Simpati : menggambarkan perasaan belas kasih dan sayang atas kejadian yang menimpa seseorang. Empati : dapat menempatkan diri pada posisi orang tersebut dan berbagi secara langsung kesedihan mereka. (Jurnas.com)
Dua kata yang aku dapatkan definisinya di bangku Sekolah Dasar. Yang mana kata bu guru Bahasa Indonesiaku, sering dirasakan oleh kita (baca : orang Indonesia). Ketika bertemu orang menuntun motor mogok, misal, meski tidak dikenal, kita dengan ramah menegur "kenapa motornya mbak/mas/pak/buk/dst?". Ketika sudah tau, segera mencarikan bensin atau tempat tambal ban terdekat. Tergantung masalah. Juga tergantung tingkat kesibukan Kita(calon penolong) tentunya.Â
Maksudnya, kalau misal dalam perjalanan ke kampus/kantor dengan jarak yang masih lumayan, sisa waktu tinggal beberapa menit saja. Mungkin sedikit orang yang akan bersimpati dan melakukan hal tadi. Atau malahan, saking terburu-burunya, kita tidak menyadari ada orang yang sedang menuntun motornya.
Namanya juga keburu-buru. Panik. Wajar sih
Tapi beda lagi kalau yang baru-baru ini aku alami.Â
Di semester yang menginjak tua ini (baca : semester genap ketiga), ada seorang kawanku yang terpaksa menunda kuliahnya karena masalah finansial. Masalah ini 11  12 denganku. Tapi Alhamdulillah aku tidak perlu mengambil cuti karena dibatas akhir hari pembayaran, kakak-kakak sepupuku mau patungan untuk kubayarkan uang kuliah dahulu, dan orangtuaku juga lega meski harus terbebani karena harus segera melunasi hutang ke keponakan-keponakannya. Yang penting anaknya tidak putus pendidikan di tengah jalan kata mereka ;(
Dalam beberapa hari kebelakang itu, ponselku rusak. Aku tidak memiliki akses dan informasi terkait persiapan kuliah dan sulit komunikasi dengan semua orang. Singkat cerita, setelah dapat pinjaman(lagi) hp, aku baru tau kabar kawanku tadi. Dia hanya memberitahu beberapa teman kalau dia ambil cuti. Tanpa keterangan, dan seketika ia memilih 'menghilang'. Meski nomor dan semua akunnya aktif, tidak ada chat dan panggilan dari teman-teman yang dijawabnya.
Orang-orang tidak tahu kenapa, bagaimana, dan di mana kawan ini sekarang.
Kucoba datang ke kosnya. Itu malam sebelum masuk kuliah perdana semester genap. Ya, malam senin seperti ini. Padahal aku tidak pernah keluar malam. Alasannya ada di sini. Tapi hari itu rasanya tidak ada 'halangan' untuk niatku ini.
Aku sampai ke kosnya sekitar jam 8 kurang. Ini kali pertamanya aku masuk, biasanya akan hanya di luar pagar dan ia melambai dari lantai dua, depan kamarnya. Aku naik, dan benar, dia ada di kos. Ada sandalnya di depan kamar, pintu kamarnya terbuka sedikit, sebelum aku melihatnya aku sudah mendengar suaranya membaca ayat suci Al-Qur'an-meski pelan. Ya, itu memang dia, masih lengkap menggunakan mukena. Aku putuskan untuk menunggunya di kamar sebelah yang juga terbuka. Aku kenal dengan pemilik kamar itu? Tidak! Saat aku masuk itulah kami berkenalan_^
 Setelah beberapa menit dan bahan obrolan kami menipis, aku coba menguping ke kamar kawanku. Tidak ada suara, sepertinya sudah selesai. Segera aku pamit dari kamar sebelah dan masuk nyelonong tanpa suara tanpa salam ke kamar sang kawan. Ya bingung juga sih, beberapa saat awal agak hening. Aku masih merangkai kata-kata untuk 'kawan tanpa kabar' ini.
Beruntung dia cepat mencairkan suasana dengan ungkapan terkejut karena orang macam saya bisa keluar malam dan ada di kosnya. Sedikit basa-basi, karena aku baca di bawah, pintu di tutup pukul 22.00 WIB. Pertama kali menyinggung itu, dia langsung nangis. I think, we're same. Tapi kenapa dia gak bisa sama sepertiku juga? Masih tetap kuliah. Padahal uang kuliah dia lebih kecil nominalnya ketimbang aku.
Tapi mau gimana pun tetap beda. Sebab memang kedua orangtuanya sudah bilang tidak sanggup. Aku tidak perlu tanya lagi kenapa. Tentu ucapan itu muncul setelah banyak usaha dan pertimbangan dari orangtua dia. Bahkan pasti lebih dari orangtuaku.
Masalahnya adalah, terkait simpati dan empati. Ketika aku berkeluh kesah tentang hal ini ke seorang teman, kakak tingkat tapi beda jurusan. Belum tuntas aku ngomong dia sudah tahu dan menimpali "denger cerita-cerita kayak gini aku jadi sedih aku. Ingat jaman susah masuk SMP dulu...." ya, sedikit banyak aku tau kisah dia. Sama. Cuma dia mengalaminya sewaktu mau masuk SMP, jadi cuti setahun. Simpati doong..jelas! Tapi kalimat selanjutnya ituÂ
"Kadang aku mikir, mau ngelepas beasiswaku biar buat orang-orang yang memang lebih membutuhkan saja" Sebab setelah keterpurukannya di waktu itu, dia mulai bisnis kecil-kecilan sampai kini punya 3 cabang konter hp, olshop fashion & sepatu, juga waralaba kedai thai teanya yang sudah 2 cabang. Sudah berada. Dia juga sadar kalau dia nggak pantas dapat beasiswa kurang mampu. Puncak kagetku is..
"Tapi gimana juga ya, lihat temen-temenku yang lain, yang dapet juga sama. Lebih mampu dari aku juga banyak. Emang salah sih sistem kita. Gak tepat sasaran" Temen-temen doi yang lain sama sistemnya yang disalahin. Padahal tau. Kenapa nggak coba dari diri sendiri?
Dari situ aku mempertanyakan, masih adakah rasa simpati&empati(baca :Â Peduli) ?
Sampai sekarang ini jadi kegelisahanku. Semoga dengan menulisnya dapat menguranginya. Mungkin teman-teman kompasianer mau bagi opininya?. Sangat aku tungguh. Terima Kasih/\
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H