Mohon tunggu...
Aqiella Fadia Rizqi
Aqiella Fadia Rizqi Mohon Tunggu... Freelancer - Imperfect Zero Waste Fighter

Bumi, yang kuat ya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Ibu, Aku Tidak Pernah Membencimu, Aku Benci Aku

26 Mei 2023   23:32 Diperbarui: 26 Mei 2023   23:36 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kalau Bapak, ya, ada sedikit. Sejujurnya lebih ke arah kecewa berat yang buat aku agak sedikit benci Bapak. Tapi jika dengar orang lain menggunjingi Bapak, aku tidak terima! Bahkan meski sebenarnya ghibahan mereka adalah fakta.

Sebenarnya bingung mau mulai dari mana. Aku terlalu overthinking atas pendapat orang. But, Let me just share my story. Mungkin mulai dari pertanyaan sederhana (dan akan mengalir dengan sendirinya)

Profilku? Profil keluargaku? Aku sulung dari dua bersaudara, my big brother itu adikku. Usia kami beda 17 bulan. Kadang aku sering mempertanyaan mengapa dia berpostur paling tinggi di antara kami sekeluarga. "Jangan-jangan kamu bukan anak kandung(keluarga ini) ya, dek" gurauku sesekali.

Tapi hanya sisi fisik itu(tinggi) saja yang mencolok beda. Selebihnya, face kami (kata beberapa teman yang kenal kami) "gak mbuwak" atau dalam bahasa Jawa tidak ada yang beda, hidung pesek lebar, bibir tebal, rambut kaku, muka berminyak. Untuk sisi kesehatan, adik menuruni penyakit asma ibu. Sempat ada masanya dia jadi laki-laki lemah. wkwk

Sedangkan aku agak mirip ke bapak daya tahan tubuhnya. Cukup kuat. Tapi secara sifat, adikku plek ketiplek bapak junior. Cuek, kurang fleksibel bergaul, anti-sosial. 180 derajat beda denganku yang supel dan gampang akrab dengan hampir segala tipe-usia orang.

Bapak Ibu mungkin menikah di tahun 1999. Entahlah, tidak ada anniversary pernikahan di keluarga kami. Hingga rumah tangga ini gonjang ganjing di tahun 2017, Kami tidak pernah punya foto keluarga berempat! Bahkan sekedar swafoto saja tidak ada.

Cukup jelas bukan, level kehangatan di keluarga ini

Foto bersama memang hal sepele. Komunikasi yang tidak terbangun dengan baik adalah bom waktu bagi keutuhan kami. Dominasi bapak yang tidak ada penyeimbangnya menjadikan beliau akhirnya menyerah atas keadaan. Sempat sewaktu aku masih sekolah, SMP/SMA lupa tepatnya, perpisahan orang tuaku adalah salah satu to do list bapak ketika aku dan adik mentas atau selesai dengan tanggung jawab akademis kami.

Waktu itu ya, aku tidak ada bayangan saja. ~Santai~ 

Sejujurnya aku terima alasan bapak memilih tidak hidup sampai tua dengan ibu. 1-karena kurang nyambung komunikasinya. 2-bapak gak pernah akrab dengan keluarga ibu >>,,,<< (ngakak kocak)

Kami tinggal di rumah masa kecil ibu. Dahulu kakek pernah berwasiat, 6 anaknya(which is tante-om ku) boleh merantau, bahkan sangat disarankan hidup mandiri bersama pasangannya. Kecuali ibu yang harus tetap stay tinggal di rumah itu. Alasannya sih karena sisi kesehatan ibu paling lemah dari semua saudara-i. 

Eh, pas dapat jodoh ternyata suami ibu tidak cocok dengan mertuanya. So, jadilah rumah itu 'dibagi' teritorinya antara ibu-bapak di sisi utara, sisi selatan nenek-buyut-keluarga om.

Rumah nenek renovasi dan ganti cat berkali-kali. Rumah ibu gitu-gitu aja selama bapak ibu bersama. Kata bapak "bapak gak peduli rumah orang-orang dibagusin, anak dikesampingin. Bapak mah milih uangnya buat gizi kalian, pendidikan kalian"  padahal mah kalo sekarang-sekarang ini ngobrol, "makanya bapak gak pernah mau renovasi rumah itu, karena gak selamanya bapak di sana"

Sumber : Dokumen Pribadi
Sumber : Dokumen Pribadi

Mereka Resmi Berpisah 29 Agustus 2018

Lucunya esok hari adalah ulang tahun ibu. Apakah ini jadi hadiah terindah? Tidak juga ah. Jika ada kamera yang menyorot ibu di waktu itu, tidak akan seperti ibu-ibu viral di tiktok yang bahagia atas perceraian.

