Melakukan pekerjaan secara berkelompok akan efisien dalam menyelesaikan suatu project, namun pernahkah kalian menemui anggota kelompok yang tidak bertanggung jawab dalam melakukan tugas berkelompok alias hanya “numpang nama” ? Hal ini merupakan suatu fenomena sosial yang dikenal dengan social loafing.
Nah, jika disangkutkan dengan slogan masa kini social loafing merupakan momen ketika individu dalam kelompok berkata “Jika orang lain bisa kenapa harus saya ?” lalu seperti apa social loafing itu ?
Menurut D. Myers social loafing adalah, “Kecenderungan orang untuk mengerahkan lebih sedikit usaha ketika mereka menyatukan upaya mereka menuju tujuan bersama daripada ketika mereka bertanggung jawab secara individu.” (2012:272).
Sehingga, ketika individu bekerja dalam kelompok dia akan mengeluarkan sedikit effortnya dalam project kelompok, dibandingkan ketika dia bekerja secara individu.
Biasanya, hal ini terjadi karena kita merasa bahwa kinerja kita di nilai bersama bukan individu, seperti contoh ketika kita melakukan kerja secara kelompok mengenai project makalah, terkadang tanpa disadari kita akan meremehkan tugas tersebut dengan aktualisasi bahwa, dalam pengerjaan project tersebut kita akan mengeluarkan sedikit effort kita untuk mengerjakannya.
Akan berbeda lagi jika project tersebut akan dievaluasi secara individu, otomatis effort kita dalam mengerjakannya pun akan semakin besar.
Dalam setiap fenomena tentunya terdapat penyebab terjadinya fenomena tersebut begitu pula dengan fenomena social loafing ini. Lalu, apa saja penyebab terjadinya social loafing ini ?
Pertama, kurangnya motivasi untuk bekerja secara kelompok. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian dari kita tidak menyukai bekerja secara berkelompok dan lebih suka untuk bekerja secara individu. Hal ini akan menurunkan motivasi kita untuk bekerja dalam suatu kelompok.
Penurunan motivasi juga dapat terjadi ketika adanya kehadiran dari orang lain yang membuat kita merasa santai sehingga tidak bekerja secara optimal dalam kelompok.
Kedua, adanya istilah bystander effect atau kecenderungan individu untuk tidak peduli dengan orang lain yang berada dalam kesusahan karena berpikir bahwa akan ada orang lain yang akan membantu orang tersebut. Hal ini mengurangi rasa tanggung jawab individu terhadap tugas kelompok.
Ketiga, semakin besar ukuran kelompok maka akan semakin kecil effort yang akan dikeluarkan oleh masing-masing anggota kelompok dan berakhir pada “menyepelekan” tugas kelompok.
Keempat, merasa orang lain lebih bisa daripada diri. Hal ini sering kita rasakan bukan ? Individu akan merasa ada orang yang lebih kompeten untuk melakukan tugas kelompok dibandingkan dirinya, sehingga individu akan menyerahkan sebagian besar tugas pada mereka yang dianggap kompeten daripada dirinya. Ditambah jika tugas tersebut dievaluasi secara kelompok bukan individu.
Kelima, kurangnya koordinasi kelompok dapat membuat kerangka penugasan yang buruk dan tidak terstruktur sehingga setiap anggota kelompok tidak mengerti apa yang harus mereka kerjakan dan berakibat pada menurunnya motivasi untuk mengerjakan penugasan kelompok.
Penyebab-penyebab social loafing terkadang bermuara pada fenomena free rider. Menurut M. Hoog, G. Vaughan free rider adalah fenomena ketika “Memperoleh manfaat keanggotaan kelompok dengan menghindari biaya, kewajiban keanggotaan dan dengan membiarkan anggota lain menanggung biaya tersebut.” (2011;285) atau biasa kita kenal sebagai “numpang nama” .
Social loafing dalam kelompok memiliki dampak negatif yang dapat menurunkan performa kinerja suatu kelompok. Ketika seharusnya hasil kerja kelompok dapat maksimal menjadi minimal karena hasil kerja merupakan hasil dari effort beberapa anggota kelompok dan bukan semua anggota kelompok.
Oleh karena itu, penting adanya upaya untuk meminimalisir terjadinya social loafing atau kemalasan sosial ini dalam suatu kelompok. Berikut upaya-upaya untuk mengurangi fenomena social loafing dalam kelompok.
Pertama, melakukan perbaikan dalam koordinasi melalui komunikasi yang baik antar anggota kelompok, sehingga akan terbangun rasa saling membutuhkan satu sama lain dan membangkitkan motivasi untuk mengerjakan penugasan bersama. Serta dengan adanya koordinasi yang baik anggota kelompok akan merasa dibutuhkan dan terlibat dalam pengerjaan project kelompok.
Kedua, leader harus lebih tegas terhadap anggota kelompok untuk mengantisipasi kinerja anggota kelompok yang berbeda-beda. Sehingga dengan adanya leader yang tegas dalam kelompok akan membangun rasa tanggung jawab diantara anggota kelompok untuk mengerjakan penugasan yang telah dikoordinasikan.
Ketiga, memiliki deadline penugasan ataupun aturan dan tujuan yang jelas. Sama hal-nya dengan koordinasi dengan adanya deadline dan aturan yang jelas akan membuat anggota kelompok merasa lebih mudah dalam mengetahui batasan-batasan apa yang mereka kerjakan dan kapan harus menyelesaikannya. Secara tidak langsung hal ini akan meningkatkan motivasi anggota kelompok untuk menyelesaikan tugas mereka.
Terakhir, memberikan reward kepada anggota kelompok, tujuannya untuk meningkatkan semangat anggota kelompok. Ketika seseorang dihargai upaya dan kerja kerasnya maka secara tidak langsung individu akan merasa dihargai dan lebih semangat untuk mengerjakan penugasan kelompok.
Dari pemaparan di atas diharapkan pembaca dapat mengetahui lebih alasan dibalik malasnya bekerja dalam kelompok yang berakibat dalam menurunnya performa kinerja kelompok, sehingga dapat menjadi tambahan untuk memperbaiki perilaku social loafing dalam kehidupan sehari-hari.
Karena kita hidup sebagai makhluk sosial yang tak lepas untuk selalu berhubungan dengan orang lain maupun kelompok. Perlu adanya pemahaman tentang fenomena ini, agar dapat menghindari perilaku social loafing ini. Sehingga dapat memudahkan kita untuk memberikan kontribusi lebih terhadap orang lain baik sebagai individu maupun kelompok.
Hal ini selaras dengan karakter Brave dan Agile dalam karakter HEBAT UNAIR di mana kita harus berani dalam melakukan tindakan pemecahan masalah dalam masyarakat serta cepat dan peka dalam memahami masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan masyarakat.
Referensi :
Hogg, M.A. & Vaughan, G. M. (2011). Social psychology (6th Edition). Pearson: Essex. 502-527.
Myers, D. (2012). Social Psychology 11th Edition. New York: McGraw-Hill. 271-276.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H