Jujur aku mengalaminya juga. Kekerasan di masa kecil.
Bedanya, tidak tampak bekas apapun di diriku karena kekerasan verbal yang biasa aku terima. Lani? Bahkan setelah dewasa pun seluruh punggungnya  tetap berhiaskan bekas luka sabetan -semacam-cambuk yang diberikan ayahnya di masa kecil.Â
Ibu, adik, dan bibinya tahu. Tapi mereka tidak berdaya. Bagi Lani mereka semua lebih takut 'lapar' daripada menyelamatkan dirinya. Sehingga yang mereka lakukan hanyalah berdoa. Dan ya, Lani tetap kesakitan -hingga entah ia yang berhasil kabur duluan atau karena ayahnya yang sudah meninggal. Inilah sebabnya Lani hidup sendiri dengan perasaan amat membenci keluarganya.
Kai : "Tak bisakah kau memaafkannya?"
Lani : "Dia tidak meminta maaf"
"Permintaan maaf tidak perlu diminta. Itu bertujuan membebaskanmu, bukan orang yang menyakitimu"
Di sini Kai dan Lani memiliki pandangan berseberangan akan 'kebebasan'. Ruang fana tanpa kehadiran keluarga yang sangat kau benci, itulah kebebasan Lani. Â Padahal ia sedang dikurung oleh amarah dan benci yang tanpa ia sadari merusak dirinya sendiri.
Bagiku pribadi, sangat mungkin kita menjadi seorang Lani yang membantu Kai untuk teman-teman kita. Membimbing mereka menyelesaikan 'luka'nya. Tapi entah sadar atau tidak, Lani bahkan tidak 'selesai' dengan lukanya sendiri.
Mungkinkah kita juga?
Sepertinya aku sedang merasa demikian.
Aku pergi ke psikolog satu kali. Entah denial atau bagaimana. Seperti apapun kondisinya,
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!