Tahun tersebut adik sudah lulus SMK. Aku tahun ketiga kuliah. Tapi 'drama'nya terjadi sejak Januari 2017. Aku harus menyimpan rapat rahasia bapak dari semua orang. Nyatanya ketika perceraian itu sudah direncanakan, kalimat ~Santai~ tadi tiba-tiba lenyap dari kamus kehidupanku. "Memang kamu sudah harus belajar memikul tanggung jawab besar sebagai anak pertama problem solving (yang kutangkap dari nasehat bapak artinya TETAP DIAM)"

Cukup banyak lah scene ala sinetron Indosiar sebelum mencapai tahap ketuk palu. Kusimpan detailnya saat aku sudah berdamai.

Komunikasi, Program Studi Kuliahku, Sekaligus Alasan Utama Perpisahan Ortuku

Bukan niat sok pintar, sok intelek atau semacamnya. Nyatanya memang tidak pernah ada inisiatif baik dalam memulai atau bahkan merespon obrolan antara kami di keluarga. Kayak, pengen ngobrol, curhat sama ibu. Tapi pemilihan kalimat kurang tepat. Obrolannya gak bisa panjang~ngalir laiknya sesi curhat sama teman. Stuck! Contoh : Aku pernah cerita dekat dengan orang di tempat KKN. Respon ibu "Cieee" Udah. Cie apa kek. Jadi kan selesai, atau paling gak alihin topik "tapi pak Dukuh tempatku KKN besok mau mantu lho buk" semacamnya. Kurang bisa eksplor.

Bapak sendiri jomplang kalo dibanding ibu. Bahkan setelah aku belajar, bapak itu ahli retorika. Argumentatif cenderung sulit dibantah. Ibarat bapak punya 'bank' kalimat sanggahan untuk argumen yang sedang dipertahankan. Sedikit manipulatif persuasif juga, lewat doktrin/kalimat nasehat yang terus diulang sejak kami kecil. Menanamkan si om A koruptor, tante B tukang fitnah, dan sebagainya.

Semakin Ibu Merasa Bersalah. Semakin Besar Penyesalanku

Salah satu kultur di keluarga ibu adalah mengenyam pendidikan Pesantren sejak SMP. Jadi mulai usia 11 tahun aku sudah terbiasa jauh dari orang tua. Dilalahnya tadi, komunikasi jarang. Mungkin dirasa belum terlalu butuh atau bagaimana, asal tahu semua kegiatan kujalani dengan baik, baca laporan akhir dan konseling tiap UTS-UAS, ibu sudah merasa cukup. Tak terasa sampai aku kuliah, pegang gawai sendiri, komunikasi itu tidak pernah intens.

Maaaf sekali, tapi jujur, agak sulit memperpanjang dialog saat telpon dengan ibu. Gak ada topik!

Telpon dengan bapak, kebanyakan beliau cerita dan nasehatin, kalau merasa yang ingin disampaikan cukup. Ya sudah, selesai.

SERIUS AKU GAK PAPA. Aku gak papa alur komunikasinya masih begini.

Tapi cukup dong, nyalahin ibu. "Ibu berdoa semoga anak-anaknya selalu bahagia walaupun ibu gak bisa bahagiain" Awal-awal kalimat ini muncul, aku selalu coba jelaskan gak perlu ada yang disesalin. Setelah ditutup telponnya aku jadi overthinking ke mana-mana. 

Sampe bertahun-tahun kalimat semacam itu masih muncul, aku malah jadi ngebatu. Gak mau respon lagi. Gak bakal balas chatnya. Dan dalam hati misuh-misuhi diriku!!

Hei, kamu! kenapa sih kamu lahir! 

Bapak selalu bilang, "pernikahan ini bapak pertahankan karena ada kamu dan adik yang butuh sosok bapak-ibu, sosok orangtua. Kalau ikutin ego sendiri, tanpa berpikir jauh, mungkin bapak-ibu sudah pisah sejak 2003"

kenapa 2003 aku gak menghilang aja dari bumi ini!

Bapak, Ibu, kalian sudah bertahan sejauh ini dengan luka masing-masing. Terima kasih.

BISA GAK YA KITA MOVE ON DALAM HIDUP KITA, WALAUPUN PADA AKHIRNYA GAK SAMA-SAMA. TAPI KITA HARUS SEPAKAT MAJU. DARI TEMPAT KITA MASING-MASING. TANPA BERLARUT-LARUT SAMA RASA BERSALAH YANG UDAH GAK PERLU SEBENARNYA. BASI! AKU BOSAN KELUAR MASUK RUANG PSIKOLOG TANPA ADA SETITIK PUN PERUBAHAN. KARENA HARUSNYA YANG DATANG KONSUL PSIKOLOG ITU KITA SEMUA!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun