Mohon tunggu...
Aeron Brusen
Aeron Brusen Mohon Tunggu... Koki - Science Fiction Writer

Seorang aspire writer dengan spesialisasi di bidang Fiksi Ilmiah atau Science Fiction.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Klandestin

18 September 2024   21:21 Diperbarui: 21 September 2024   21:08 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sosial media kembali heboh, berita tentang kapal nelayan yang hilang di pantai selatan Jawa, kini menjadi buah bibir di tengah masyarakat. Dalam satu bulan, tujuh kapal beserta awaknya, menghilang di lautan tanpa jejak. Hal ini memancing perhatian seorang jurnalis muda asal Jakarta: Tantri.

Hilangnya kapal-kapal nelayan, melahirkan beragam spekulasi liar tidak terkontrol. Desas-desus tentang sosok penunggu laut selatan, mulai menguap di udara. Di sisi lain, pihak yang skeptis dengan hal mistis, membantah dengan memberikan penjelasan yang logis. Perdebatan di sosial media pun tak terhindarkan. 

Pagi itu, Tantri sudah siap dengan peralatan jurnalisnya di depan stasium Gambir. Ia telah memutuskan untuk menulis cerita tentang kejadian ini---juga, menginvestigasi apa penyebab sebenarnya kapal-kapal itu menghilang di lautan. 

Selama lima jam perjalanan, Tantri menyimak perdebatan di sosial media. Sesekali, ia membaca ulang komentar seorang netizen---menceritakan tentang tetangganya, seorang perempuan, dan menjadi satu-satunya korban selamat, dari rentetan tragedi kapal hilang di laut selatan, sepuluh tahun silam. 

Netizen inilah yang akan disambangi Tantri, sebelum ia memulai pekerjaannya dalam menggali informasi.

Setelah menginap semalam di rumah netizen itu, Tantri bergerak, mewawancarai semua keluarga korban, dan mengumpulkan keping demi keping informasi, dari pihak-pihak yang dianggap penting. 

Langit mulai gelap, Tantri mengunjungi rumah yang terakhir---tetangga netizen kenalannya, seorang penyintas tragedi sepuluh tahun lalu---ia sengaja menjadikan rumah ini paling akhir, karena ada beberapa hal spesifik, yang ingin ia tanyakan pada korban selamat itu. 

Ibu korban terisak, ketika menceritakan kejadian sepuluh tahun silam. Saat itu, suami dan anak perempuannya pergi ke laut untuk memancing ikan. Entah kenapa, hari itu terasa sangat berbeda, walau khawatir, ia tetap mengizinkan anaknya pergi. 

Saat tragedi mengenaskan itu terjadi, suaminya menghilang, tetapi anaknya di temukan di pinggir pantai, tanpa sehelai benang pun pada tubuhnya. Meskipun masih hidup, anaknya telah berubah, ia menjadi pendiam, dan begitu ketakutan ketika melihat seorang wanita berambut panjang. 

Jiwa jurnalisme Tantri bergetar. Ia paham arah cerita si ibu akan berbau mistis, tetapi Tantri, seorang jurnalis investigasi, tidak begitu tertarik dengan ide bahwa tragedi ini penyebabnya adalah, hal mistis yang ramai dibicarakan oleh netizen di sosial media: "Nyai Roro Kidul." 

Setelah mendapat izin dari sang ibu, Tantri masuk ke kamar anak gadisnya, yang kini berumur tujuh belas tahun. Gadis itu meringkuk di pojok kamar--- sesekali mencuri pandang lewat ujung matanya. Tantri menyapanya, menanyakan namanya, tetapi gadis itu tidak mengindahkannya. Ia tidak menyerah, dan mencoba cara yang terakhir, untuk menarik perhatian gadis itu. Perlahan, Tantri menguraikan rambut panjangnya, yang ia simpulkan sepanjang hari ini. 

Tiba-tiba, gadis itu langsung berdiri, tubuhnya gemetar, mulutnya bergumam tanpa suara. Dengan tangan bergetar, ia menunjuk Tantri, matanya membelalak, seolah sedang melihat hantu. Tanpa diduga, di keheningan malam, teriakan gadis itu pecah. Ia meronta-ronta, membanting semua barang di dalam kamar, Tantri tak berdaya menghadapi amukan gadis ini. Beruntung, ibunya segera masuk dan menenangkan putrinya.

Malam itu, idealisme Tantri hampir runtuh.

Keesokan harinya, ia pergi ke rumah seorang dukun, menanyakan beberapa hal mengenai legenda Nyai Roro Kidul. Sebenarnya, Tantri tidak percaya dengan takhayul. Ia sangat yakin, cuaca ekstrim, dan kelalaian manusia adalah, penyebab utama hilangnya kapal-kapal nelayan. 

Setelah mendapatkan cukup informasi, Tantri kembali ke desa nelayan. Ia berniat menyewa kapal nelayan, dan pergi ke tengah laut saat malam hari. Hampir semua nelayan menolak tawaran Tantri, sebagian bahkan marah, dan menyuruhnya untuk kembali ke Jakarta, jika ia ingin hidup lebih lama. 

Terdengar seperti ancaman, tetapi para nelayan tidak ingin Tantri mati konyol di lautan. Betapa tidak, Tantri meminta kapalnya membawa bendera hijau, dan ia sendiri akan memakai pakaian serba hijau---seolah penjelasan dukun tentang pantangan laut selatan tidak berarti apa-apa padanya. 

Tantri hampir menyerah, saat ia kembali ke rumah, seorang nelayan menawarkan jasanya. Ia mematok harga sedikit lebih tinggi dari penawaran Tantri pada nelayan sebelumnya. Mendengar hal ini, Tantri girang. Bukan masalah, berita yang sedang hangat ini, akan menghasilkan uang lebih banyak. 

Malam harinya, mereka berangkat ke tengah laut. Di tengah perjalanan, Tantri menanyakan apa alasan dia mau menerima tawarannya. Nelayan itu tersenyum, ia mengatakan bahwa, di era modern ini hanya orang bodoh yang masih mempercayai hal-hal mistis. Sisanya, masalah uang, ia terjerat pinjaman online, dan membutuhkan banyak uang untuk melunasi hutang-hutangnya. Tantri makin bersemangat, masih ada orang yang punya pemikiran sama dengannya. 

Mereka semakin jauh dari daratan, lampu-lampu rumah terlihat mengecil seperti kunang-kunang. Tantri mengeluarkan kamera, dan merekam suasana malam di tengah laut selatan. Bulan purnama begitu terang, bendera hijau yang berkibar di atas kapal terlihat jelas. 

Satu jam berlalu, mereka memutuskan untuk kembali ke daratan. Meski melanggar pantangan-pantangan laut selatan, kapal mereka masih mengapung, dan mereka masih hidup. Keduanya tertawa puas, semua hal yang ditakutkan oleh warga, tidak ada satu pun menimpa mereka. Dengan begini, Tantri bisa menulis cerita yang menarik, saat ia kembali ke Jakarta. 

Tiba-tiba, kapal mereka berguncang, laut yang tadinya tenang, seketika mengamuk. Ombak besar menghantam badan kapal, Tantri terhempas ke belakang, menabrak pintu ruang kemudi. Saat ombak reda, cahaya hijau bersinar terang di bawah laut. Spontan, Tantri mengambil kamera, ia harus merekam kejadian ini, meski perasaan takut perlahan merayapi dirinya.

Laut kembali mengamuk, perlahan, cahaya hijau yang ada di kedalaman laut bersinar semakin terang, menyilaukan pandangan Tantri dan si nelayan. Diiringi dentuman keras, air laut terhempas ke udara, di saat yang sama, sesuatu keluar dari dalamnya, benda itu melayang di udara, dan menghalangi cahaya bulan. Tantri menengadah, ia mundur perlahan dengan lutut bergetar. Kamera yang ia pegang terlepas dari tangannya, sekujur tubuhnya lemas. Bukan hantu, ataupun jin, yang dilihatnya adalah, pesawat angkasa yang menyerupai seekor cumi-cumi. 

Pesawat angkasa itu terbang di atas kapal mereka, dan menembakan cahaya hijau dari bagian bawah badan pesawat. Tantri menatap cahaya hijau yang menyinarinya, tubuhnya tiba-tiba lemah, ia melayang, dan saat di tengah udara, ia pingsan. 

Saat kesadarannya kembali, Tantri berada di dalam ruangan aneh. Tangan dan kakinya terikat ke dinding oleh gelang bercahaya kehijauan, seluruh pakaiannya sudah dilepas, ia telanjang bulat di tengah ruangan tanpa meja, kursi, dan jendela---hanya ruang kosong berwarna putih. 

Saat ia berkedip, tiba-tiba di depannya, berdiri seorang perempuan berambut panjang dan berparas cantik. Tantri harus mendongak untuk melihatnya, karena tubuh wanita ini lebih tinggi dari manusia pada umumnya. Dengan pelan, wanita itu mendekati Tantri, di setiap langkahnya, kepala Tantri dipenuhi oleh gema bisikan-bisikan aneh, yang datangnya entah dari mana. 

"Apa yang kaucari?" Dengan lembut, suara seorang perempuan, merangsak masuk ke telinganya.

Saat berada di depan Tantri, wanita itu membuka mulutnya, lidah panjangnya terjulur keluar, bergerak meliuk ke kiri dan ke kanan. 

Tantri ingin berteriak; ingin meminta tolong, tetapi semuanya sia-sia. Tubuhnya sangat lemah, mulutnya kaku, singkatnya, ia tidak bisa bergerak sama sekali.

Wanita jangkung itu menekan pipi Tantri agar mulutnya terbuka, perlahan, ia memasukan lidahnya yang panjang ke mulut Tantri. Saat bibir mereka bersentuhan, tubuh Tantri seolah berpindah tempat. Gambaran-gambaran aneh muncul di dalam kepalanya, bergantian dari satu tempat, ke tempat yang lain, seperti cuplikan mimpi. 

Ia menyaksikan bagaimana sebuah meteor raksasa jatuh ke dalam laut di masa lampau, dan memusnahkan lebih dari separuh makhluk hidup di muka bumi. Dari kehancuran itu, organisme sederhana yang selamat dari kepunahan massal, berevolusi menjadi makhluk hidup yang kompleks. Dari penglihatan ini, Tantri menyadari bahwa, ada makhluk cerdas lain selain manusia di bumi ini. Mereka telah lebih dahulu membangun peradaban maju di bawah laut, dan hidup tanpa diketahui manusia, selama ratusan ribu tahun, di kedalaman laut selatan Jawa. 

Saat kesadarannya kembali, wanita jangkung itu telah lenyap dari pandangan Tantri. Di hadapannya, berdiri makhluk berlendir menyerupai gurita yang ia lihat dalam bayangan tadi. Kali ini, dengan tentakel-tentakelnya, makhluk itu membuka mulut Tantri, dan memasukan cairan aneh berwarna hitam pekat ke dalam mulutnya. Tantri terbatuk-batuk, dan memuntahkan sebagian cairan aneh itu. Air matanya mengalir deras, Tantri pasrah, pikirnya, cairan aneh yang masuk ke tubuhnya adalah, racun. 

Di daratan, Tantri telah hilang selama tiga hari. Warga, nelayan, dan tim SAR, telah mencarinya ke mana-mana. Dukun pun telah dikerahkan untuk membantu pencarian ini, tetapi hasilnya nihil. Menjelang sore, sekelompok anak-anak yang sedang bermain, dengan wajah panik, mereka mendatangi warga desa. Setelah mendengar cerita anak-anak itu, warga langsung pergi ke tempat yang mereka sebutkan. 

Warga menemukan tubuh seorang wanita tanpa busana, tergeletak tak sadarkan diri, di antara pepohonan kelapa. Mereka langsung tahu, wanita telanjang itu adalah Tantri. Apa pun yang menimpa Tantri saat ini, semuanya karena dia melanggar pantangan laut selatan. Warga yakin, ini semua adalah hukuman dari Nyai Roro Kidul.

Beberapa hari kemudian, keluarga dan rekan kerja Tantri datang ke rumah sakit untuk menjenguknya. Tantri hanya membisu saat siuman, ia tidak menjawab satu pun pertanyaan mereka. Orang tua Tantri menangis tersedu-sedu, meratapi nasib anaknya: "Nak, nak, ini Ibu, Nak."

Sayang, Tatapan Tantri kosong, seolah, jiwanya bukan lagi penghuni tubuh anggunnya itu. 

Namun, semuanya berubah, saat rekan jurnalisnya yang berambut panjang tiba. Raut wajah Tantri berubah, matanya membelalak, dengan jari yang tremor, ia menunjuk rekannya. Seketika, Tantri menjadi gusar, ia meronta dengan liar, selang infus ia tarik sampai putus, piring dan gelas yang ada di meja kecil, dihamburkan sampai pecah berkeping-keping. Ketakutan terpampang di matanya, seolah, sesuatu yang gelap telah menguasai jiwanya. 

Sejak kejadian itu, Tantri menghabiskan hari-harinya di rumah sakit jiwa. Dokter tak bisa mendiagnosa penyakitnya secara klinis. Dugaan mereka, Tantri mengalami gangguan kejiwaan. Oleh sebab itu, Tantri dipindahkan ke rumah sakit jiwa. 

Tantri meringkuk di sudut ruangannya yang gelap, bayang-bayang kejadian kelam malam itu, tanpa henti menggerayangi sanubarinya. Tidak ada satu pun yang sanggup menembus dinding pikirannya, tatapan matanya hampa, seolah, ia terperangkap dalam lautan pikirannya sendiri. 

Beberapa hari kemudian, Tantri ditemukan meninggal dunia di kamarnya. Dengan kematiannya, kasus kapal-kapal nelayan yang hilang di laut selatan, dan kejadian sebenarnya di balik tragedi-tragedi mengerikan itu, semuanya ikut terkubur bersama jasadnya. 

Legenda laut selatan Jawa akan kembali menjadi misteri, seolah mengingatkan bahwa, terkadang, ada hal-hal yang lebih baik tetap terpendam di dalam kegelapan, untuk selama-lamanya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun