PANGDAM menggeleng kepalanya. Tidak semua pihak mengetahui kebenaran ini. Untuk menjaga nama dan harga diri bangsa, Indonesia menuduh kelompok separatis sebagai dalang kejadian ini. Dengan dukungan dari dinas intelijen, media-media besar di seluruh tanah air memberitakan propaganda sesuai dengan instruksi yang diterima.Â
  "Seperti yang kalian lihat. Desa Nkawu, beserta hutan hutan-hutan di sekitarnya berubah menjadi debu. Kelompok separatis tidak mungkin melakukan ini. Mustahil."
  Keesokan paginya, Maruna bersama tim ekspedisi peneliti berangkat ke perbatasan Papua menggunakan helikopter.Â
  Di dalam helikopter, Maruna memandangi pemandangan hijau yang mulai memudar seiring mereka mendekati lokasi Desa Nkawu. Ketegangan mulai menyelimuti, dan keheningan di antara anggota tim menggambarkan betapa seriusnya situasi ini. Mereka berusaha fokus dengan mempersiapkan peralatan, tetapi pikiran mereka tertuju pada apa yang sedang menunggu di bawah sana.Â
  Saat helikopter mendarat, mereka tercengang dengan pemandangan tanah kosong yang dulunya menjadi tempat dari rumah-rumah sederhana. Dada Maruna seketika sesak ketika membayangkan nasib anak-anak di Desa itu.
   Ia lahir dan besar di kampung pedalaman Papua. Ia khawatir, kalau mereka gagal menemukan penyebab hilangnya Desa Nkawu, kampung halamannya akan bernasib sama.
   Maruna melangkah keluar dengan hati berdebar. Dari tempatnya berdiri, ia memandang hamparan debu dengan penuh tanda tanya. Terbersit di bayangannya, tawa sekumpulan anak-anak berlarian dan bermain.Â
  "Siapa yang melakukan ini?" bisiknya.Â
  TNI yang mengawal tim peneliti bergegas membangun tenda darurat. Para peneliti bergegas mengumpulkan sampel dari berbagai titik. Tanpa membuang waktu, Maruna mengeluarkan mikroskop portabel, dan mengambil sampel kristal debu berwarna kemerahan di bawah kakinya. Maruna mengusap keningnya berulang kali, merasakan keringat dingin mengalir. Sesekali, ia menulis sesuatu di atas kertas. Kristal debu itu membuat raut wajah Maruna penuh dengan keraguan, seolah ada rahasia besar yang menuntut untuk diungkap—dan waktu terus berjalan.Â
  Menjelang sore, tentara pengawal meminta para peneliti untuk kembali ke helikopter. Sesuai dengan instruksi keamanan, mereka harus kembali ke markas TNI terdekat untuk bermalam.Â
  Malam itu, Maruna dan para peneliti tidak tidur, tetapi berdiskusi dan saling bertukar data, sesuai dengan bidang ilmu masing-masing. Wajah mereka seketika pucat setelah data yang mereka kumpulkan dianalisa oleh komputer. Bayangan khawatir tergambar di mata mereka.Â