpecahan dan pertumpahan darah, akhirnya muncul nama K.H.Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebagai jawaban dan solusi. Tiba-tiba nama Gusdur dianggap sebagai perspektif terbaik, diantara sekian figur-figur reformis yang berkeringat dan [sebenarnya] sudah bersiap. Dia yang seorang ulama besar dan humoris kritis ulung tersebut, menjadi titik tengah kubu Habibie yang terdepak dan poros Megawati Soekarno Putri yang berada di atas angin.

Setelah Gusdur terjatuh dengan tragis, giliran Megawati Soekarno Putri yang melanjutkan sejarah kepresidenan Indonesia yang mendadak dan mengejutkan. Dia akhirnya dinobatkan menjadi Presiden RI melanjutkan periode kepemimpinan pasangannya tersebut. Megawati menjadi pilihan yang aman dan bijak, di masa-masa kebingungan politik dan transisi reformasi.

Sejarah kemudian mencatat Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) adalah Presiden Indonesia. Sejarah SBY tak berbeda jauh dengan jejak Soekarno, Soeharto, B.J.Habibie, K.H.Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarno Putri melenggang ke kursi kursi kekuasaan 01. Dia hadir seketika, dan begitu mempesona untuk dipilih dalam mengemban sebuah harapan bangsa yang ingin lebih baik.

Beliau bukan Megawati incumbent yang optimis mempertahankan kekuasaan, Wiranto yang sudah santer berpeluang sebagai presiden pasca jatuhnya orde baru, Amin Rais yang telah lama menggadang-gadang perlawanan terhadap Soeharto dan over confidence menjadi presiden, atau Hamzah Haz yang memang sudah intim dengan kekuasaan dan merupakan tokoh partai Islam terkemuka dengan sejarah panjang di akar rumput.

SBY adalah Jenderal malu-malu kucing tapi mau menjadi presiden. Keberanian serdadu untuk melenggang menuju puncak kekuasaan RI kerap redam oleh kesantunan dan keragu-raguannya. Dia menebar simpati dan pesona, dan masyarakat tersihir dengan langkah-langkah kemuliaan kepribadiannya. Pada satu titik, sedikit ‘drama’ tangisan dan pencitraan penzaliman pun mengantarnya menjadi Presiden RI ke-6.

Kini kita punya salah satu calon presiden dengan cerita relatif sama dengan pendahulu-pendahulunya. Dia datang seketika dengan temaram pencitraan kesederhanan, kejujuran, dan kerja keras. Beliau engejutkan dan menghipnotis masyarakat Indonesia akan kemampuan dan prestasinya di level birokrasi pemerintahan. Yang bersangkutan senantiasa mengesankan diri sebagai pemimpin ‘turun gunung’ untuk merakyat menerima, mendengar, dan menjawab masalah masyarakat. Beliau bukan elit darah biru yang punya trah pejuang ataupun pejabat di negeri ini, dia ditunjuk dan ditugaskan mengemban optimisme harapan masyarakat Indonesia.

Bila nantinya beliau terpilih, tak perlu heran karena memang begitulah sequel misteri Kepresidenan Indonesia. Apabila beliau terjungkal dalam kontestasi Pilpres ini, maka itu berarti sejarah sedang bergeser mencari equilibrium [kedaulatan dan kesejahteraan] terbaiknya.

Salam Perkawanan Selalu

Afandi Fatriah Mansyur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun