Mohon tunggu...
Avizena Zen
Avizena Zen Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis buku, Blogger, Penulis konten, dan Penerjemah bahasa Inggris

Penulis buku Kakeibo. Blogger. Hobi menulis, memasak, dan menggambar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Love of Wok

1 Desember 2024   18:34 Diperbarui: 1 Desember 2024   19:08 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pexels

 

Mangkuk hijau itu masih di sana. Sudah berjam-jam, tapi lilitan mie di garpu tetap utuh. Wanita itu hanya meraih gelas berisi kopi hitam.

Tiba-tiba ia berujar, "Mbak, tolong dibungkus ya!"

Akhirnya ia berhenti membisu. Kulihat Narmi mengambil mangkuk lalu memindahkan isinya ke kantung plastik.

Ia memandangku dengan sorot mata yang layu. Mata bening itu, sepertinya aku pernah bertemu. Mungkin aku sudah gila karena jatuh cinta pada seseorang yang tidak kukenal.

Setelah ia pergi, aku baru sadar jika setengah hatiku ia bawa serta.

*

Esok paginya, aku duduk-duduk di depan trotoar restoran. Jantungku mau copot saat pandanganku beradu dengannya. Hampir setiap hari pujaanku mampir walau hanya minum secangkir kopi.

"Mas, restorannya sudah buka?"

"Belum, tapi silakan masuk."

Wanita itu mengekor di belakangku lalu duduk di kursi favoritnya. Aku bergegas menyiapkan secangkir kopi tanpa gula, minuman kesukaannya.

Aku bergegas mengantar kopi. Matanya melotot saat aku menyodorkan cangkir putih  dengan asap yang mengepul.

"Mas, saya belum pesan, mengapa diberi kopi?"

Keringat dingin kembali menetes. "Saya mengamati pesanan Mbak, selalu kopi hitam. Maaf, sudah lama saya ingin berkenalan. Saya Tanta, tentu Mbak tahu kalau saya bekerja di restoran. Mengapa makanannya tidak pernah dimakan, apa tidak enak?"

"Tidak apa-apa. Saya terlalu sedih setelah ditinggal suami untuk selamanya. Jadi susah untuk menelan. Restoran milik Mas rasanya nyaman. Maaf kalau membuat  tersinggung, tapi makanannya saya beri ke adik. Katanya enak."

Syukurlah, akhirnya ia mau berkata jujur. Obrolan kecil ini terpotong karena aku ingat harus memeriksa stok bahan mentah di kulkas.

Satu jam kemudian, aku  menengok ke dalam restoran. Tak ada sosoknya di sana. Namun rasa kecewa hilang kala melihat kartu nama yang yang ia tinggalkan. Ingin aku memekik kegirangan, namun harus jaga wibawa.

            ***

 Setelah obrolan singkat itu, aku mengirim pesan WA setiap hari. Jarang dibalas, tapi aku tak mau menyerah. Kadang ia hanya menjawab dengan  stiker.

Makin lama aku makin gila memikirkannya. Apalagi setelah ia jarang mengunjungi restoran, hanya WA tempatku menumpahkan perasaan.

Halo Mbak, restoran sudah buka.

Tidak dibalas. Aku hanya mematung, haruskah kutelepon?

Boleh aku panggil sayang?

Lagi-lagi tidak dibalas. Ya, aku benar-benar sudah gila!

Tolong angkat teleponku.

Iya hanya menjawab dengan stiker bertuliskan BUSY.

Sebenarnya kamu nganggap aku apa?

Dua hari kemudian ada balasan darinya.

Jangan panggil aku sayang sebelum tahu artinya cinta. Terlalu sulit untuk membuka hati, bagi seorang janda mati.

Akhirnya ia membalas! Aku ingin ke rumahnya tapi takut ditolak. Laki-laki macam apa aku ini, beraninya hanya lewat WA!

Aku rela jadi bucinmu. Tak peduli akan statusmu.

Segala macam bujuk rayu dan menjurus pemaksaan mungkin membuatnya gerah. Apa dia hanya kasihan melihat wajah memelasku?

Cinta adalah pengorbanan. Jika kau menginginkan kebahagiaan, maka aku akan memberikannya. Meskipun ia terluka.

Itulah WA balasanku padanya. Semoga ia benar-benar mau membuka hati.

Besoknya, gawaiku menari-nari dalam saku celana. Semoga getaran ini membawa rezeki cinta.

Aku akan datang dan menjelaskan semuanya.

Sebaris pesan darinya membuatku melonjak. Rasanya jarum jam bergerak lambat, kapan ia datang? Untung restoranku masih sepi. Ketika kulihat sepatu hitamnya masuk, segera aku menyilakannya duduk.

"Akan kuberitahu jawabannya."

Ia mengeluarkan kue berhias krim. Tulisannya OK.

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun