Mohon tunggu...
Afandi Mansyur
Afandi Mansyur Mohon Tunggu... profesional -

Mencintai Indonesia denga Sabar dan Optimis. Pernah Kuliah di Unhas, UI, dan selalu bersemangat ingin menjadi pembelajar sahaja.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Tony Fernandes dan Wajah Baru Seorang Akuntan

1 Januari 2015   01:30 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:04 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_344229" align="aligncenter" width="336" caption="Tony Fernandes memberikan keterangan pers terkait tragedi Air Asia Minggu 28 Desember 2014 (Sumber Foto : article.wn.com)"][/caption]

Sosoknya dingin dan misterius. Dia tak menjajakan senyum yang meriah ataupun canda yang melegakan. Mimiknya sungguh gersang dan tajam. Tapi begitulah setiap ekspresi, memang tak bisa diharapkan berceritera blak-blakan dengan seketika.

Di tengah jumpa pers media massa kecelakaan pesawat Air Asia QZ8501, Minggu 28 Desember 2014, sang bos besar Air Asia Tony Fernandes hadir dengan guratan kekalutan dan kegalauan mendalam. Wajah sang CEO kosong, tatapannya hening dan rapuh. Nasib naas pesawat maskapai Air Asia QZ8501 di Laut Jawa, membuat sang miliuner Malaysia tersebut tenggelam dalam duka dan kekecewaan.

Gegap gempita pilu dan tangis berkelindan dengan harapan dan doa keluarga korban pesawat, membuatnya enggan berdiam diri di kantor pusat Air Asia di Sepang, Malaysia. Dia memutuskan dengan cepat, bergegas dengan segera, bertolak ke Surabaya begitu kabar pesawat hilang menuju keniscayaan.

Tony tidak memilih bersembunyi padahal opsi tersebut terbuka luas, ataupun cukup mengambil jalan pintas sederhana memilih mengutus Presiden Direktur Air Asia Indonesia Sunu Widyatmoko dalam acara konferensi pers tersebut, termasuk menyatakan pernyataan resmi perseroan.

Dia mengambil langkah lain, dia memutuskan menyusuri jejak-jejak tragedi tersebut secara seksama sembari menyatakan simpati perjuangan dan komimen pertanggungjawaban. Tony hadir untuk memberi warna dan makna, sekaligus menebar ceritera dan inspirasi.

Dia bertatap muka dan bersalaman dengan para keluarga korban dengan penuh ketulusan, memberikan dukungan moril, menebar suasana solidaritas, mendorong penemuan bangkai pesawat dan korban jiwa, menyampaikan informasi terbaru tentang pencarian pesawat di media sosial, dan paling penting adalah menyulut optimisme cinta kasih.

Pertarungan emosionalitas Tony tak semata mengumpulkan pundi-pundi uang dan dinasti reputasi korporasi, tapi juga mewujudkan mimpi untuk berbagi dan bermanfaat; yang tergambar jelas dari motto perusahaan “Now, every one can fly”. Konon, spirit menghadirkan pesawat berbiaya murah adalah buah sakit hati karena tak mampu membayar tiket pulang dari London ke Malaysia yang mahal ketika sang ibunda jatuh sakit.

Tony menggambarkan tipikal seorang akuntan tulen; serius, kaku tapi blak-blakan. Dia juga memiliki analisa dan insting tajam, laiknya seorang investigator fraud. Bos Air Asia ini juga detil terhadap sesuatu dan memiliki tindak-tanduk kedisiplinan ketat ala seorang akuntan. Wajahnya pun menyimpan kerahasian berlimpah, sebagaimana garis tangan akuntan pada umumnya.

Tapi dia memiliki sisi berbeda dari karikatural akuntan kebanyakan yang sekedar berada di belakang meja untuk mengumpulkan data ataupun informasi kemudian berharap semua selesai dengan sebuah laporan, telahaan dan rekomendasi. Akuntan yang menghimpun energi sebesar-besarnya untuk mengejar tenggat waktu pelaporan, tapi kadang alpa mendorong dan menuntut kebermanfaatan laporan tersebut bagi masyarakat luas. Akuntan yang kerap lebih menyukai ekslusifitas, ketimbang memprioritaskan empati dan kemaslahatan.

Tony bukan akuntan pada umumnya yang kerap memilih zona tenang dengan centang perenang perjuangan administratif dan birokratis, tanpa riak apatahlagi badai konflik dan percaturan resiko karena tidak dalam posisi ingin mengambil keputusan ataupun memikul ranah kepemimpinan yang membuat mereka harus bertanggungjawab dan menangguk resiko.

Tony memilih berada di depan, menentukan pilihan, menetapkan sikap, serta memutuskan dan memperjuangkan pilihannya. Tony tidak ingin terjebak sebagai orang di balik layar, tapi individu yang senantiasa gagah berani mengambil keputusan dan kemudian bersedia menanggung resiko atas setiap pilihan tersebut. Dia tak sungkan bermesraan dengan konflik ataupun bercinta dengan kerumitan dan khawatiran sejadi-jadinya.

Tren bisnis global memimpikan akuntan semakin banyak hadir dan berperan dalam mengambil keputusan bisnis untuk pembangunan ekonomi yang berintegritas dan keputusan di lingkup pemerintahan untuk melempangkan jalan kesejahteraan masyarakat yang berdaya saing. Harapan tersebut dilatari karena potensi kompetensi akuntan yang besar serta semangat integritas yang menjulang.

Adakah akuntan ingin mengambil sejarah tersebut, atau zona nyaman telah membuat Kita enggan untuk mengambil jalan harapan tersebut sebagaimana hakikat keberadaan keprofesian. Akuntan dan Tony, sungguh masih begitu jauh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun