Mohon tunggu...
Yusuf Afandi
Yusuf Afandi Mohon Tunggu... Dosen - Seorang yang senang mengutak atik media

Traveller yang suka naik gunung, turun ke lembah mencari air terjun dan berakhir di pulau untuk menikmati indahnya matahari di senja hari....instagram.com/yusufafandi18

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Hilangnya Spiritualitas dalam Ibadah

22 Agustus 2017   13:30 Diperbarui: 23 Agustus 2017   11:18 2085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : Tribunnnews.com

Jalaluddin Rumi pernah berkata"Sungguh kasihan orang yang sampai kelaut dan ia merasa puas mendapatkan sedikit botol air, sementara mutiara dan ratusan benda-benda berharga dalam laut bisa dikumpulkan" . Ibadah haji merupakan lautan yang penuh dengan nikmat dari Allah, sungguh merugi rasanya seseorang hanya puas dengan embel-embel duniawi yang tidak berharga ini membutakan hatinya untuk mendapatkan hal yang lebih besar dan mulia dari Allah SWT.

Ibadah haji merupakan ritual yang diwajibkan bagi seorang muslim ketika telah dianggap memiliki kemampuan (istitho`ah) untuk melaksanakannya. Baik kemampuan dalam segi material maupun spiritual. Ibadah Haji menuntut seseorang untuk mampu menyeimbangkan nilai spiritual dan material secara bersamaan. Pelaksanakan ibadah haji yang terdiri dalam beberapa rukun, mesti dilaksanakan dengan kemampuan fisik yang bagus. Tujuan hakiki dari pelaksanaan haji tidak lebih adalah mengharap ridha Ilahi (mabrur) yang diyakini sebagai sarana penghapusan dosa dan perubahan diri kearah yang lebih agamis dan spiritualis.

Ulama Fiqh mendefenisikan haji sebagai menyegaja untuk mendatangi ka`bah untuk mengadakan ritual/amalan-amalan tertentu. Hal yang mesti diperhatikan dalam hal ini adalah bahwa ibadah haji merupakan sebuah perjalanan spiritual yang membutuhkan persiapan ruhani dan mental yang kuat, karena haji  bukanlah perjalanan biasa ke Ka`bah, Di dalamnya mengandung pesan-pesan dan pemaknaan-pemaknaan yang bersifat ilahiyyah yang mestinya dapat dirasakan oleh setiap orang yang berhaji.

Secara historis haji memiliki makna yang mendalam dalam pengorbanan kemanusiaan Nabi Ibrahim dalam memperjuangkan keyakinannya dan bagi Rasululullah SAW, Haji merupakan puncak keberhasilan dakwah islam yang telah ia perjuangkan seumur hidupnya. Haji sarat dengan nilai-nilai perjuangan, pengorbanan, dan pengungkapan atas rasa syukur dan kecintaan yang mendalam kepada Allah SWT.

Fenomena Haji Muslim Indonesia

Dalam pandangan Christian Snouck Hurgronje (1997) dan Martin Van Bruinessen (1997), dari hasil kajian mereka, masyarakat muslim melakukan ritual haji ke Mekkah disebabkan beberapa alasan, antara lain: untuk memperoleh kehormatan, menuntut ilmu, rasa kecewa dalam urusan dunia dan kejenuhan hidup sehari-hari yang telah dirasakan. Pemahaman ini dirasa sangat materialis dan sekuler karena bertentangan dengan nilai-nilai spiritualisme keislaman yang bermuara pada penghambaan diri manusia kepada Tuhan dan menjauhkan diri dari hal-hal yang bersifat duniawi dan material.

Akan tetapi, pada kenyataannya hal-hal yang disampaikan oleh C. Snouck Hurgronje mulai dapat dilihat dengan jelas dalam kehidupan beragama dewasa ini. Lahirnya sebuah generasi baru kelas menengah yang masih gamblang dalam memahami nilai-nilai keislaman yang masih berkutat dalam pemahaman tekstual dan normatif tanpa mengindahkan aspek-aspek lain yang lebih komprehensif dalam memaknai Islam dan ritual-ritual keislaman.

Haji beralih fungsi dari sarana penghambaan seorang manusia kepada Tuhannya menjadi sarana pencitraan yang berujung pada pembentukan citra religious bagi orang yang telah melaksanakannya. Gelar haji dianggap sebagai bentuk ketaatan dan puncak kereligiusan seseorang dan dapat menarik perhatian masyarakat untuk memilih mereka agar menjadi pemimpin atau mengisi pos jabatan-jabatan tertentu.

Haji juga menjadi tujuan bagi pelajar ilmu agama untuk mendalami ajaran-ajaran keislaman, berguru dengan para syaikh yang mengajar di tonggak-tonggak Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.  

Disisi lain, tuntutan yang bersifat duniawi, lelah dengan permasalahan yang menghimpit, dan kegagalan yang menimpa dijadikan alasan lain untuk melaksanakan ibadah Haji bagi sebagian muslim yang borjouis. Tentu hal seperti ini tidaklah menjadi masalah yang mendasari seseorang untuk melaksanakan haji, akan tetapi hal ini berimplikasi pada pendangkalan makna dari ibadah haji itu sendiri yang amat luhur dan mendalam .     

Bahkan haji dikomersialisasikan dan dikomodifikasikan dalam bentuk-bentuk pemberian fasilitas bintang lima dan pemasarannya dengan menjadikan ustadz/ustadzah popular sebagai duta dan juru pemasaran, dan sudah barang tentu ditambah dengan iming-iming surga dan penghapusan dosa dari pemahaman-pemahaman dangkal dari al-Quran dan Sunnah menjadi bumbu pelengkap dalam industri religiutas ini yang dibandrol dengan harga yang sangat tinggi.

Fenomena haji seperti ini memberikan pengaruh dalam transformasi perilaku dalam beragama. Sejatinya agama merupakan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living values) yang menjadi pondasi dan tuntunan bagi manusia dalam kehidupannya dengan menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan moral yang menghasilkan perbuatan-perbuatan dan akhlak-akhlak yang baik. Dan yang paling berbahaya adalah pengaburan makna-makna spiritualitas dan ilahiyah dari Haji dengan legitimasi budaya komersial dan popular disempurnakan pemahaman yang sempit terhadap dalil-dalil al-Quran dan Sunnah.  

Pemaknaan dalam Ibadah Haji

Joachim Watch (1958) mengemukakan beberapa kriteria mengenai pengalaman keagamaan. Pertama, pengalaman keagaaman merupakan suatu respon terhadap apa yang dialami sebagai realitas Ultim (the Ultime Reality) yang maksudnya adalah sesuatu yang mengesankan dan menantang kita. Haji seharusnya memberikan pengalaman spiritual yang berkesan mendalam bagi yang melaksanakannya Kedua, pengalaman keagaaman itu harus dianggap sebagai suatu respon yang menyeluruh terhadap realitas Ultim, yaitu pribadi yang utuh yang melibatkan jiwa, emosi, dan kehendak sekaligus. Ketiga, pengalaman keagaaman menghendaki intensitas, yaitu suatu pengalaman yang yang sangat kuat dan komperhensif dan mendalam.Keempat, pengalaman keagaaman sejati selalu berujung pada tindakan. Ia melibatkan imperative, sumber motivasi, dan tindakan yang kuat.   

Pemaknaan simbol pemakaian ihram yang dimisalkan seperti praktek kesederhanaan/eligetarian,pemisahan dengan kehidupan duniawi dan konsep persamaan manusia di mata Tuhan. Sa`i diangggap sebagai manifestasi perjuangan siti hawa ketika berlari dari bukit shafa menuju bukit marwa mencari air untuk anaknya Ismail AS. Dan Arafah sebagai gambaran dahsyatnya Padang Mahsyar tempat berkumpulnya seluruh umat manusia dari Adam AS hingga manusia akhir zaman pada hari kiamat.

Pengalaman keagamaan yang dikehendaki dalam pelaksanaan haji adalah bagaimana seorang yang berhaji dapat memaknai perjuangan nabi Ibrahim dan nabi Ismail dalam menegakkan dasar-dasar keyakinan monoteisme/tauhid  bagi umat manusia.Dan juga, Haji merupakan bentuk puncak rasa syukur Rasulullah dan para sahabat waktu itu atas keberhasilan umat islam dalam memperjuangkan Islam setelah 23 tahun yang berat. Akan tetapi, yang paling fundamental dalam pelaksanaan haji dan ibadah-ibadah lainnya adalah penghambaan diri manusia kepada Tuhan tanpa balasan. Dan pengalaman-pengalaman ini akan membentuk seorang pribadi muslim yang ikhlas, berakhlak mulia dan peduli dengan lingkungan sekitar.

Oleh karena itu sudah semestinyalah kita mengembalikan nilai-nilai spiritualis keislaman kita kembalikan kepada tempatnya, dan menghilangkan embel-embel keduniawian dalam setiap peribadatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun