Mohon tunggu...
Yusuf Afandi
Yusuf Afandi Mohon Tunggu... Dosen - Seorang yang senang mengutak atik media

Traveller yang suka naik gunung, turun ke lembah mencari air terjun dan berakhir di pulau untuk menikmati indahnya matahari di senja hari....instagram.com/yusufafandi18

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Welcome to The Jungle", Dunia Penuh Kemunafikan

21 Maret 2018   11:02 Diperbarui: 21 Maret 2018   11:24 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
perspektifofficial.com

Intimidasi karena perbedaan pendapat, demonstrasi dengan kekerasaan, konflik SARA, dan berbagai sikap intoleran, intimidatif, dan provokatif adalah bagian yang tidak terpisahkan dari cerita-cerita yang termaktub dalam perjalanan kehidupan bernegara Indonesia Jaman Now. Seolah sikap keramahan, saling menghormati, dan tenggang rasa yang dulu sempat menjadi image masyarakat Indonesia, telah tergerus seiring pergerakan zaman ke arah yang tidak  jelas ini. Globalisasi di berbagai sisi kehidupan masyarakat dunia tidak mampu menyentuh kemajuan berfikir masyarakat, yang semakin lama malah menuju ketitik nadir peradaban yang eksklusif dan anti perbedaan.

Perbedaan adalah satu hal yang dilarang, bahkan mampu menimbulkan konflik berkepanjangan, aksi kekerasan yang akhirnya memperkosa nilai-nilai luhur Pancasila yang dulu telah diperjuangkan para nenek moyang bangsa ini. Perbedaan menjadi tabu, yang tidak boleh berkembang dalam kehidupan bermasyarakat, karena perbedaan dalam hal apapun akan menjadi api  ang mampu membakar hutan keberagaman dan multi culturalyang telah ada beribu-ribu tahun tumbuh mekar di dalam gugusan kehidupan multi etnis masyarakat Indonesia.

Sikap toleransi dan saling menghargai masyarakat nusantara di rusak oleh berbagai sikap kebinatangan yang semakin tidak dapat dibendung. Berbagai kepentingan yang di kedepankan seolah menjadi raja-raja yang menguasai setiap sisi kehidupan bermasyarakat di Negara yang katanya negeri elok, ramah, dan gemah ripah lok jinawi.

Bangkitnya Isu SARA, Sebagai Awal Lahirnya Kehancuran Peradaban

Agama memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia. Kelemahan manusia dalam berbagai sisi kehidupannya membutuhkan suatu penguat yang akan menciptakan suatu harmoni dan nyanyian indah dalam mengiringi kisah suka dan duka kehidupan. Agama adalah suatu ajaran yang menuntut penganutnya untuk patuh dan hidup dalam keteraturan. 

Kedamaian, cinta, kasih sayang adalah core agama yang mesti dikedepankan dalam proses pengamalan agama dan keberagamaan. Ketika prinsip universalitas itu di kedepankan, bentrokan berlandaskan SARA dan isu-isu lainnya pun, tidak akan mampu membenturkan nilai-nilai yang berkembang dalam kehidupan masyarakat.

Tidak ada satu agama pun, memerintahkan penganutnya untuk menyebar rasa kebencian, kekerasan, ketakutan dan tindakan-tindakan anarkis dalam mengaplikasikan doktrin-doktrin keagamaan. Bahkan, Agama hadir sebagai angin segar yang memberikan kesejukan di tengah hiruk pikuk kehidupan yang tidak memiliki aturan dan wadi / oase di tengah lautan gurun pasir yang  tidak bertuan.

Masyarakat yang beragama seharusnya mampu menciptakan suatu harmonisasi nilai doktrin kegamaan dengan kebudayaan setempat, sehingga terciptalah suatu bangunan yang mampu melindungi keberagaman yang tidak dapat terelakkan.

Mitos Kebenaran Tunggal: Agama Atau Produk Agama

Ajaran agama apapun, akan menyatakan kebenaran doktrin dan ajaran-ajaran agama yang dijelaskan oleh sumber utama hukum dalam agama tersebut. Kebenaran yang tidak bisa diperdebatkan (undebatable) dan absolut. Hal-hal yang bersifat doktin ketuhanan, kenabian, dan hal-hal yang metafisika (metaphysic) (hal-hal yang ghaib atau tidak Nampak) adalah bagian dari keabsolutan kebenaran yang tidak bias diutak-atik benar salahnya.

Kita sepakat bahwa ada beberapa hal dalam permasalahan agama yang tidak perlu dipertentangkan dan bongkar pasang dengan alasan ilmiah atau berbagai alasan apapun. Akan tetapi, ada beberapa hal yang bias kita dudukkan bersama dan mencapai suatu kata mufakat bahwa ada suatu bagian dari agama yang hidup dan berkembang dalam budaya masyarakat.

Pemakaian sarung yang di identikkan sebagai pakaian santri di pesantren-pesantren, pemakaian peci hitam sebagai symbol kegamaan dan kenegaraan, tradisi mudik masyarakat Indonesia ketika hari raya Iedul Fitri, atau pakaian baju kurung bagi muslimah di Sumatera Barat adalah beberapa contoh dari beragamnya praktek keberagamaan masyarakat Indonesia. Praktek keberagamaan ini, adalah salah satu bentuk kekayaan intelektual masyarakat dalam mengamalkan nilai-nilai keagamaan di Indonesia.

Permasalahannya adalah ketidakmapuan masyarakat membedakan ajaran agama dan budaya yang berkembang dalam kehidupan beragama atau ada upaya pihak-pihak yang memiliki kepentingan untuk mengaburkan dua hal yang berbeda ini.

Ratu Adil yang di Rindukan..

Kepentingan adalah Tuhan jaman now yang dipuja-puji dan disembah oleh mayoritas masyarakat kontemporer pragmatis. Apapun kegiatan yang dilaksanakan ataupun kesempatan yang ada, dimanfaatkan untuk memuluskan kepentingan yang memenuhi otak manusia-manusia unidealis ini.

Bahkan, agama yang bersifat holistic pun tidak terlepas dari objek penistaan dari berbagai kepentingan yang ingin diwujud. Posisi terhormat dalam masyarakat, mendapatkan harta dan kedudukan adalah diantara bentuk-bentuk kepentingan yang menjadi impian budak-budak kepentingan ini.

Miris, rasanya melihat agama yang harusnya bersih, putih, dan suci di nodai dengan noda-noda hitam para pemburu nafsu kepentingan. Politikus yang harusnya menjadi pembela kepentingan masyarakat, berubah menjadi serigala yang menerkam segala sesuatu yang ada di depannya. Tokoh Ulama yang harusnya hadir sebagai pendamai dan agen yang membawa rasa cinta dan kedamaian, berubah menjadi domba berbulu musang yang mencari-cari kesempatang yang tepat untuk menerkam mangsanya dan mendapatkan kesenangan individual.

Ratu Adil adalah harapan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan ini. Semoga kehadirannya tidak perlu menunggu waktu puluhan hingga ratusan tahun lagi, karena sudah lelah rasanyan masyarakat menunggu kehadiran sosok pembawa pencerahan dan jawaban dari segala kegundahan yang ada.

Wallahu `Alam  Bisshawab....  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun